Sabtu, 03 Desember 2016

KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN MASALAH PENDIDIKAN DI INDONESIA DAN SOLUSINYA



            Hingga saat ini masalah pendidikan masih menjadi perhatian khusus oleh pemerintah. Pasalnya Indeks Pembangunan Pendidikan Untuk Semua atau education for all (EFA) di Indonesia menurun tiap tahunnya. Tahun 2011 Indonesia berada diperingkat 69 dari 127 negara dan merosot dibandingkan tahun 2010 yang berada pada posisi 65. Indeks yang dikeluarkan pada tahun 2011 oleh UNESCO ini lebih rendah dibandingkan Brunei Darussalam (34), serta terpaut empat peringkat dari Malaysia (65).
            Salah satu penyebab rendahnya indeks pembangunan pendidikan di Indonesia adalah tingginya jumlah anak putus sekolah. Sedikitnya setengah juta anak usia sekolah dasar (SD) dan 200 ribu anak usia sekolah menengah pertama (SMP) tidak dapat melanjutkan pendidikan. Data pendidikan tahun 2010 juga menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah. Bahkan laporan Departeman Pendidikan dan Kebudayaan menunjukan bahwa setiap menit ada empat anak yang putus sekolah.
            Menurut Staf Ahli Kemendikbud Prof. Dr. Kacung Marijan, Indonesia mengalami masalah pendidikan yang komplek. Selain angka putus sekolah, pendidikan di Indonesia juga menghadapi berbagai masalah lain, mulai dari buruknya infrastruktur hingga kurangnya mutu guru. Masalah utama pendidikan di Indonesia adalah kualitas guru yang masih rendah, kualitas kurikulum yang belum standar, dan kualitas infrastruktur yang belum memadai.
            Dalam dunia pendidikan guru menduduki posisi tertinggi dalam hal penyampaian informasi dan pengembangan karakter mengingat guru melakukan interaksi langsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas. Disinilah kualitas pendidikan terbentuk dimana kualitas pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru ditentukan oleh kualitas guru yang bersangkutan.
            Secara umum, kualitas guru dan kompetensi guru di Indonesia masih belum sesuai dengan yang diharapkan. Dari sisi kualifikasi pendidikan, hingga saat ini dari 2,92 juta guru baru sekitar 51% yang berpendidikan S-1 atau lebih sedangkan sisanya belum berpendidikan S-1. Begitu juga dari persyaratan sertifikasi, hanya 2,06 juta guru atau sekitar 70,5% guru yang memenuhi syarat sertifikasi sedangkan 861.670 guru lainnya belum memenuhi syarat sertifikasi.
            Dari segi penyebarannya, distribusi guru tidak merata. Kekurangan guru untuk sekolah di perkotaan, desa, dan daerah terpencil masing-masing adalah 21%, 37%, dan 66%. Sedangkan secara keseluruhan Indonesia kekurangan guru sebanyak 34%, sementara di banyak daerah terjadi kelebihan guru. Belum lagi pada tahun 2010-2015 ada sekitar 300.000 guru di semua jenjang pendidikan yang akan pensiun sehingga harus segera dicari pengganti untuk menjamin kelancaran proses belajar.
            Kurikulum pendidikan di Indonesia juga menjadi masalah yang harus diperbaiki. Pasalnya kurikulum di Indonesia hampir setiap tahun mengalami perombakan dan belum adanya standar kurikulum yang digunakan. Tahun 2013 yang akan datang, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan akan melakukan perubahan kurikulum pendidikan nasional untuk menyeimbangkan aspek akademik dan karakter. Kurikulum pendidikan nasional yang baru akan selesai digodok pada Februari 2013 itu rencananya segera diterapkan setelah melewati uji publik beberapa bulan sebelumnya.
            Mengingat sering adanya perubahan kurikulum pendidikan akan membuat proses belajar mengajar terganggu. Karena fokus pembelajaran yang dilakukan oleh guru akan berganti mengikuti adanya kurikulum yang baru. Terlebih jika inti kurikulum yang digunakan berbeda dengan kurikulum lama sehingga mengakibatkan penyesuaian proses pembelajaran yang cukup lama.
            Dari dulu hingga sekarang masalah infrastruktur pendidikan masih menjadi hantu bagi pendidikan di Indonesia. Hal ini dikarenakan masih banyaknya sekolah-sekolah yang belum menerima bantuan untuk perbaikan sedangkan proses perbaikan dan pembangunan sekolah yang rusak atau tidak layak dilakukan secara sporadis sehingga tidak kunjung selesai.
            Berdasarkan data Kemendiknas, secara nasional saat ini Indonesia memiliki 899.016 ruang kelas SD namun sebanyak 293.098 (32,6%) dalam kondisi rusak. Sementara pada tingkat SMP, saat ini Indonesia memiliki 298.268 ruang kelas namun ruang kelas dalam kondisi rusak mencapai 125.320 (42%). Bila dilihat dari daerahnya, kelas rusak terbanyak di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebanyak 7.652, disusul Sulawesi Tengah 1.186, Lampung 911, Jawa Barat 23.415, Sulawesi Tenggara 2.776, Banten 4.696, Sulawesi Selatan 3.819, Papua Barat 576, Jawa Tengah 22.062, Jawa Timur 17.972, dan Sulawesi Barat 898.
            Melihat begitu banyaknya masalah pendidikan di Indonesia maka dibutuhkan solusi tepat untuk mengatasinya. Solusi yang dapat membatu pemerintah untuk meringankan beban pendidikan di Indonesia.
            Untuk membatu mengatasi masalah pendidikan dibutuhkan adanya lembaga yang membantu pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, menjaring kerjasama untuk memperoleh dana pendidikan, dan menggalang dukungan untuk pendidikan yang lebih baik. Lembaga perantara tersebut bekerjasama dengan pemerintah, pihak swasta, dan kelompok masyarakat untuk bersama-sama memberbaiki kualitas pendidikan di Indonesia mengingat tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama.
            Dalam meningkatkan mutu pendidikan, lembaga tersebut melakukan pendampingan kepada guru-guru di Indonesia dan pemberian apresiasi lebih kepada guru-guru kreatif. Pendampingan dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan profesionalitas, kreatifitas, dan kompetensi guru dengan model pendampingan berupa seminar, lokakarya, konsultasi, pelatihan dan praktek. Pendampingan dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan yang didukung oleh pemerintah dan pihak terkait.
            Lembaga tersebut juga memediasi masyarakat, pendidik, dan pihak terkait lainnya untuk menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah dalam memperbaiki kurikulum pendidikan. Diharapkan dengan adanya lembaga ini, ide-ide kreatif untuk memperbaiki kurikulum pendidikan dapat tertampung dan pemerintah dapat mempertimbangkan ide masyarakat untuk kebijakan yang dibuat.
            Dalam meningkatkan kemampuan kepemimpinan guru, kepala sekolah, dan pengelola sekolah, lembaga tersebut melakukan pendampingan guna mewujutkan manajemen sekolah yang baik. Proses yang dilakukan berupa konsultasi, lokakarya, dan pelatihan ditunjukan kepada guru, staf dan pimpinan sekolah. Pihak manajemen sekolah diharapkan mampu membawa sekolah yang dipimpinnya untuk berkembang dan meraih prestasi yang diharapkan.
            Lembaga perantara tersebut juga berperan membantu manajemen sekolah untuk mengembangkan kerjasama dengan instansi-instansi terkait guna memperoleh dana pengembangan infrastruktur sekolah.Tidak hanya itu, lembaga tersebut juga dapat menggalang dana dari sponsor untuk perbaikan bangunan sekolah yang hampir rusak di wilayah terpencil.
            Dukungan masyarakan, lembaga sosial, dan lembaga pers memiliki fungsi dalam meningkatkan pemahaman pentingnya pendidikan melalui penyebaran informasi. Oleh karena itu, lembaga tersebut mempunyai tugas untuk meningkatkan dukungan tersebut dengan cara bekerja sama dengan pihak masyarakat, lembaga sosial, dan pers. Dengan demikian informasi seputar perbaikan mutu pendidikan di Indonesia dapat tersalurkan dengan mudah.

Masalah Pendidikan di Indonesia dan Solusinya

            Hingga saat ini masalah pendidikan masih menjadi perhatian khusus oleh pemerintah, pasalnya indeks pembangunan pendidikan untuk semua atau education for all (EFA) di indonesia menurun tiap tahunnya tahun 2011 indonesia berada di peringkat dari 127 negara dan merosot dibandingkan tahun 2010 yang berada pada posisi 65 indeks yang dikeluarkan pada tahun 2011 oleh UNESCO ini lebih rendah di bandingkan Brunei Darussalam (34) serta terpaut Malaysia (65). Salah satu penyebab rendahnya indeks pembangunan pendidikan adalah tingginya anak jumlah anak putus sekolah, sedikitnya setengah juta anak usia sekolah dasar (SD) dan 200 ribu anak usia sekolah menengah pertama (SMP) tidak dapat melanjutkan pendidikan . data pendidkan juga menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah. Bahkan laporan Departemen pendidikan dan kebudayaan menunjukan bahwa setiap menit ada empat anak putus sekolah.
            Indonesia mengalami masalah pendidikan yang komplek. Selain angka putus sekolah, pendidkan di indonesia juga menghadapi berbagai masalah lain, mulai dari buruknya insyruktur hingga kurangnnya mutu guru, msalah utama pendidikan di indonesia adalah kualitas guru yang masih rendah, kualitas kurikulum yang belum standar dan kualitas struktur yang memadai. Dalam dunia pendidikan guru menduduki posisi tertinggi dalam hal penyampaian informasi dan pengembangan karakter memngingat guru melakukan interaksi langsung dengan peserta didik dalam pembelajaran di ruang kelas. Disinilah kualitas pendidikan terbentuk dimna kualitas pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru ditentukan oleh kualitas guru yang bersangkutan.
            Untuk membantu mengatasi masalah pendidikan dibutuhkan adanya lembaga yang membantu pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, menjalin kerja sama untuk memperoleh dana pendidikan dan menggalang dukungan untuk pendidikan yang lebih baik. Lembaga kerja sama tersebut bekerja sama dengan pemerintah, pihak swasta, dan kelompok masyarakat untuk bersama-sama memperbaiki kualitas pendidikan di indonesia mengingat tanggung jawab merupakan tanggung jawab bersama.
Masalah Pendidikan di Indonesia dan Solusinya
Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.
Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.
Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.
Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.
Secara garis besar ada dua solusi untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, yaitu:
1. Solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
2. Solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.
Banyak sekali faktor yang menjadikan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia. Factor-faktor yang bersifat teknis diantaranya adalah rendahnya kualitas guru, rendahnya sarana fisik, mahalnya biaya pendidikan, rendahnya prestasi siswa, rendahnya kesejahteraan guru, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan, kurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Namun sebenarnya yang menjadi masalah mendasar dari pendidikan di Indonesia adalah sistem pendidikan di Indonesia itu sendiri yang menjadikan siswa sebagai objek, sehingga manusia yang dihasilkan dari sistem ini adalah manusia yang hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Maka disinilah dibutuhkan kerja sama antara pemerintah dan mesyarakat untuk mengatasi segala permasalahan pendidikan di Indonesia.
Pemimpin Harus Mengerti Pentingnya Pendidikan
[Agama dan Pendidikan]
Sebuah bangsa akan maju jika pemimpinnya mengerti dan perduli betapa pentingnya pendidikan untuk masa depan bangsa. Karenanya pilihlah pemimpin yang mengerti akan pentingnya sebuah pendidikan.
"Saat ini kondisinya sangat menyedihkan, karena banyak dari pemimpin kita yang tidak menyadari pentingnya pendidikan untuk masa depan bangsa," papar Rektor Universitas Pancasila (UP) Edie Toet Hendratno, baru-baru ini.
Padahal pendidikan investasi untuk jangka panjang, karenanya harus direncanakan dengan matang. Jika tidak mulai membangun sistem pendidikan lebih baik, maka akan mengalami kesulitan, baik dilihat dari sisi pembangunan atau dari pola pemikiran masyarakatnya.
"Contoh saja yang terjadi di Malaysia, dulu negara itu belajar ke Indonesia, sekarang sudah terbalik, pendidikannya lebih baik dan pembangunan di negara tersebut sangat membanggakan. Setiap tahunnya Malaysia menyekolahkan warga negaranya ke luar negeri, sementara di Indonesia tidak. Jangankan untuk biaya sekolah ke luar negeri, biaya di dalam negeri pun mahal, dan akhirnya banyak masyarakat khususnya kelas bawah yang tidak melanjutkan sekolah," paparnya.
Oleh karena itu, kata Edie, sebaiknya pilihlah pemimpin yang lulusan perguruan tinggi atau orang kampus, mereka pasti sadar tentang pentingnya pendidikan. "Harus memilih presiden yang berpendidikan, tapi bukan berarti presiden harus yang profesor," katanya.
Menurut Edie, jika kita nantinya mempunyai pemimpin yang mengerti akan pentingnya pendidikan, maka apapun masalah yang menyangkut pendidikan baik dari segi biaya maupun dari kurikulumnya tidak akan menyulitkan warganya. "Bahkan pendidikan akan menjadi perhatian pertama," ungkap Edie.
Edie menjelasan, pendidikan berpengaruh dan taruhan terhadap masa depan bangsa. "Pendidikan itu penting dan hal ini tidak bisa ditawar lagi, tapi kenyataan yang ada sekarang jumlah anggara APBN untuk pendidikan 20 persen, tapi dijalankan tidak lebih dari tiga persen, itu menunjukkan komitmen pemimpin kita tentang pendidikan masih rendah."
Menurut Edie, jika para pemimpin kita atau para calon pemimpin kita kurang perduli terhadap pendidikan maka dampaknya akan sangat berpengaruh baik dibidang pendidikan sendiri, juga bagi pembangunan masa depan bangsa.
Jika hal ini terjadi maka dampaknya akan sulit mendapat kualitas pemimpin yang baik, juga pemimpin Indonesia nantinya tidak bisa menyeimbangi pemimpin di luar negeri baik di bidang terknologi atau di bidang politik.
Ketika ditanya, apa saja yang dilakukan perguruan tinggi agar para pemimpin Indonesia lebih perduli pada pendidikan, Edie hanya berkomentar, pihaknya sudah lelah, karena selalu memberi masukan tentang perkembangan dan dampaknya jika pendidikan tidak diperhatikan, namun pemerintah masih kurang perduli. "Kami lelah dan kami bukan sebagai pengambil keputusan," ujarnya.
Sementara itu, sebagai rektor yang baru dilantik untuk periode 2004-2008 ini mempunyai visi adalah mewujudkan UP sebagai lembaga pendidikan tinggi yang berkualitas, berkembang dan sejahtera. Sedangkan misinya adalah menghasilkan lulusan berkualitas dengan menggiatkan riset dan meningkatkan kesejahteraan dosen dan karyawan.
Karenanya, agar menghasilkan lulusan yang berkualitas maka berbagai kegiatan pendidikan sampai sanksi pelanggaran amat diperhatikan. "Untuk sanksi misalnya, diberikan bagi mereka yang melanggar peraturan seperti perkelahian antar fakultas atau narkoba yaitu berupa membekukan kegiatan mahasiswa hingga dikeluarkan," ujarnya.
Sudah banyak mahasiswa yang dikeluarkan akibat ketahuan menggunakan narkoba. Sanksi ini berlaku bagi seluruh mahasiswa tanpa terkecuali. "Untuk sanksi pembekuan kegiatan, awalnya banyak yang menentang, tapi karena pihak kampus keras dalam memberikan sanksi, mahasiswa pun akhirnya mengerti dan kini hampir tidak ada lagi pelanggaran tersebut," ungka Edie. (djo).
Pentingnya Mendidik Pemilih Muda
            Jika kita semua bersepakat untuk membangun sebuah hipotesa ‘memilih (dalam pemilu) menentukan nasib bangsa’, maka dengan tegas dapat disimpulkan nasib bangsa ini teranyata ada di tangan anak muda. Dengan bahasa lain, jika anak muda bangsa ini mampu berperan dengan aktif dan cerdas dalam pemilihan umum (Pemilu) maka baiklah nasib bangsa ini. Dan sebaliknya, jika para anak muda ini tidak mengambil bagian, atau setidaknya tidak peduli dengan perhelatan pemilihan pemimpin bangsanya, maka buruklah nasib bangsa ini.
`           Alur berpikir seperti ini rasanya tidak berlebihan. Lihat saja angka-angka jumlah pemilih muda pada beberapa Pemilu terakhir. Pada tahun 2009 paling tidak terdapat 36 juta pemilih muda dari 171 juta pemilih. Pemilu 2004, dari 147 juta pemilih, 27 juta pemilih tergolong pemilih muda. Banyak pengamat memprediksi bahwa pada pemilu 2014 mendatang angka ini akan terus bertambah. Tidak tanggung-tanggung diperkirakan angka pemilih muda akan mencapai 40% dari jumlah mata pilih yang ada.
            Jika prediksi ini tidak meleset, maka hanya dengan membidik segmen anak muda ini saja sudah dapat dipastikan memuluskan jalan seorang calon presiden meraih kedudukan sebagai pemimpin puncak negeri ini. Pada pemilihan presiden 2009 saja, suara yang diperoleh pasangan Susilo Bambang Youdhoyono (SBY) dan Boediono hanya 60,80%. Artinya, jika berkaca pada hasil ini, pemilih muda mendatang (40%) memiliki peran lebih dari separo (67%) penentu kemenangan. Berita buruknya, alangkah celakanya negeri ini jika para pemilih muda ini terabaikan dan tidak memiliki pendidikan politik yang baik. Di sinilah peran penting pendidikan politik kaum muda.
            Akhir-akhir ini agaknya ada kesadaran bersama (common awareness) masyarakat Indonesia dari berbagai element untuk memberikan perhatian lebih terhadap pendidikan politik para pemilih muda ini. Siapa pemilih muda itu? Secara gamblang, mereka yang berumur  17 sampai dengan 29 tahun. Paling tidak ada dua alasan mendasar mengepa perhatian ini penting. Pertama, jumlahnya yang relatif besar. Kedua, karakter dan perilaku politik mereka yang ‘unik’. Unik karena tidak dapat dipungkiri segala atribut sifat anak ‘muda’ seperti belum matang, suka hura-hura, masih labil, belum memiliki visi yang jelas, dan lain sebagainya yang masih melekat erat. Lantas siapa saja yang bisa berperan memberi pendidikan politik kepada mereka?
Sekolah dan Kampus
            Pemilih muda yang berusia 17 sampai dengan 29 tahun tersebut sudah dapat dipastikan mereka banyak menghabiskan waktu di sekolah dan kampus. Pelajar di sekolah, mahasiswa di kampus. Sudah maksimalkah peran dua institusi pendidikan ini untuk mendidik kesadaran politik mereka. Sekolah minsalnya, sejauh mana sekolah berperan memberi pendidikan politik pada para pelajar? Dengan beban mata pelajaran yang begitu banyak yang harus diajarkan di sekolah, tidak mungkin ada perhatian khusus pada persoalan ini. Jika pun ada, itu pasti hanya sebatas apa yang melekat (embedded)  pada mata pelajaran tertentu seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Tentu ini dirasa sangat tidak cukup dibanding dengan segala persoalan dan problematika dalam dinamika politik bangsa saat ini.
            Begitu juga halnya dengan kampus. Dapat dipastikan tidak semua mahasiswa mendapat pendidikan politik di kampusnya, kecuali mahasiswa dari Fakultas Sosial dan Ilmu Politik. Sebagian besar dari mereka tidak memiliki pengetahuan yang mupuni terhadap persoalan pemilihan umum. Labih-lebih lagi di kampus para mahasiswa telah terkonsentrasi pada fakultas dan jurusan yang mereka ambil. Mata kuliah-mata kuliah yang mereka miliki sudah sangat khusus. Satu-satunya harapan terjadinya proses pendidikan politik para mahasiswa terletak pada organisasi-oraganisasi kemahasiswaan baik internal mau pun eksternal kampus. Namun hari ini, kita juga mulai mempertanyakan peran serta organisasi-oraganisasi ini. Sering kali mahasiswa terjebak dan terjerembab pada doktrinisasi organisasi tertentu yang sekali gus ‘mengkerangkeng’ kebebasan ‘berpolitik’ para mahasiswa. Lebih ekstrim lagi, saya ingin mengatakan bahwa saat ini sudah banyak oraganisasi ekstra kampus yang ditunggangi oleh kelompok atau golongan tertentu dengan kepentingan politik tertentu sehingga para anggotanya tidak lagi bebas menentukan hak politik mereka.
            Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebenarnya memiliki andil yang sangat penting dalam memberikan pendidikan politik kepada kaum muda ini. Namun saat ini, kita menyadari KPU pun memiliki segudang persoalan yang harus diselesaikan. Begitu juga dengan partai politik. Seharusnya juga dapat berperan maksimal untuk mendidik mereka. Namun tidak banyak yang benar-benar ingin melakukannya. Jika pun ada, sering kali bias kepentingan. Maka diperlukan sebuah wadah independent yang berperan aktif mampu bekerja sama dengan semua pihak.
Center for Election and Political Party (CEPP)
            Ketika semua terbelenggu dengan segala problematika yang ada untuk mendidik para pemilih muda ini, maka kita tidak boleh patah arang. Membangun bangsa ini tidak cukup dengan hanya saling menyalahkan. Akan tetapi, bagaimana kemudian semua elemen bangsa bersatu saling bahu membahu, saling melengkapi, bekerja sama sepenuh hati demi kepentingan bangsa.
            Kehadiran organisasi publik Center for Election and Political Party (CEPP) di Provinsi Jambi diharapkan menjadi angin segar sekali gus perekat semua elemen bangsa yang peduli terhadap pendidikan politik kaum muda negeri ini, bil khusus di Provinsi Jambi. CEPP membulatkan tekat untuk menyatukan semua pihak (sekolah, kampus, LSM, KPU, Partai Poltik, DPR, Banwaslu, dll) untuk bekerja sama memberikan pendidikan politik pada gernerasi muda. Tentu, kehadiran CEPP tidak hanya sebatas mendidik mereka untuk memilih dalam pemilu, tetapi jauh dari itu CEPP akan mempersiapkan mereka untuk menjadi yang dipilih pada umur Indonesia 100 tahun mendatang. Merekalah pemegang tampuk kekusaaan itu. Maka mereka harus cerdas! Selamat atas Launching CEPP Jambi semoga memberikan karya terbaik untuk anak bangsa negeri ini, amin.
Kriteria kualitas guru yang dibutuhkan dalam pendidikan adalah
a. Guru sebagai perencana
b. Guru sebagai penginisiasi
c. Guru sebagai pemotivasi
d. Guru sebagai pengamat
e. Guru sebagai pengantisipasi[
f. Guru sebagai model
g. Guru sebagai pengevaluasi
h. Guru sebagai teman berjelajah bersama anak didik
i. Promotor agar anak menjadi pembelajar sejati
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Efektivitas Pemimpin Dalam Manajemen Pendidikan
               Dalam melaksanakan aktivitasnya bahwa pemimpin dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor tersebut sebagaimana dikemukakan oleh H. Jodeph Reitz (1981) yang dikutif Nanang Fattah, sebagai berikut :
1.  Kepribadian (personality), pengalaman masa lalu dan harapan pemimpin, hal ini mencakup nilai-nilai, latar belakang dan pengalamannya akan mempengaruhi pilihan akan gaya kepemimpinan.
2. Harapan dan perilaku atasan.
3. Karakteristik, harapan dan perilaku bawahan mempengaruhi terhadap apa gaya kepemimpinan.
4. Kebutuhan tugas, setiap tugas bawahan juga akan mempengaruhi gaya pemimpin.
5. Iklim dan kebijakan organisasi mempengaruhi harapan dan perilaku bawahan.
6. Harapan dan perilaku rekan.
        Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka jelaslah bahwa kesuksesan pemimpin dalam aktivitasnya dipengaruhi oleh factor-faktor yang dapat menunjang untuk berhasilnya suatu kepemimpinan, oleh sebab itu suatu tujuan akan tercapai apabila terjadinya keharmonisan dalam hubungan atau interaksi yang baik antara atasan dengan bawahan, di samping dipengaruhi oleh latar belakang yang dimiliki pemimpin, seperti motivasi diri untuk berprestasi, kedewasaan dan keleluasaan dalam hubungan social dengan sikap-sikap hubungan manusiawi.
Selanjutnya peranan seorang pemimpin sebagaimana dikemukakan oleh M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :
1. Sebagai pelaksana (executive)
2. Sebagai perencana (planner)
3. Sebagai seorangahli (expert)
4. Sebagai mewakili kelompok dalam tindakannya ke luar (external group representative)
5. Sebagai mengawasi hubungan antar anggota-anggota kelompok (controller of internal relationship)
6. Bertindak sebagai pemberi gambaran/pujian atau hukuman (purveyor of rewards and punishments)
7. Bentindak sebagai wasit dan penengah (arbitrator and mediator)
8. Merupakan bagian dari kelompok (exemplar)
9. Merupakan lambing dari pada kelompok (symbol of the group)
10. Pemegang tanggung jawab para anggota kelompoknya (surrogate for individual responsibility)
11.  Sebagai pencipta/memiliki cita-cita (ideologist)
12.  Bertindak sebagai seorang aya (father figure)
13.  Sebagai kambing hitam (scape goat).
            Berdasarkan dari peranan pemimpin tersebut, jelaslah bahwa dalam suatu kepemimpinan harus memiliki peranan-peranan yang dimaksud, di samping itu juga bahwa pemimpin memiliki tugas yang embannya, sebagaimana menurut M. Ngalim Purwanto, sebagai berikut :
1. Menyelami kebutuhan-kebutuhan kelompok dan keinginan kelompoknya.
2. Dari keinginan itu dapat dipetiknya kehendak-kehendak yang realistis dan yang benar-benar dapat dicapai.
3. Meyakinkan kelompoknya mengenai apa-apa yang menjadi kehendak mereka, mana yang realistis dan mana yang sebenarnya merupakan khayalan.
 Tugas pemimpin tersebut akan berhasil dengan baik apabila setiap pemimpin memahami akan tugas yang harus dilaksanaknya. Oleh sebab itu kepemimpinan akan tampak dalam proses di mana seseorang mengarahkan, membimbing, mempengaruhi dan atau menguasai pikiran-pikiran, perasaan-perasaan atau tingkah laku orang lain.
Untuk keberhasilan dalam pencapaian suatu tujuan diperlukan seorang pemimpian yang profesional, di mana ia memahami akan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pemimpin, serta melaksanakan peranannya sebagai seorang pemimpin. Di samping itu pemimpin harus menjalin hubungan kerjasama yang baik dengan bawahan, sehingga terciptanya suasana kerja yang membuat bawahan merasa aman, tentram, dan memiliki suatu kebebsan dalam mengembangkan gagasannya dalam rangka tercapai tujuan bersama yang telah ditetapkan. 
Berdasarkan pada uraian tersebut di atas, maka penulis mengemukakan saran-saran sebagai berikut :
1.   Hendaknya para pemimpin, khususnya pemimpin dalam bidang pendidikan dalam melaksanakan aktivitasnya kepemimpinannya dalam mempengaruhi para bawahannya berdasarkan pada kriteria-kriteria kepemimpinan yang baik.
2.  Dalam membuat suatu rencana atau manajemen pendidikan hendaknya para pemimpin memahami keadaan atau kemampuan yang dimiliki oleh para bawahannya, dan dalam pembagian pemberian tugas sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
3.   Pemimpin hendaknya memahami betul akan tugasnya sebagai seorang pemimpin.
4.  Dalam melaksanakan akvititasnya baik pemimpin ataupun yang dipimpin menjalin suatu hubungan kerjsama yang saling mendukung untuk tercapainya tujuan organisasi atau instnasi.
Syarat-Syarat Pemimpin YangBaik
                               Pengembangan kemampuan itu adalah suatu proses yang berlangsung terus menerus dengan maksud agar yang bersangkutan semakin memiliki ciri-ciri kepemimpinan. Walaupun belum ada kesatuan pendapat para ahli mengenaisyarat-syarat ideal yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, akan tetapi beberapa di antaranya yang terpenting adalah sebagai berikut :
1. Kekuatan atau energi
Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan lahiriah dan rokhaniah sehingga mampu bekerja keras dan banyak berfikir untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi.
2. Penguasaan emosional
Seorang pemimpin harus dapat menguasai perasaannya dan tidak mudah marah dan putus asa.
3. Pengetahuan mengenai hubungan kemanusiaan
Seorang pemimpin harus dapat mengadakan hubungan yang manusiawi dengan bawahannya dan orang-orang lain, sehingga mudah mendapatkan bantuan dalam setiap kesulitan yang dihadapinya.
4. Kecakapan berkomunikasi
Kemampuan menyampaikan ide, pendapat serta keinginan dengan baik kepada orang lain, serta dapat dengan mudah mengambil intisari pembicaraan.
5. Kemampuan teknis kepemimpinan mengetahui azas dan tujuan organisasi.
Mampu merencanakan, mengorganisasi, mendelegasikan wewenang, mengambil keputusan, mengawasi, dan lain-lain untuk tercapainya tujuan. Seorang pemimpin harus menguasai baik kemampuan managerial maupun kemampuan teknis dalam bidang usaha yang dipimpinnya.
6. Percaya terhadap kemampuan orang lain
Setiap orang akan senang jika mereka merasa dipercaya dan banyak orang akan mengerjakan apa saja untuk memenuhi kepercayaan tersebut. Berilah kepercayaan kepada orang yang kita pimpin sesuai dengan kemampuan dan wilayah kerjanya, namun sampaikan terlebih dahulu dengan jelas apa yang harus dia lakukan.
7. Mendengar apa yang disampaikan orang lain
Dengarkan dan perhatikan apa yang di sampaikan orang lain disekitar kita, ketika hal tersebut dilakukan sesungguhnya kita membangun hubungan terhadap orang lain dan mereka akan merasa dihargai. Karena pada dasarnya setiap orang pasti ingin dirinya dihargai, maka berikanlah hal itu. Orang yang tidak pernah menghargai orang lain, jangan pernah berharap dia akan dihargai apalagi dicintai.
8. Kemampuan memahami orang lain
Setiap orang sebenarnya ingin didengar, dihormati dan dipahami, ketika orang melihat bahwa mereka dipahami, mereka akan merasa dimotivasi dan dipengaruhi secara positif. Sesungguhnya cara paling halus dan jitu untuk mempengaruhi dan mengambil hati orang lain adalah dengan memahami dan mendengarkan apa yang dia sampaikan. Berikan sepenuhnya apa yang sudah menjadi hak mereka tanpa harus melalaikan pendidikan untuk mereka sadar akan kewajiban mereka juga.
9. Menjadi arah (navigator) bagi orang lain
Berarti mengidentifikasi tempat tujuan. Ketika seseorang memiliki potensi pribadinya maka ia memerlukan arah untuk mengembangkan potensi tersebut. Dengan mengarahkan orang lain kepada kesuksesan, tanpa kita sadari kita pun telah melatih diri kita untuk menjadi pribadi yang lebih sukses. Ilmu kita meningkat, pengalaman kita bertambah, kemampuan kita semakin diasah, relasi atau jaringan kita bertambah dan kebaikan kita pun berlipat ganda. Sungguh sebuah multiple effect yang luar biasa.
10. Memperlengkapi orang lain
Artinya ketika kita mempercayakan orang lain dengan sebuah keputusan penting maka kita harus dengan senang mendukungnya. Ketika kita memberi wewenang kepada orang lain maka kita telah meningkatkan kemampuan orang lain tanpa menurunkan kemampuan kita. Maksudnya jika seorang pemimpin telah mampu mendelegasikan tugas dengan baik kepada bawahannya, berarti ia telah membuat langkah cerdas dalam kerjanya, tugas yang tercapai lebih banyak dan lebih cepat. Bawahannya semakin pintar dan pada akhirnya tujuan bersama pun tercapai dengan hasil terbaik. Namun syarat sebelum pendelegasian adalah berikan penjelasan dan ilmu sampai orang yang kita delegasikan tersebut paham benar tentang apa yang harus ia lakukan.
Kewirausahaan Kepala Sekolah
            Istilah wirausaha berasal dari kata entrepreneur (bahasa Francis) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dengan arti between taker atau go-between. (Buchari, 2006: 20). Menurut Suparman Sumohamijaya istilah wirausaha sama dengan istilah wiraswasta. Wiraswasta berarti keberanian, keutamaan dan keperkasaan dalam memenuhi kebutuhan serta memecahkan permasalahan hidup dengan kekuatan yang ada pada diri sendiri (Sumohamijaya, 1980: 115).
            Kewirausahaan merujuk pada sifat, watak dan ciri-ciri yang melekat pada individu yang mempunyai kemauan keras untuk mewujudkan dan mengembangkan gagasan kreatif dan inovatif yang dimiliki ke dalam kegiatan yang bernilai. Jiwa dan sikap kewirausahaan tidak hanya dimiliki oleh usahawan, melainkan pula setiap orang yang berpikir kreatif dan bertindak inovatif. Kewirausahaan adalah kemampuan kreatif dan inovatif yang dijadikan dasar, kiat dan sumber daya untuk mencari dan memanfaatkan peluang menuju sukses
            Menjadi wirausahawan berarti memiliki kemauan dan kemampuan menemukan dan mengevaluasi peluang, mengumpulkan sumber daya yang diperlukan dan bertindak untuk memperoleh keuntungan dari peluang itu. Mereka berani mengambil risiko yang telah diperhitungkan dan menyukai tantangan dengan risiko moderat. Wirausahawan percaya dan teguh pada dirinya dan kemampuannya mengambil keputusan yang tepat. Kemampuan mengambil keputusan inilah yang merupakan ciri khas dari wirausahawan.
            Karakteristik kewirausahaan menyangkut tiga dimensi, yakni inovasi, pengambilan risiko dan proaktif. Sifat inovatif mengacu pada pengembangan produk, jasa atau proses unik yang meliputi upaya sadar untuk menciptakan tujuan tertentu, memfokuskan perubahan pada potensi sosial ekonomi organisasi berdasarkan pada kreativitas dan intuisi individu. Pengambilan risiko mengacu pada kemauan aktif untuk mengejar peluang. Sedangkan dimensi proaktif mengacu pada sifat assertif dan implementasi teknik pencarian peluang “pasar” yang terus-menerus dan bereksperimen untuk mengubah lingkungannnya.
            Jiwa, sikap dan perilaku kewirausahaan memiliki ciri-ciri yakni: (1) penuh percaya diri, dengan indikator penuh keyakinan, optimis, disiplin, berkomitmen dan bertanggungjawab; (2) memiliki inisiatif, dengan indikator penuh energi, cekatan dalam bertindak dan aktif; (3) memiliki motif berprestasi dengan indikator berorientasi pada hasil dan berwawasan ke depan; (4) memiliki jiwa kepemimpinan dengan indikator berani tampil beda, dapat dipercaya dan tangguh dalam bertindak; dan (5) berani mengambil risiko dengan penuh perhitungan.
            Percaya diri dan keyakinan dijabarkan ke dalam karakter ketidaktergantungan, individualitas dan optimis. Ciri kebutuhan akan berprestasi meliputi karakter berorientasi laba, ketekunan dan ketabahan, tekad dan kerja keras, motivasi yang besar, energik dan inisiatif. Kemampuan mengambil risiko berarti suka pada tantangan. Berlaku sebagai pemimpin berarti dapat bergaul dengan orang lain (bawahan), menanggapi saran dan kritik, inovatif, fleksibel, punya banyak sumber, serba bisa dan mengetahui banyak. Disamping itu, wirausahawan mempunyai pandangan ke depan dan perspektif yang maju.
            Aksioma yang mendasari proses kewirausahaan adalah adanya tantangan untuk berpikir kreatif dan bertindak inovatif sehingga tantangan teratasi dan terpecahkan. Ide kreatif dan inovatif wirausaha tidak sedikit yang diawali dengan proses imitasi dan duplikasi, kemudian berkembang menjadi proses pengembangan dan berujung pada proses penciptaan sesuatu yang baru, berbeda dan bermakna. Tahap penciptaan sesuatu yang baru, berbeda dan bermakna inilah yang disebut tahap kewirausahaan.
            Menurut Hakim (1998: 34), ada empat unsur yang membentuk pola dasar kewirausahaan yang benar dan luhur, yaitu: (1) sikap mental, (2)kepemimpinan, (3)ketatalaksanaandan (4) keterampilan. Dengan demikian, wirausahawan harus memiliki ciri atau sifat tertentu sehingga dapat disebut wirausahawan. Secara umum, seorang wirausahawan perlu memiliki ciri percaya diri, berorientasi tugas dan hasil, berani mengambil risiko, memiliki jiwa kepemimpinan, orisinalitas dan berorientasi masa depan.
            Dengan demikian, wirausaha dalam konteks persekolahan adalah seorang pembuat keputusan yang membantu terbentuknya sistem kegiatan suatu lembaga yang bebas dari keterikatan lembaga lain. Sebagian besar pendorong perubahan, inovasi dan kemajuan dinamika kegiatan di sekolah akan datang dari kepala sekolah yang memiliki jiwa wirausaha. Wirausaha adalah orang yang mempunyai tenaga dan keinginan untuk terlibat dalam petualangan inovatif. Wirausaha juga memiliki kemauan menerima tanggung jawab pribadi dalam mewujudkan keinginan yang dipilih.
            Seorang wirausaha memiliki daya inovasi yang tinggi, dimana dalam proses inovasinya menunjukkan cara-cara baru yang lebih baik dalam mengerjakan pekerjaan. Dalam kaitannya dengan tugas kepala sekolah, kebanyakan di antaranya tidak menyadari keragaman dan keluasan bidang yang menentukan tindakannya guna memajukan sekolah. Mencapai kesempurnaan dalam melakukan rencana merupakan sesuatu yang ideal dalam mengejar tujuan, tetapi bukan merupakan sasaran yang realistik bagi kebanyakan kepala sekolah yang berjiwa wirausaha. Bagi kepala sekolah yang realistik hasil yang dapat diterima lebih penting daripada hasil yang sempurna. Setiap orang termasuk kepala sekolah yang kreatif dan inovatif adalah individu yang unik dan spesifik.
            Kepala sekolah yang memiliki jiwa wirausaha pada umumnya mempunyai tujuan dan pengharapan tertentu yang dijabarkan dalam visi, misi, tujuan dan rencana strategis yang realistik. Realistik berarti tujuan disesuaikan dengan sumber daya pendukung yang dimiliki. Semakin jelas tujuan yang ditetapkan semakin besar peluang untuk dapat meraihnya. Dengan demikian, kepala sekolah yang berjiwa wirausaha harus memiliki tujuan yang jelas dan terukur dalam mengembangkan sekolah. Untuk mengetahui apakah tujuan tersebut dapat dicapai maka visi, misi, tujuan dan sasarannya dikembangkan ke dalam indikator yang lebih terinci dan terukur untuk masing-masing aspek atau dimensi. Dari indikator tersebut juga dapat dikembangkan menjadi program dan sub-program yang lebih memudahkan implementasinya dalam pengembangan sekolah.
            Untuk menjadi kepala sekolah yang berjiwa wirausaha harus menerapkan beberapa hal berikut: (1) berpikir kreatif -inovatif, (2) mampu membaca arah perkembangan dunia pendidikan, (3) dapat menunjukkan nilai lebih dari beberapa atau seluruh elemen sistem persekolahan yang dimiliki, (4) perlu menumbuhkan kerjasama tim, sikap kepemimpinan, kebersamaan dan hubungan yang solid dengan segenap warga sekolah, (5) mampu membangun pendekatan personal yang baik dengan lingkungan sekitar dan tidak cepat berpuas diri dengan apa yang telah diraih, (6) selalu meng-upgrade ilmu pengetahuan yang dimiliki dan teknologi yang digunakan untuk meningkatkan kualitas ilmu amaliah dan amal ilmiahnya, (7) bisa menjawab tantangan masa depan dengan bercermin pada masa lalu dan masa kini agar mampu mengamalkan konsep manajemen dan teknologi informasi.
            Sementara itu, Murphy & Peck (1980: 8 ) menggambarkan delapan anak tangga untuk mencapai puncak karir. Delapan anak tangga ini dapat pula digunakan oleh seorang kepala sekolah selaku wirausaha dalam mengembangkan profesinya. Kedelapan anak tangga yang dimaksud adalah: (1) mau bekerja keras. (2) bekerjasama dengan orang lain. (3) penampilan yang baik. (4) percaya diri. (5) pandai membuat keputusan. (6) mau menambah ilmu pengetahuan. (7) ambisi untuk maju (8) pandai berkomunikasi.
            Kemampuan kepala sekolah yang berjiwa wirausaha dalam berinovasi sangat menentukan keberhasilan sekolah yang dipimpinnya karena kepala sekolah tersebut mampu menyikapi kebutuhan, keinginan dan harapan masyarakat akan jasa pendidikan bagi anak-anaknya. Oleh karena itu, jika Anda ingin sukses memimpin sekolah jadilah individu yang kreatif dan inovatif dalam mewujudkan potensi kreativitas yang dimiliki dalam bentuk inovasi yang bernilai.
Standar Kualifikasi Kepala Sekolah
Menurut permendiknas nomer 13 tahun 2007 terdapat beberapa kualifikasi untuk dapat menjadi kepala sekolah yaitu kualifikasi umum dan kualifikasi khusus :
1.      Kuakifikasi umum kepala sekolah/madrsah adalah sebagai berikut:
a.       Memiliki kualifikasi akademik sarjana (S1) atau diploma empat (D-4) kependidikan/non kependidikan pada perguruan tinggi yang terakreditasi.
b.      Pada waktu diangkat sebagai kepala sekolah berusia setinggi-tingginya 56 tahun.
c.       Memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 tahun menurut jenjang sekolah masing-masing, kecuali di taman kanak-kanak/Raudhatul Athfal (TK/RA) memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 tahun di TK/RA; dan
d.      Memiliki pangkat serendah-rendahnya III/c bagi pegawai negeri sipil (PNS) & bagi Non PNS disertakan dengan kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau lembaga yang berwenang.
2.      Kualifikasi khusus kepala sekolah/madrasah meliputi :
a.       Kepala Taman Kanak-Kanak/Raudhatul Athfal (TK/RA) adalah sebagai berikut :
1)      Berstatus sebagai guru TK/RA
2)      Memiliki sertifikat pendidik sebagai guru TK/RA
3)      Memiliki sertifikat kepala TK/RA yang diterbitkan oleh lembaga yang telah ditetapkan pemerintah.
b.      Kepala Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) adalah sebagi berikut :
1)      Berstatus sebagaiguru SD/MI
2)      Memiliki sertifikat pendidik sebagai guru SD/MI; dan
3)      Memiliki sertifikat kepala SD/MI yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan pemerintah.
c.       Kepala Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs) adalah sebagai berikut:
1)      Berstatus sebagai guru SMP/MTS
2)      Memiliki sertifikat pendidik sebagai guru SMP/MTs; dan
3)      Memeilik sertifikat kepala SMP/MTs yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapkan pemerintah
d.      Kepala Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) adalah sebagai berikut :
1)      Berstatus sebagai guru SMA/MA;
2)      Memiliki serifikat pendidik sebagi guru SMA/MA; dan
3)      Memiliki sertifikat kepala SMA/MA yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapakan pemerintah
e.       Kepala Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan (SMK/MAK) adalah sebagai berikut :
1)      Berstatus sebagai guru SMK/MAK;
2)      Memiliki serifikat pendidik sebagi guru SMK/MAK; dan
3)      Memiliki sertifikat kepala SMK/MAK yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapakan pemerintah
f.       Kepala Sekolah Dasar Luar Biasa/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa/Sekolah Menengah Atas Luar Biasa ( SDLB/SMPLB/SMALB) adalah sebagai berikut :
1)      Berstatus sebagai guru pada satuan pendidikan SDLB/SMPLB/SMALB;
2)      Memiliki serifikat pendidik sebagi guru SDLB/SMPLB/SMALB; dan
3)      Memiliki sertifikat kepala SDLB/SMPLB/SMALB yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapakan pemerintah.
g.      Kepala Sekolah Indonesia Luar Negeri adalah sebagai berikut :
1)      Memiliki pengakuan sekurang-kurangnya 3 tahun sebagai kepala sekolah.
2)      Memiliki serifikat pendidik sebagi guru pada slah satu satuan pendidikan
3)      Memiliki sertifikat kepala sekolah yang diterbitkan oleh lembaga yang ditetapakan pemerintah.
C. Persyaratan Kepala Sekolah
Pesyaratan untuk menjadi kepala sekolah, tercantum dalam Permendiknas Nomor 28 Tahun 2010 Tentang Syarat-syarat Kepala Sekolah pasal 2, yaitu :
1)      Guru dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah apabila memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus.
2)      Persyaratan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a)      beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
b)      memiliki kualifikasi akademik paling rendah sarjana (S1) atau diploma empat (D-IV) kependidikan atau nonkependidikan perguruan tinggi yang terakreditasi;  
c)      berusia setinggi-tingginya 56 (lima puluh enam) tahun pada waktu pengangkatan pertama sebagai kepala sekolah/madrasah;
d)     sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dari dokter Pemerintah;
e)      tidak pernah dikenakan hukuman disiplin sedang dan/atau berat sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
f)       memiliki sertifikat pendidik;
g)      pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun menurut jenis dan jenjang sekolah/madrasah masing-masing, kecuali di taman kanakkanak/raudhatul athfal/taman kanak-kanak  luar biasa (TK/RA/TKLB) memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun di TK/RA/TKLB;
h)      memiliki golongan ruang serendah-rendahnya III/c bagi guru pegawai negeri sipil (PNS) dan bagi guru bukan PNS disetarakan dengan kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau lembaga yang berwenang dibuktikan dengan SK inpasing;
i)        memperoleh nilai amat baik untuk unsur kesetiaan dan nilai baik untuk unsur penilaian lainnya sebagai guru dalam daftar penilaian prestasi pegawai (DP3) bagi PNS atau penilaian yang sejenis DP3 bagi bukan PNS dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan
j)        memperoleh nilai baik untuk penilaian kinerja sebagai guru dalam 2 (dua) tahun terakhir. 
3)      Persyaratan khusus guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah meliputi:
a)      berstatus sebagai guru pada jenis atau jenjang sekolah/madrasah yang sesuai dengan sekolah/madrasah tempat yang bersangkutan akan diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah;
b)      memiliki sertifikat kepala sekolah/madrasah pada jenis dan jenjang yang sesuai dengan pengalamannya sebagai pendidik yang diterbitkan oleh lembaga yang ditunjuk dan ditetapkan Direktur Jenderal.
4)      Khusus bagi guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah Indonesia luar negeri, selain memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) butir a dan b juga harus memenuhi persyaratan khusus tambahan sebagai berikut:
a)      memiliki pengalaman sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun sebagai kepala sekolah/madrasah;
b)      mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris dan atau bahasa negara dimana yang bersangkutan bertugas; mempunyai wawasan luas tentang seni dan budaya Indonesia sehingga dapat mengenalkan dan mengangkat citra Indonesia di tengah-tengah pergaulan internasional.
Syarat-syarat Guru yang Diberi Tugas Sebagai Kepala Sekolah
Guru dapat diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah apabila memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus
Persyaratan umum meliputi :
  1. beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang maha Esa
  2. usia setinggi-tingginya 56 tahun
  3. sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dari dokter
  4. tidak pernah dikenakan hukuman disiplin sedang dan berat sesuai dengan ketentuan yang berlaku
  5. aktif mengajar dan/atau membimbing skurang-kurangnya 5 tahun pada sekolah yang setingkat dan sejenis dengan sekolah yang akan menjadi tempat bertugas
DP3 serendah-rendahnya memperoleh nilai amat baik untuk unsur kesetiaan dan nilai baik untuk unsur penilaian lainnya dalam 2 (dua) tahun terakhir
Persyaratan Khusus
  1. calon kepala TK, berijazah serendah-rendahnya Diploma II PGTK atau yang sederajat dan telah memiliki jabatan Guru Muda
  2. calon kepala SD, berijazah serendah-rendahnya diploma II PGSD atau yang sederajat dan telah memiliki jabatan Guru Muda Tk.I
  3. calon kepala SDLB, berijazah serendah-rendahnya Diploma III Pendidikan Luar Biasa (PLB)/Sarjana Muda PLB (pendidikan khusus) dan memiliki jabatan Guru Muda Tk.I
  4. calon kepala SLTP, berijazah serendah-rendahnya Sarjana (S1) dan memiliki jabatan Guru madya
  5. calon kepala SMU, berijazah serendah-rendahnya Sarjana(S1) dan memiliki jabatan Guru Dewasa
  6. calon kepala SMk :
    1. berijazah serendah-rendahnya Sarjana (S1) dan memiliki jabatan Guru Dewas
    2. memiliki pengetahuan tentang hubungan kerja dan kerjasama dengan dunia usaha atau dunia industri
    3. memiliki wawasan tentang unit produksi
  7. calon kepala SLB berijazah serendah-rendahnya Sarjana (S1) dan memiliki jabatan Guru Dewasa
Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud di atas calon kepala SMU,SMK, dan SLB diutamakan bagi mereka yang dapat berkomunikasi dalam Bahasa Inggris dan atau Bahasa Asing lainnya.
Persyaratan Kepala Sekolah
Syarat-syarat umum bagi guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah, pasal 2 ayat (2) adalah sebagai berikut :
·     beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
·     memiliki kualifikasi akademik paling rendah sarjana (SI) atau diploma empat (D-IV) kependidikan atau nonkependidikan perguruan tinggi yang terakreditasi;
·     berusia setinggi-tingginya 56 (lima puluh enam) tahun pada waktu pengangkatan pertama sebagai kepala sekolah/madrasah;
·     sehat jasmani dan rohani berdasarkan surat keterangan dari dokter Pemerintah;
·     tidak pernah dikenakan hukuman disiplin sedang dan/atau berat sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
·     memiliki sertifikat pendidik;
·     pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun menurut jenis dan jenjang sekolah/madrasah masing-masing, kecuali di taman kanak-kanak/raudhatul athfal/taman kanak-kanak luar biasa (TK/RA/TKLB) memiliki pengalaman mengajar sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun di TK/RA/TKLB;
·     memiliki golongan ruang serendah-rendahnya Ill/c bagi guru pegawai negeri sipil (PNS) dan bagi guru bukan PNS disetarakan dengan kepangkatan yang dikeluarkan oleh yayasan atau lembaga yang berwenang dibuktikan dengan SK inpasing;
·     memperoleh nilai amat baik untuk unsur kesetiaan dan nilai baik untuk unsur penilaian Iainnya sebagai guru dalam daftar penilaian prestasi pegawai (DP3) bagi PNS atau penilaian yang sejenis DP3 bagi bukan PNS dalam 2 (dua) tahun terakhir; dan
·     memperoleh nilai baik untuk penilaian kinerja sebagai guru dalam 2 (dua) tahun terakhir.
Sedangkan persyaratan khusus guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah sesuai dengan pasal 2 ayat (3) meliputi:
1.  berstatus sebagai guru pada jenis atau jenjang sekolah/madrasah yang sesuai dengan sekolah/madrasah tempat yang bersangkutan akan diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah;
2.  memiliki sertifikat kepala sekolah/madrasah pada jenis dan jenjang yang sesuai dengan pengalamannya sebagai pendidik yang diterbitkan oleh lembaga yang ditunjuk dan ditetapkan Direktur Jenderal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar