TUGAS MANDIRI METODE PENELITIAN KUALITATIF ULANGAN TENGAH
SEMESTER (UTS)
“REVIEW LIMA JOURNAL
INTERNASIONAL”
(PENGELOLAAN PEMBELAJARAN TEMATIK KURIKULUM 2103
PADA SISWA SEKOLAH DASAR)
Disusun
Guna Memenuhi Salah Satu Tugas Ulangan Tengah Semester (UTS) Mata Kuliah Metode
Penelitian Kualitatif
Dosen
Pengampu : Prof. Sutama, M.Pd
Oleh:
SRI WAHYUNI
Q 100 160 080
PROGRAM STUDI MAGISTER
ADMINISTRASI PENDIDIKAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2016
KATA PENGANTAR
Puji sukur hanya untuk
Allah SWT yang telah menganugerahi karunia-Nya yang begitu banyak, sehingga
tugas Ulangan Tengah Semester (UTS) review lima jurnal internasional dengan
topik “Pengelolaan Pembelajaran Tematik Kurikulum 2103 pada Siswa Sekolah
Dasar” ini dapat diselesaikan tepat waktu.
Tugas ini disajikan untuk memenuhi salah satu tugas Ulangan
Tengah Semester (UTS) Mata Kuliah Metode Penelitian Kualitatif pada Program Studi Magister Administrasi Pendidikan Program Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah
Surakarta yang diampu oleh Prof. Sutama, M.Pd.
Di dalam tugas ini dipaparkan hasil penelitian dari lima jurnal pendidikan
yang membahas ruang lingkup “Pengelolaan Pembelajaran
Tematik Kurikulum 2103 pada Siswa Sekolah Dasar”. Pada tugas ini dipaparkan pula urgensitas pelaksaan dan permasalahan
yang dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran tematik
kurikulum 2103 pada siswa Sekolah Dasar. Selain itu, dijabarkan juga analisis
terhadap permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran tematik
kurikulum 2103 pada Siswa Sekolah Dasar, dan di bagian akhir makalah ini
terdapat kesimpulan dan saran bagi perbaikan pelaksanaan pembelajaran tematik
kurikulum 2103 pada siswa Sekolah Dasar.
Diharapkan tulisan ini dapat memberi masukan kepada para
pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan di pusat maupun daerah dan menjadi
stimulus bagi para pelaku pendidikan di lapangan pendidikan terutama dalam pengelolaan pembelajaran tematik kurikulum
2103 pada siswa Sekolah Dasar.
Akhir kata,
kritik dan saran yang dapat menyempurnakan makalah ini sangat diharapkan.
Surakarta, 28
September 2016
SRI
WAHYUNI
Q 100 160 080
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................... .............. 1
KATA PENGANTAR………………………………………………………… 2
DAFTAR
ISI………………………………………………………................... 3
RINGKASAN ISI ARTIKEL 1.......................................................... ……….. 4
RINGKASAN ISI ARTIKEL 2......................................................... ………… 11
RINGKASAN ISI ARTIKEL 3......................................................... ................ 26
RINGKASAN ISI ARTIKEL 4......................................................... ………… 43
RINGKASAN ISI ARTIKEL 5……………………………………………….. 51
RINGKASAN ISI
ARTIKEL 1
READINESS OF TEACHERS OF EXTRAORDINARY SCHOOL IN CENTRAL
JAVA IN MASTERING OF THE TEACHING MATERIALS AND IMPLEMENTING OF CURRICULUM OF
2013
(A case in mathematics teaching at Extraordinary School)
“KESIAPAN GURU DALAM MENGAJAR DAN MELAKSANAKAN KURIKULUM 2013 SEKOLAH LUAR BIASA DI JAWA TENGAH”
(Sebuah kasus guru dalam mengajar matematika di Sekolah Luar
Biasa)
Sugiman
dan Hardi Suyitno
Dosen
Jurusan Matematika Universitas Negeri Semarang
Contact
Person: sgmwp@yahoo.com
ABSTRAK
Sekolah Luar Biasa (ES) adalah sekolah yang mendidik bagi
siswa penyandang cacat. Tujuan Penelitian ini: Menggambarkan kesiapan guru
sekolah luar biasa di Jawa Tengah Indonesia dalam melaksanakan Kurikulum 2013,
khususnya pada: (a) perubahan pola pikir guru yang terkait dengan pelaksanaan
Kurikulum 2013, (b) penguasaan bahan ajar, (c) penerapan Kurikulum 2013 di
sekolah-sekolah luar biasa melalui pendekatan ilmiah dan tematik terpadu, (d)
keterampilan guru ES di Jawa Tengah dalam membuat rencana pembelajaran, dan (e)
mengubah skor mentah menjadi laporan nilai. Artikel ini berdasarkan pada
penelitian kualitatif, sehingga pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner,
observasi dan wawancara terbuka secara intensif, yang diteruskan oleh
triangulasi. Metode penelitian meliputi: (1) reduksi data, (2) display data,
(3) interpretasi data, dan (4) kesimpulan/verifikasi. Hasil penelitian ini:
pada prinsipnya guru ES siap untuk menerapkan kurikulum tahun 2013 yaitu: (1)
ada perubahan positif dalam pola pikir guru sekolah luar biasa di Jawa Tengah
terkait dengan pelaksanaan Kurikulum 2013, (2) sebagian besar guru sudah
menguasai materi, (3) guru mengalami banyak kesulitan dalam
melaksanakan/mengajar materi sekolah luar biasa melalui pendekatan ilmiah dan
tematik terpadu, (4) guru merasa bingung dalam membuat rencana pelajaran yang
mencakup pendekatan ilmiah, (5) Dalam proses penerapan Kurikulum 2013, para
guru merasa kurang terampil dalam mengkonversi skor mentah menjadi laporan
nilai. Sebagai hasil tambahan, ada banyak guru sekolah luar biasa yang
menginginkan pelatihan, workshop, praktek, dan bantuan di kelas tentang cara
mengajar materi untuk siswa dari sekolah luar biasa, yang dilaksanakan melalui
pendekatan ilmiah dan tematikm terpadu, dan kemudian diteruskan ke bantuan
khusus yang berkaitan dengan cara mengubah nilai mentah menjadi laporan nilai.
A.
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Pengembangan Pendidikan Khusus dan
Layanan Khusus (PPK-LK) dari Ditjen Dikdasmen Kemendikbud
(Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) mengawasi pelaksanaan pendidikan Sekolah
Luar Biasa (ES) atau di Indonesia disebut Sekolah Luar Biasa (SLB) di
seluruh Indonesia. PPK-LK juga ingin pendidikan di ES tidak kalah dengan
pendidikan di sekolah reguler, bahkan termasuk pelaksanaan Kurikulum 2013 di
ES. Direktorat PPK-LK Dikdasmen dari Kemendikbud juga telah
memberikan bantuan dalam bentuk buku teks Kurikulum 2013 untuk ES, juga
perangkat komputer lengkap dengan modem dalam jumlah yang cukup, LCD, dan
hotspot diinstal pada setiap ES.
Kurikulum 2013 di ES juga harus
diberlakukan secara bertahap, mulai tahun akademik 2014 di ES seluruh
Indonesia. Perubahan kurikulum adalah pola pikir guru di ES, pendekatan belajar,
model yang harus diterapkan, rencana pelaksanaan pembelajaran yang seharusnya
dilakukan oleh guru, pelaksanaan tematik terpadu di semua kelas, dan juga
termasuk cara laporan proses penilaian. Sebagai contoh, meskipun nilai aspek
pengetahuan dianalisis secara kuantitatif, tetapi yang dimuat dalam nilai
laporan yang berkaitan dengan ES adalah deskripsi. Deskripsi kualitatif dalam
bentuk kalimat positif tentang apa yang berdiri terkait dengan kemampuan siswa
yang bertanggung jawab atas setiap pelajaran dan upaya yang diperlukan untuk
mencapai kompetensi.
Jadi, ketika guru di ES menerapkan
Kurikulum 2013, perlu dan harus menganalisis hasil tes yang bertujuan untuk
mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan masing-masing murid di ES isi dari
materi pelajaran di dalam sebuah masalah. Untuk penulisan laporan penilaian di
ES, Pemerintah melalui Direktorat PPK-LK Dikdasmen dari Kemendikbud
pada tahun 2014 mengeluarkan Pedoman Teknis Penilaian dalam ES. Untuk rencana
pelajaran, juga mengeluarkan teknis pedoman penyusunan rencana pelajaran dalam
ES. Namun, tidak semua guru di ES dapat memahami isi dari buku Panduan Teknis.
Penulisan laporan berdasarkan pelaksanaan
Kurikulum 2013, jelas sangat berbeda dari pelaksanaan Kurikulum 2006. Dalam
pelaksanaannya Kurikulum 2013, guru di ES diperlukan untuk mengkonversi nilai
mentah menjadi laporan nilai. Guru kelas tinggi yang sebelumnya tidak
menerapkan tematik terpadu, sekarang harus menyampaikan materi pelajaran dalam
tema atau sub-tema yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu, ada perubahan
mendasar tentang pelaksanaan Kurikulum 2013 di ES, maka guru di ES perlu
diberikan informasi yang jelas terkait dengan pendekatan pembelajaran, model
yang harus diterapkan, rencana pelajaran harus dibuat oleh guru, pelaksanaan
tematik terpadu di semua tingkat kelas, dan juga termasuk cara pengolahan nilai
sesuai dengan tuntutan pelaksanaan Kurikulum 2013 di ES. Dilakukan oleh
keinginan untuk mengabdikan diri di bidang pendidikan, maka tim peneliti ingin
mensinergikan penelitian di Universitas Negeri Semarang sebagai lembaga
pendidikan tinggi yang juga mengakibatkan guru, penelitian ini ingin
menganalisis kesiapan guru sekolah luar biasa di Jawa Tengah dalam menguasai
Bahan Ajar dan menerapkan Kurikulum 2013. Jadi, pemerintah memiliki masukan
tentang kesiapan guru ES di Jawa Tengah yang diharapkan hasil penelitian ini
dapat menjadi barometer ukuran kesiapan Guru ES di Indonesia dalam melaksanakan
kurikulum 2013 di ES selanjutnya.
2. Perumusan
Masalah
Rumusan masalah sebagai hubungan antara
hasil analisis yang menggambarkan kesiapan guru sekolah luar biasa di Jawa
Tengah Indonesia dalam melaksanakan Kurikulum 2013, khususnya pada aspek: (a)
perubahan dalam pola pikir guru terkait dengan pelaksanaan Kurikulum 2013, (b)
penguasaan ajaran bahan, (c) menerapkan Kurikulum 2013 di sekolah-sekolah luar
biasa melalui pendekatan ilmiah dan tematik terpadu, (d) keterampilan guru ES
di Jawa Tengah dalam membuat rencana pembelajaran, dan (e) mengubah skor mentah
menjadi laporan nilai.
3. Tujuan
Penelitian
Tujuan dari penelitian ini:
Mendapatkan deskripsi dari kesiapan guru sekolah luar biasa di Jawa Tengah -
Indonesia, terutama dalam: (a) perubahan pola pikir guru yang terkait dengan
pelaksanaan Kurikulum 2013, (b) penguasaan dari bahan ajar, (c) penerapan Kurikulum
2013 di sekolah-sekolah luar biasa melalui pendekatan ilmiah dan tematik
terpadu, (d) keterampilan guru ES di Jawa Tengah dalam membuat rencana
pembelajaran, dan (e) mengubah skor mentah menjadi laporan nilai.
B.
METODE PENELITIAN
1.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini yaitu pada ruang
lingkup Jawa Tengah. Dengan tujuan efisiensi waktu, tenaga, dan pikiran,
penelitian ini diadakan di kota Semarang. Guru ES di Jawa Tengah diundang ke
Semarang.
2.
Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini
menggunakan aturan Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman. Miles dan Huberman
yang diterjemahkan oleh Rohidi (1992), menunjukkan aktivitas yang dalam
analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan dilakukan terus
menerus sampai lengkap, sehingga data menjadi jenuh. Ukuran kejenuhan data
ditandai dengan tidak diperoleh data lebih lanjut atau informasi baru. Kegiatan
dalam analisis data meliputi: reduksi data (reduksi data), display data,
interpretasi data, dan tahap penyelesaian dan verifikasi.
Reduksi data diartikan secara sempit
sebagai proses reduksi data, tetapi dalam yang lebih luas akal adalah proses
penyempurnaan data, baik pengurangan data kurang diperlukan dan tidak relevan,
atau penambahan data bahwa masih diperlukan. Presentasi data adalah proses dari
pertemuan informasi, diurutkan berdasarkan kategori atau pengelompokan data. Interpretasi
data adalah proses memahami makna dari serangkaian data yang telah disajikan,
dalam bentuk yang tidak hanya melihat apa yang tertulis, melainkan untuk
memahami atau menafsirkan seperti apa yang tersirat dalam data yang telah
ditampilkan. Pada tahap kesimpulan/verifikasi adalah proses merumuskan makna
dari hasil diungkapkan oleh kalimat-kalimat pendek, kompak, dan mudah dipahami,
dan dilakukan dengan berulang kali meninjau kebenaran kesimpulan bahwa,
terutama dengan Sehubungan dengan relevansi dan konsistensi dari masalah judul,
tujuan, dan formulasi.
3.
Prestasi Penelitian
Pencapaian penelitian ini untuk
menggambarkan kesiapan ES guru di Jawa Tengah di penguasaan bahan instruksional
dan melaksanakan Kurikulum 2013, yang dapat langsung digunakan oleh para
pemangku kepentingan, yaitu Direktorat PPK-LK Dikdasmen dari Kemendikbud.
4.
Indikator Capaian
Penelitian ini dianggap berhasil,
dan indikator pencapaian sebagai berikut. Mendeskripsikan kesiapan guru dari ES di Jawa Tengah dalam menguasai
dari bahan instruksional dan melaksanakan Kurikulum 2013 di ES, meliputi: (1)
belum terdeskripsikan tentang perubahan pola pikir guru ES di Jawa Tengah
terkait dengan Kurikulum 2013. (2) belum terdeskripsikan tentang pengetahuan guru
yang berhubungan dengan Buku Guru dan Buku Mahasiswa untuk Sekolah Luar Biasa.
(3) belum terdeskripsikan tentang keterampilan guru ES di Jawa Tengah dalam
melaksanakan pendekatan ilmiah. (4) belum terdeskripsikan tentang keterampilan
Guru ES di Jawa Tengah untuk menerapkan model pembelajaran yang sesuai dengan
tuntutan Kurikulum 2013. (5) belum terdeskripsikan tentang keterampilan guru ES
di Jawa Tengah di membuat Rencana Pembelajaran. (6) belum terdeskripsikan
tentang keterampilan guru ES di Jawa Tengah di mengkonversi skor mentah menjadi
nilai berdasarkan Petunjuk Teknis Penilaian Kurikulum 2013.
C.
PEMBAHASAN
1. Produk
Penelitian
Berdasarkan analisis kualitatif dari
data penelitian, hasil penelitian adalah sebagai berikut. Hasil penelitian ini:
pada prinsipnya guru ES siap untuk melaksanakan kurikulum tahun 2013: (1) ada
perubahan positif dalam pola pikir guru sekolah luar biasa di Jawa Tengah
terkait dengan pelaksanaan Kurikulum 2013, (2) sebagian besar guru sudah
menguasai materi, dengan asumsi bahwa bahan dalam kurikulum 2013 memiliki
banyak kesamaan dengan kurikulum sebelumnya, (3) guru mengalami banyak
kesulitan dalam melaksanakan/mengajar bahan sekolah luar biasa melalui
pendekatan ilmiah dan tematik terpadu; para guru menemukan bahwa alat peraga
yang diperlukan banyak tapi guru bingung tentang cara menggunakan alat bantu
mengajar melalui pendekatan ilmiah, (4) Guru bingung dalam membuat rencana
pelajaran yang mencakup pendekatan ilmiah, (5) Dalam proses penerapan Kurikulum
2013, para guru merasa kurang terampil dalam mengkonversi skor mentah menjadi
laporan nilai.
Sebagai produk sampingan, ada banyak
guru ES yang ingin mengikuti pelatihan, lokakarya, praktik, dan bantuan dalam
kelas tentang cara mengajar materi untuk murid di ES, yang dilaksanakan melalui
pendekatan ilmiah dan tematik terpadu, membuat rencana pelajaran, dan kemudian
diteruskan ke iringan khususnya terkait dengan cara mengubah baku nilai ke
Laporan Nilai.
Guru Lestari di ES mengimplementasikan
pendekatan sceintific
Peneliti
Sugiman melakukan kegiatan
wawancara dengan seorang guru di ES
2.
Diskusi
Berdasarkan hasil penelitian,
sebagian besar guru ES sudah memiliki Perubahan pola pikir yang positif terkait
dengan pelaksanaan Kurikulum 2013. Tapi dari pengamatan peneliti, perubahan
pola pikir belum diikuti dengan tindak lanjut mempelajari kurikulum 2013 secara
mandiri. Guru cenderung untuk menunggu kedatangan pelatihan dari pemerintah.
Meskipun sebagian besar guru SLB merasa sudah menguasai materi, dengan asumsi
bahwa materi kurikulum pada tahun 2013 memiliki banyak kesamaan dengan
kurikulum sebelumnya. Tapi, jika hanya menguasai materi, ini tidak cukup. Guru
harus mengajarkan materi dengan pendekatan ilmiah. Bahkan, banyak guru yang
mengalami kesulitan melaksanakan / bahan ajar ES melalui ilmiah dan pendekatan tematik
terpadu.
Karena guru bekerja di ES,
penggunaan pengajaran AIDS sangat diperlukan. Dari penelitian ini, mengajar
materi melalui pendekatan ilmiah dan tematik terintegrasi, guru juga menemukan
alat peraga yang dibutuhkan tetapi banyak yang bingung tentang bagaimana
menggunakan pengajaran bantu melalui pendekatan ilmiah. Dengan demikian, guru
perlu dilatih untuk menjadi terampil dalam penggunaan alat pembelajaran (alat
peraga). Guru juga perlu dilatih dalam menerapkan pembelajaran model yang
sesuai dengan tuntutan Kurikulum 2013. Hal ini diperlukan untuk pelaksanaan kurikulum
2013 menjadi efektif. Rencana pelajaran adalah alat utama guru sebelum
mengajar. Untuk memungkinkan guru untuk menerapkan kurikulum tahun 2013 dengan
mantap, maka guru kesulitan untuk membuat rencana pelajaran yang mengandung
pendekatan ilmiah dan tematik terpadu, perlu dilatih. Ada hasil yang menarik
dari penelitian ini. Dalam proses penerapan Kurikulum 2013, para guru merasa
kurang terampil dalam mengkonversi skor mentah menjadi Laporan Nilai. Oleh
karena itu, guru perlu dibantu dan didampingi dalam praktek untuk menyelesaikan
Laporan Nilai siswa.
D. PENUTUP
Meskipun telah
ada perubahan dalam pola pikir yang positif dari guru ES di Jawa Tengah terkait
dengan pelaksanaan Kurikulum 2013, namun karena ada beberapa kesulitan yang
dialami oleh guru dari ES, hasil penelitian ini harus ditindaklanjuti dengan
pemberian pelatihan dilanjutkan dengan workshop dan pendampingan di ruang
kelas. Konten pelatihan, lokakarya, dan
mentoring, terkait dengan pelaksanaan ES Kurikulum 2013 secara keseluruhan,
termasuk bagaimana mengubah baku nilai ke Laporan Nilai.
DAFTAR PUSTAKA:
Sugiman and Hardi Suyitno. (2016). “Readiness
of Teachers of Extraordinary School in Central Java in Mastering of The
Teaching Materials and Implementing of Curriculum of 2013 (A Case in
Mathematics Teaching At Extraordinary
School”). International Journal of Contemporary Applied Sciences Vol. 3,
No. 3, March 2016 (ISSN: 2308-1365)
www.ijcas.net.
RINGKASAN ISI
ARTIKEL 2
UNDERSTANDING THE 2013 CURRICULUM OF ENGLISH TEACHING
THROUGH THE TEACHERS AND POLICYMAKERS PERSPECTIVES
MEMAHAMI KURIKULUM 2013 BAHASA INGGRIS
“PERSPEKTIF PENGAJARAN MELALUI GURU DAN
PEMBUAT KEBIJAKAN "
Djuwairiah Ahmad
Fakultas
Pendidikan Dan Ilmu Pengajaran, Alauddin Universitas Islam Negeri, Makassar,
Sulawesi Selatan, Indonesia
ABSTRAK
Penelitian ini difokuskan pada Kurikulum 2013 (K-13)
pelaksanaan di empat sasaran senior yaitu sekolah menengah yang menerapkan
pelaksanaan (K-13) di Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia. Penelitian ini melibatkan
tiga pembuat kebijakan dan 11 guru bahasa Inggris dengan menggunakan model
desain metode campuran (quan-QUAL). Data dikumpulkan dalam 19 bulan yaitu pada 2012
- 2014 dan dianalisis dalam tahap yang beragam. Studi ini menemukan dan
menyimpulkan bahwa masalah yang mendasari perubahan dari Sekolah Berbasis
Pendidikan (KTSP) ke K-13 adalah kegagalan kurikulum lama, antisipasi keadaan
demografi dan ekonomi di masa depan, dan manfaat ditawarkan dalam perubahan.
Sejalan dengan sistem pengetahuan dan keyakinan guru terhadap perubahan, pendapat
mereka tentang K-13 menyebabkan dua kecenderungan utama: (1) positif, inovatif,
kreatif dan memberikan dampak terhadap transformasi dari pandangan belajar
tradisional dimensi pedagogik modern; dan (2) negatif dan dangkal yang hanya
berubah dalam tingkat konseptual dan akan cenderung memiliki efek yang sama
dengan perubahan sebelumnya. Interpretasi guru pada K-13 juga menyebabkan dua
kecenderungan utama: (1) kecocokan dan interpretasi yang luas ketika berhadapan
dengan konsep-konsep umum dalam K-13 dalam praktik ELT; dan, (2) interpretasi
parsial terhadap konsep aplikatif sesuai dengan pemahaman mereka, pengetahuan
prosedural dan kenyamanan aplikasi yang ditawarkan oleh unsur-unsur yang
berubah. Pelaksanaan K-13 di ELT praktek ditemukan menjadi parsial, bias dan
cenderung tradisional dari perencanaan proses menilai. Kendala untuk keberhasilan
pelaksanaan K-13 ditemukan akar dalam mindset tetap guru dan dalam
pelaksanaannya.
Kata kunci: reformasi
kurikulum, kendala, praktik ELT, interpretasi, implementasi, K-13, persepsi.
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Penelitian ini
benar-benar memeriksa persepsi guru bahasa Inggris tentang K-13 yang diatur
oleh pemerintah dalam menanggapi peningkatan kualitas pengajaran di Indonesia.
Seperti kurikulum baru diatur, interpretasi yang berbeda diyakini muncul di
antara para guru sebagai pemangku kepentingan utama kurikulum pengembangan dan
implementasinya. Perspektif yang berbeda antara guru dalam mempersepsikan apa
yang dimaksudkan oleh pemerintah pada penerapan K-13 akan menyebabkan
interpretasi yang berbeda dan biasanya akan berakhir dengan pertanyaan dari
ketidakcocokan di tingkat pelaksanaan. Mengingat pentingnya peran guru dalam
melaksanakan reformasi, dan meninjau sejarah pendidikan guru di Indonesia,
terbukti bahwa keterlibatan guru dalam kurikulum pengambilan keputusan di
tingkat sekolah telah minimal. Hal ini terutama karena penggunaan kurikulum
terpusat telah wajib sejak Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun
1945. Guru harus mengajarkan sesuai dengan kurikulum khusus sesuai mandat dari
masing-masing daerah.
Masalah dari
berbagai jenis yang timbul dari pelaksanaan kurikulum telah diakui sebagai hal
yang tak terelakkan, dan karena itu pelaksanaannya secara inheren lebih
kompleks dari pada apa yang orang dapat mengantisipasi (Brindley dan Hood,
1990; Fullan dan Stiegelbauer, 1991). Kompleksitas ini dapat dirasakan dari
beberapa aspek, dengan para pemangku kepentingan pada tingkat yang berbeda
menafsirkan kebijakan kurikulum berbeda dari yang awal dipahami. Pertama-tama,
kebijakan menghasilkan kebijakan dengan niat baik, tapi tak terduga dan sering
hasil yang tidak diinginkan dapat terjadi sebagai kebijakan ditafsirkan oleh
pelaksana lembaga lokal. Kedua, sebagai juru kebijakan, administrator tingkat
menengah mungkin memiliki interpretasi sendiri dari kebijakan. Mereka mungkin
menghadapi kendala kelembagaan atau kontekstual; Oleh karena itu, mereka beruupaya
menerapkan kebijakan yang mungkin terjebak dalam operasi nyata. Ketiga,
pelaksanaan mungkin juga akan dikacaukan oleh perlawanan dari para pemangku
kepentingan utama, yaitu, guru (Williams et al., 1994). Guru mungkin melihat
kurikulum direvisi baik negatif atau hanya berbeda dari seperti maksud dari
kebijakan (Karavas Doukas, 1995), atau melihat inovasi menguntungkan tetapi
tidak menggabungkan perubahan kurikulum ke dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Istilah "inovasi" digunakan secara bergantian dengan istilah
"perubahan" atau "reformasi" dalam penelitian ini. Mengajar
di ruang kelas karena berbagai alasan (Gahin dan Myhill, 2001). Tidak
melaksanakan atau semi-pelaksanaan kurikulum adalah lazim dalam bahasa Inggris
sebagai bahasa kedua dalam konteks bahasa asing.
Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan perspektif kebijakan tentang isu-isu reformasi
kurikulum sekolah dari Sekolah Berbasis Pendidikan (KTSP) dalam K-13 dan
perspektif guru bahasa Inggris dan interpretasi terhadap kebijakan dengan
referensi khusus untuk Program ELT di Sekolah Menengah Atas di Makassar.
Menjelajahi dan mengidentifikasi isu-isu bagaimana guru bahasa Inggris
menanggapi reformasi dan melaksanakan kurikulum sekolah adalah langkah menuju
membangun program ELT sukses yang akan memenuhi kebutuhan semua pihak yang
terlibat. Secara eksplisit, penelitian ini dilakukan dengan tujuan: (1) untuk
mengklarifikasi isu-isu yang mendasari pergeseran progresif dari Kurikulum
Berbasis Sekolah (SBC) K-13 dengan referensi khusus untuk program ELT di Sekolah
Menengah Atas; (2) untuk menggambarkan persepsi dan interpretasi guru bahasa
Inggris terhadap program ELT di K-13; dan (3) untuk mengetahui dan menggambarkan
bagaimana para guru Bahasa Inggris dalam melaksanakan K-13 di kelas praktek dan
apa kendala yang menghambat cara untuk keberhasilan pelaksanaan.
B.
METODE PENELITIAN
1.
Metodologi
Penelitian
Karena tujuan
dari penelitian ini adalah untuk memahami isu-isu yang terkait dengan desain
kebijakan dan persepsi kebijakan guru, interpretasi dan implementasi K-13
dengan referensi khusus pada program ELT yang ditargetkan sekolah menengah senior
di Makassar, penelitian ini menerapkan-metode desain campuran. Sebuah
desain-metode campuran adalah pendekatan yang menggabungkan pengumpulan,
analisis dan menggabungkan data kuantitatif dan kualitatif dalam studi tunggal
(Creswell, 2005). Untuk penelitian ini, jenis desain yang dipilih adalah metode
penjelasan campuran atau model dua tahap di mana Peneliti pertama mengumpulkan
sebagian kecil dari data kuantitatif dan diikuti oleh sebagian besar data
kualitatif (quantum QUAL). Desain ini memungkinkan peneliti untuk memperbaiki
atau menguraikan temuan dari data kuantitatif awal melalui eksplorasi
diperpanjang dan kualitatif mendalam dari isu-isu kunci yang timbul (Creswell,
2005).
Data
kuantitatif dilengkapi dengan pengumpulan data kualitatif dari guru yang
berpartisipasi, memberikan peran mendalam untuk penelitian. Desain kualitatif
terutama terletak dalam paradigma konstruktivisme, yang juga digunakan
bergantian dengan interpretivisme (Mertens 1998; Bogdan dan Biklen, 2003; Guba
dan Lincoln, 2005). Paradigma penelitian ini berada di bawah payung luas studi
kualitatif yang memandang dunia memiliki beberapa realitas dengan penekanan
pada makna dan integrasi nilai-nilai sebagai fakta. Data kualitatif dikumpulkan
melalui observasi kelas, sarasehan setelah kegiatan observasi, wawancara, dan
dokumen yang termasuk rencana pelajaran guru, bahan yang dipilih dan sampel
instrumen penilaian. Observasi kelas dipilih karena memungkinkan informasi
untuk dicatat dalam suatu lingkungan tertentu, dan memungkinkan perilaku
sebenarnya dari guru dan siswa menjadi hal yang perlu dipelajari. Diskusi setelah
observasi dan wawancara yang lebih formal, terutama karena mereka melakukan
tatap muka, guru yang memiliki kesempatan
untuk menggambarkan dan menjelaskan praktek mengajar mereka, sehingga menambah
makna terhadap pengamatan. Selain itu, diskusi memberikan kesempatan untuk
menyesuaikan pertanyaan, mengeksplorasi tanggapan menarik yang muncul dan
menjelaskan makna (Robson, 2011).
Pengumpulan data
penelitian sebelumnya direncanakan akan dilakukan dalam 10 bulan, kemudian
berkepanjangan di 19 bulan dari Oktober 2012 sampai April 2014. Analisis data
diproses dalam tahap yang beragam, penulisan laporan itu dilakukan secara
progresif sesuai dengan pemenuhan analisis data. Penulisan laporan akhirnya
dicapai pada bulan April 2014 dan bersama dengan beberapa konfirmasi dan
klarifikasi mengenai validitas data dan kehandalan. Bahkan, penelitian ini
dilakukan di empat Sekolah Menengah Atas yang ditargetkan dari K-13 pelaksanaan
di Makassar dan melibatkan tiga pembuat kebijakan di tingkat yang berbeda dan
11 guru bahasa Inggris mengabaikan kualifikasi apakah mereka telah selesai mengikuti
proses sertifikasi guru atau tidak, apakah mereka pegawai negeri atau bukan.
Selama mereka mengajar bahasa Inggris untuk setidaknya tiga tahun
berturut-turut, mereka memenuhi persyaratan sebagai sampel informan dari
penelitian ini.
C.
PEMBAHASAN
1.
Isu yang Mendasari
Perubahan dari SBC ke K-13
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa pelepasan K-13 di sejumlah sekolah Indonesia pada
tanggal 15 Juli tahun 2013 lalu didasarkan pada lima alasan penting menurut
kebijakan dalam sistem pendidikan di tingkat nasional, provinsi dan kota. lima
alasan penting adalah tantangan dunia masa depan, peraturan pemerintah,
kegagalan kurikulum lama, potensi manfaat dari kurikulum yang berlaku dan perencanaan
pendidikan yang baik melalui kurikulum yang lebih baik. Kelima poin kunci yang
diyakini sebagai alasan di balik perubahan, yang berasal dari tindak lanjut
perintah sebagai pemberi kebijakan yang digunakan oleh peneliti ketika aspek
tidak diberitahu atau tidak tercakup dalam jawaban awal mereka.
Pergeseran
kurikulum dari SBC ke K-13 bukan keputusan yang terburu-buru diambil oleh
pemerintah karena tidak mudah untuk merancang model tunggal untuk memenuhi
semua aspek. Perubahan kurikulum diakui melibatkan proses yang kompleks dan
sulit, dan membutuhkan perencanaan yang matang, waktu yang cukup, pendanaan dan
dukungan dan semua peluang untuk melibatkan semua pemangku kepentingan dalam
proses desain. Kompleksitas dari proses perubahan berarti, penelitian berusaha mengunci
konsep-konsep, juga harus mengakui dinamika setiap inovasi sebagai hal berbeda
yang unik. Dengan demikian, lancar dan suksesnya perubahan kurikulum adalah
yang sangat sulit dan memakan waktu dan tidak dapat dicapai tanpa pelaksana
potensial pribadi yang terlibat dan menerima perubahan pada diri mereka sendiri
dan menurut konstruksi mereka sendiri tentang realitas. Sementara banyak sistem
saat ini mengamanatkan perubahan yang timbul, dan akan terus melakukannya, ada
kebutuhan untuk menemukan kompromi yang memungkinkan pengguna untuk menemukan
makna dan kepemilikan ide-ide baru mereka sendiri.
Dari perspektif
pembuat kebijakan, pergeseran dari SBC ke K-13 disimpulkan sebagai hasil dari
menggabungkan perspektif permasalahan yang terjadi dalam pelaksanaan kurikulum masa
lalu, beberapa proyeksi demografis dan keuntungan yang ditawarkan menuju perubahan.
Masalah pelaksanaan masa lalu ditemukan muncul di sistem kurikulum lama seperti
itu tidak mendukung siswa untuk mencapai pembangunan berkelanjutan di masa
depan, beban konten, tujuan, domain kompetensi, afektif atau karakter bangunan,
perubahan sosial, standar pengajaran, standar penilaian dan pola pikir guru.
Proyeksi demografi dipetakan dalam hal tantangan masa depan dunia, kualitas
sumber daya manusia yang akan mempengaruhi dalam pembangunan berkelanjutan,
peraturan pemerintah, dan rencana untuk pendidikan yang lebih baik. Manfaat
potensial yang ditawarkan menuju perubahan yang tercakup dalam bidang standar
kompetensi hasil, standar isi, proses standar, dan standar penilaian. Oleh
karena itu, pandangan pertama dari teoritis konstruktivis yang mendasari perubahan
kurikulum di Indonesia adalah bahwa, "Setiap perubahan kurikulum dikenakan
kegagalan kurikulum lama, antisipasi dari proyeksi dunia terutama Indonesia di
masa depan dan keuntungan yang ditawarkan dalam perubahan".
2.
Persepsi dan
Interpretasi dari K-13 dalam Praktek ELT
Studi tentang
persepsi dan keyakinan dalam pengajaran bahasa dan pembelajaran telah lama
dieksplorasi oleh banyak peneliti dan banyak yang telah ditulis tentang peran
persepsi dalam pengajaran bahasa asing dan belajar karena memiliki dampak pada
guru dan perilaku peserta didik. Persepsi dan keyakinan juga mempengaruhi cara
guru melihat kebijakan dan dapat bertindak tidak baik dengan kebijakan yang
dimaksudkan. Sebagai kurikulum baru dilaksanakan, kebijakan yang dimaksudkan
atau peraturan pelaksanaan sering mengakibatkan perbedaan karena proses
memahami dan menerima (Connelly dan Lantz, 1991; Elmore dan Sykes, 1992;
Karavas-Doukas, 1995; Markee, 1997; dan Bekalo dan Welford, 2000). Sullivan
(2002) bahkan menggambarkan kebijakan kurikulum sebagai "kotak hitam"
yang berisi tantangan, kompleksitas dan potensi hubungan kongruen dengan
praktiknya.
Untuk kurikulum
baru dilaksanakan, K-13 yang dirasakan oleh para guru dalam enam perspektif
yang luas, yaitu: (a) kepraktisan; (b) penerimaan siswa; (c) kegiatan belajar;
(d) materi pembelajaran; (e) pendekatan ilmiah; dan (f) penilaian otentik. Dari
enam daerah ini kebijakan, gagasan utama berkaitan dengan persepsi guru pada
penerapan K-13 dalam kaitannya dengan praktek ELT ditemukan.
Setelah
hati-hati mempelajari persepsi guru dan interpretasi mengenai beberapa konsep
atau kasus yang bertentangan yang menyoroti perubahan K-13 dan untuk saat ini
masih belum jelas apakah tanggapan yang dibuat oleh guru berdasarkan apa yang
mereka tahu, atau apa yang mereka percaya, atau apa yang mereka percaya bahwa
mereka tahu, maka peneliti memutuskan untuk menarik kesimpulan dalam dua temuan
utama. Dua temuan utama dalam bab ini mengacu pada persepsi guru dan
interpretasi K-13 dalam kaitannya dengan praktik ELT berdasarkan pengetahuan
dan pengalaman mereka di sekolah mereka sebagai Target pelaksanaan K-13.
Konsep persepsi
dan interpretasi dalam penelitian ini adalah kombinasi dari apa yang guru
percaya, apa yang guru tahu, apa yang para guru percaya bahwa mereka tahu dan
apa yang terjadi di pikiran mereka ketika mereka dirasakan stimulus, dan apa
yang mereka gambarkan dianggap sebagai interpretasi mereka (Green, 1971; Kagan,
1990; Pajares, 1992; Maddox 1993; Richardson, 1994, 1996, 2003; Woods, 1996;
Kennedy, 1997; Basturkman, Loewen dan Ellis, 2004; Errington, 2004; dan Senior,
2006), dan karena itu, semua persepsi guru dan interpretasi yang dianggap
subyektif. Kesimpulannya adalah:
a.
Pertama, guru tampaknya positif memahami dan
menerima perubahan kurikulum hanya jika pengetahuan dan keterampilan praktis
mereka sejalan dengan perubahan. Selain itu, para beban kerja guru dalam hal
administrasi persiapan belajar mengajar harus dikurangi ke tingkat terendah.
Untuk mendukung ini, pemerintah harus memberikan pedoman kurikulum rinci yang
memungkinkan guru untuk melaksanakan kurikulum pada praktek mengajar
sehari-hari yang secara signifikan menunjukkan dampak pada perubahan perilaku
peserta didik.
b.
Kedua, guru memiliki kecenderungan untuk
menunjukkan kurangnya "pengetahuan mata pelajaran" dan
"pengetahuan pedagogis" (Richardson, 1996) karena mereka menunjukkan
pemahaman holistik konsep umum namun tetap parsial dalam pengetahuan prosedural
dan pada beberapa prosedur baru yang kompleks didasarkan pada ajaran. Beberapa
guru memiliki kecenderungan untuk tinggal dalam melihat keyakinan lama mereka
yang bahan pembelajaran yang di atas semua dan memimpin mereka langsung kepada proses
belajar mengajar. Mereka juga cenderung untuk tinggal di zona kenyamanan mereka
dan memegang keyakinan bahwa pekerjaan administrasi untuk bukti fisik yang
lebih penting dari pada perencanaan pelajaran demi pengalaman belajar siswa sebagai
otoritatif memberikan lebih banyak perhatian dan apresiasi atas apa yang
ditulis di atas kertas daripada apa yang dipraktekkan di kelas.
Dengan
demikian, implementasi pada kurikulum tidak memainkan peran signifikan untuk
mempengaruhi pengetahuan guru tentang target yang dicapai dari kurikulum. Yang terakhir mengingatkan
peneliti dari apa yang dikatakan Thornbury, "efek pelatihan mungkin hanya
dangkal" (Thornbury, 1996: 284).
Oleh
karena itu, peneliti menyimpulkan bahwa persepsi guru bahasa Inggris terhadap
perubahan kurikulum dari SBC K-13 dalam pengajaran bahasa Inggris mengarah ke
dua tren utama. Kecenderungan pertama terutama terlihat pada perubahan dari SBC
K-13 sebagai perubahan positif, inovatif, dan kreatif dalam praktek mengajar
bahasa Inggris untuk masa depan Indonesia. Perubahan ini juga memberikan dampak
terhadap perubahan dalam cara guru dan siswa melihat pembelajaran bahasa
Inggris dari pandangan tradisional belajar dimensi pedagogik modern.
Kecenderungan kedua melihat perubahan kurikulum dari SBC K-13 sebagai sesuatu
yang dangkal dan konseptual, dan akan cenderung memiliki efek yang sama dengan
sebelumnya perubahan kurikulum. Kedua tren di persepsi guru tampaknya sejalan
dengan pengetahuan dan sistem kepercayaan guru terhadap perubahan. Pengetahuan
dan sistem kepercayaan bahwa guru telah akan dikaitkan dengan mereka pengalaman
tentang pelaksanaan kurikulum sebelumnya.
Interpretasi
guru Inggris untuk beberapa konsep utama dari perubahan kurikulum dari SBC ke
K-13 berkaitan dengan Pengajaran bahasa Inggris di sekolah-sekolah menengah
atas mengarah ke dua jenis interpretasi: komprehensif dan parsial interpretasi
dalam melihat perubahan. Untuk konsep umum dalam K-13 berkaitan dengan
pengajaran bahasa Inggris, guru memiliki kecenderungan untuk menafsirkan dengan
benar dan komprehensif. Namun, untuk konsep aplikatif, para guru cenderung
menafsirkan konsep sebagian menurut tingkat pemahaman guru dan pengetahuan
prosedural dan kenyamanan dari aplikasi yang ditawarkan oleh unsur-unsur yang
berubah. Dengan demikian, pandangan kedua teori konsruktivisme mendasari
perubahan kurikulum di Indonesia didasarkan pada persepsi guru dan interpretasi
bahwa," persepsi guru dan interpretasi tentang K-13 dalam kaitannya dengan
ELT ini sejalan dengan pengetahuan dan keyakinan, pola pikir dalampraktek
mengajar, tuntutan kebijakan pemerintah dalam tugas-tugas administratif guru
dan mengabaikan kapasitas masing-masing untuk lebih menciptakan atmosfer
pembelajaran baru bagi siswa yang disorot oleh K-13".
3.
Pelaksanaan
K-13 dalam Praktek ELT dan Beberapa Kendala untuk Keberhasilan Pelaksanaan
Satu
titik utama yang akan dibahas dalam bagian ini adalah temuan utama pada
pelaksanaan K-13 dalam praktek mengajar bahasa inggris. Dalam melaksanakan
K-13, para guru ditemukan terjerat pada beberapa praktek lama dan pandangan
tradisional pembelajaran dan tampaknya menerapkan kurikulum komprehensif dengan
sejumlah penyimpangan pada tiga tingkat pelaksanaan: rencana pengajaran, proses
pengajaran dan proses penilaian.
Dalam
rencana mengajar, para guru hanya diminta untuk merancang rencana pelajaran
mereka sendiri berdasarkan beberapa prinsip yang ditetapkan oleh pemerintah yang
berwibawa. Silabus dan materi pembelajaran yang dirancang dan dikembangkan oleh
guru yang menrapkan SBC, telah diambil alih oleh pemerintah. Penugasan ini bertujuan
untuk meminimalkan tugas-tugas administratif guru dan diharapkan bahwa guru
bisa lebih fokus pada praktek pengajaran di kelas. Oleh karena itu, para guru
masih menemukan tantangan untuk merancang rencana pelajaran mereka sendiri.
Berdasarkan pernyataan guru, merancang rencana pelajaran itu cukup sulit karena
mereka tidak dilengkapi dengan pengetahuan dan keterampilan prosedural dalam
merancang pelajaran sesuai rencana dalam pelajaran bahasa Inggris. Akibatnya,
para guru masih terjerat praktek tua tugas administratif di mana guru cenderung
untuk memperoleh sampel rencana pelajaran dari mata pelajaran lain dan membuat
beberapa adaptasi.
Dalam
proses mengajar, guru juga tampaknya menjadi dominan dan pengendalian. Di
banyak bagian, guru digunakan Bahasa Indonesia di usaha yang paling dan sangat
sedikit dibuat menggunakan bahasa Inggris dalam mengajar. Situasi kelas itu
biasa tenang dan tidak ada indikator pengayaan dikembangkan yang bertujuan
untuk membantu peserta didik cepat mencapai lebih banyak dalam target
kompetensi. Topik dan tugas yang akan digunakan dalam pembelajaran juga
ditentukan oleh guru dan siswa diperlukan untuk melakukan tugas-tugas seperti
yang ditentukan. Dalam interaksi kelas, pola dominan adalah interaksi duo
lintas; guru- siswa dan siswa-guru yang juga dianggap berakar pada pandangan
tradisional pembelajaran. Guru diprakarsai interaksi, siswa merespon dan guru
pada gilirannya memberi masukan. Para guru seperti biasa mulai pelajaran dengan
menjelaskan dan menegaskan pemahaman siswa dengan menanyakan apakah mereka
mengerti atau tidak dengan gaya belajar yang lama, dan siswa menjawab rangsangan
guru paduan suara yang mereka mengerti. Interaksi antara siswa dengan siswa
hanya terjadi ketika kegiatan belajar mereka dipasangkan melalui interaksi atau
diskusi kelompok kecil. Bagian lain dari hasil yang berkontribusi terhadap
temuan adalah ruang kelas. Pengaturan kelas di sebagian besar sekolah cenderung
kondusif untuk digunakan dalam proses belajar mengajar. Seperti khas
karakteristik ruang kelas dalam sistem pendidikan Indonesia, meja lagi bagi
siswa pada umumnya ditempati oleh dua siswa untuk duduk dan diatur dalam empat
kolom dari empat ke lima baris. Meja yang umumnya tidak cukup untuk duduk lebih
dari 32 siswa dan kelas sebagian besar ramai. Oleh karena itu, di beberapa
ruang kelas, itu biasa menemukan tiga siswa duduk di meja yang awalnya
ditujukan bagi siswa untuk duduk dalam dua bangku. Jenis meja yang digunakan
dalam kelas khas juga memberikan kontribusi terhadap masalah dalam proses
belajar mengajar. Seperti itu jenis meja itu biasanya mengambil waktu untuk
mengatur ulang untuk kegiatan tertentu. Juga, loker untuk mahasiswa dan
penggunaan rak buku untuk menjaga portofolio siswa yang tidak tersedia. Hal
menggarisbawahi di sini berkaitan dengan K-13 pelaksanaan adalah kebutuhan
belajar yang relevan dan fasilitas pengajaran untuk mendukung proses.
Dalam
proses penilaian, guru tampaknya menerapkan sebagian penilaian otentik sebagai
ukuran kelas itu cukup besar. K-13 telah merekomendasikan penggunaan berbagai
jenis penilaian otentik seperti penilaian kinerja, penilaian sikap, Penilaian
Diri dan Penilaian Portofolio. Para guru, tentu saja, dapat memilih jenis
penilaian yang sesuai desain pengajaran mereka. Namun, dalam praktek
pelaksanaan penilaian, guru besar digunakan tiga jenis penilaian secara
bersamaan atau masing-masing. Dalam hal ini, guru mungkin disalahpahami dalam
menginterpretasikan kebijakan penilaian. Sebagai proses penilaian juga telah
dijelaskan dalam silabus, semua guru yang dibutuhkan untuk melakukan penilaian yang
sesuai dan semua komponen dengan kompetensi guru direncanakan untuk mencapai
kompetensi siswa. Teknik yang digunakan dan instrumen dijelaskan dalam rencana pengajaran
adalah observasi sikap, tes kinerja/tes tertulis lisan, tugas, dan portofolio.
Instrumen centang, skala penilaian, catatan, dan berbagai jenis tes objektif.
Kompetensi mereka yang dinilai adalah sikap, pengetahuan dan kemampuan. Dalam
proses yang sebenarnya kompetensi menilai siswa dalam tiga domain, namun, guru
tidak melakukan langkah-langkah yang telah dijelaskan dalam rencana pelajaran
mereka. Mereka berpendapat bahwa itu kadang-kadang itu terlalu banyak dalam
rencana pelajaran dan ukuran kelas adalah hambatan dalam mewujudkan penilaian
yang tepat.
Mengubah
perspektif guru dan pola pikir dari yang lama atau tradisional pandangan
pengajaran bahasa Inggris praktek di ruang kelas untuk dimensi pedagogik baru
atau modern akan menjadi investasi pelaksanaan sukses K-13. Penelitian ini
menemukan praktek guru pada tiga tingkat; perencanaan pengajaran, pengajaran
proses dan proses penilaian. Selain itu, penelitian ini juga menemukan dua
kendala utama untuk keberhasilan pelaksanaan K- 13 dalam praktek pengajaran
bahasa Inggris.
Meskipun
sebagian besar dari beban kerja administratif guru telah ditutupi oleh
pemerintah, para guru masih enggan untuk merancang rencana pelajaran pada
mereka sendiri sebagai tugas tunggal kerja administrasi diserahkan kepada guru.
Keengganan ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan prosedural dan
keterampilan guru dalam merancang pelajaran yang sesuai rencana dalam pelajaran
bahasa Inggris yang berkaitan dengan K-13. Selain itu, mereka juga terbiasa
menggunakan pelajaran siap pakai rencana dari berbagai sumber. Itu juga jelas
bahwa guru memiliki masalah dalam mengembangkan kompetensi pencapaian indikator
yang dipetakan dari SKL, KI dan KD, belum lagi pertimbangan mereka
karakteristik peserta didik dalam merancang rencana pelajaran. Namun, alasan
yang lebih sesuai adalah bahwa rencana pelajaran hanya dibutuhkan oleh
manajemen sekolah dan pemerintah otoritatif untuk memenuhi persyaratan formal
tugas administrasi.
Dalam proses mengajar, guru juga dilibatkan dalam
pandangan tradisional pembelajaran. Pelajaran pengiriman ilmiah dan
tradisional. Dalam menyusun pelajaran, guru memberi sedikit perhatian dalam membuka
dan tahap penutupan. Dalam mengajar, para guru juga tampaknya menjadi dominan
dan pengendalian, digunakan paling banyak Bahasa Indonesia, situasi kelas itu
umumnya tenang, dan topik dan tugas yang ditentukan oleh guru. Interaksi kelas
adalah duo lalu lintas dan diprakarsai oleh guru. Selain itu, ruang kelas itu
biasa kondusif untuk lingkungan belajar terbaik. Ketidaksesuaian antara
deskripsi belajar dan mengajar kegiatan dan kinerja aktual dilaksanakan oleh
guru di kelas mereka juga terjadi. Dalam penilaian proses, guru tampaknya
menerapkan sebagian penilaian otentik sebagai ukuran kelas itu cukup besar. Oleh
karena itu, implementasi dari perencanaan untuk proses menilai para guru menunjukkan
titik kuat bahwa dalam beberapa bagian dari K-13, para guru cenderung mengubah
kebijakan berdasarkan realitas kelas mereka.
Kendala
untuk keberhasilan pelaksanaan K-13 dalam praktek bahasa Inggris yang mengajar
di sekolah menengah yang ditargetkan sekolah di Makassar ditemukan akar masalah
dalam guru sebagai pelaksana dan implementasi itu sendiri. Para guru sebagai
pelaksana dari K-13 dalam mengajar bahasa Inggris ditemukan sebagai sumber
utama kendala ketika guru memiliki mindset tetap menolak perubahan kurikulum.
Pandangan pesimis terhadap perubahan yang sedang terjadi ketika mereka
menemukan bahwa perubahan itu tidak memberikan manfaat individu atau pribadi
atau keuntungan untuk para guru. Sebagaimana dimaksud sebelumnya, ini terutama
terjadi pada guru yang akan pensiun dan yang sebelumnya mendapat keuntungan di
kurikulum lama. Pandangan tetap ini akan mengakibatkan pandangan pesimis dari
perubahan kurikulum. Selain itu, beberapa guru juga pesimis karena kapasitas
mereka sendiri untuk menghadapi perubahan. Para guru jenis ini yang umumnya
ditemukan kurangnya pengetahuan prosedural dalam melaksanakan beberapa bagian
dari perubahan kurikulum. Akar lain dari kendala berurusan dengan pelaksanaan
itu sendiri. Sejumlah bentuk kendala luar juga akan berkontribusi pada
kegagalan pelaksanaan. Kendala luar guru ditemukan selama pelaksanaan yang
berkaitan dengan ukuran kelas, belajar dan mengajar fasilitas, tidak tepat
waktu pelatihan pelaksanaan di K-13, kebutuhan untuk topik tertentu dalam
pengelolaan K-13 dan buku pegangan guru resmi dan buku pelajaran siswa.
Dengan
demikian, berdasarkan kesimpulan di atas, pandangan ketiga teoritis yang konstruktivisme
mendasari pelaksanaan dan kendala dalam keberhasilan pelaksanaan K-13 dalam
praktik ELT adalah, "Tujuan utama dari perancangan dan mengubah kurikulum
tidak untuk merancang yang terbaik dan kurikulum yang ideal, tetapi untuk
mempraktikkannya berhasil. Untuk memungkinkan kurikulum untuk mengambil efek,
guru sebagai pelaksana harus menunjukkan kesiapan mereka, kemauan dan kemampuan
mutlak untuk menerapkan kurikulum dengan mengubah pola pikir mereka dari lama
dan tradisional dilihat dari pembelajaran untuk dimensi pedagogik modern. Melalui
perubahan ini, kendala akan menjadi tantangan baru dan bukan halangan untuk
pelaksanaan".
D.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pergeseran dari SBC ke K-13 bukan perubahan pola
piker dan penelitian ini menolak argumen politik suara yang "Mengubah
menteri akan mengubah kurikulum". Penolakan ini didasarkan pada temuan dan
diskusi di bab-bab sebelumnya. Studi ini menyimpulkan tiga temuan utama
berdasarkan pertanyaan-pertanyaan penelitian yang diajukan sebelumnya tentang
masalah di balik reformasi kurikulum dari SBC ke K-13, persepsi dan
interpretasi guru terhadap K-13 di ELT, pelaksanaan K-13 dan kendala untuk
keberhasilan pelaksanaan. Isu-isu yang mendasari kurikulum perubahan dari SBC
ke K-13 yang menyimpulkan relatif sama dengan isu dalam setiap perubahan
kurikulum di Indonesia. Untuk K-13, isu adalah kegagalan lama kurikulum,
antisipasi pada dunia diproyeksikan dari Indonesia keadaan demografi dan
ekonomi di masa depan, dan keuntungan yang ditawarkan dalam perubahan
kurikulum.
Persepsi guru bahasa Inggris terhadap perubahan
kurikulum dari SBC ke K-13 dalam pengajaran bahasa Inggris terutama mengarah ke
dua tren utama. Kecenderungan pertama datang dari para guru yang terutama
melihat perubahan kurikulum sebagai perubahan positif, inovatif, dan kreatif
dalam praktek mengajar bahasa Inggris untuk masa depan Indonesia. Perubahan
juga memberikan dampak transformasi dalam cara guru dan siswa melihat
pembelajaran bahasa Inggris dari tradisional pandangan belajar dimensi
pedagogik modern. Kecenderungan kedua memandang perubahan kurikulum sebagai
dangkal dan perubahan konseptual, dan akan cenderung memiliki efek yang sama
dengan perubahan kurikulum sebelumnya. Kedua tren persepsi guru tampaknya
sejalan dengan pengetahuan dan sistem kepercayaan guru terhadap perubahan. Pengetahuan
dan sistem kepercayaan bahwa guru memiliki akan dihubungkan dengan pengalaman
mereka pada pelaksanaan kurikulum sebelumnya.
Interpretasi dari guru terhadap perubahan
kurikulum dari SBC ke K-13 dalam praktik ELT mengarah ke dua jenis
interpretasi. Tipe pertama adalah interpretasi yang benar dan komprehensif
ketika berhadapan dengan konsep-konsep umum K-13 dalam praktik ELT. Namun,
menjelang konsep aplikatif, para guru cenderung menafsirkan konsep sebagian
menurut tingkat pemahaman guru dan pengetahuan prosedural, dan kenyamanan
aplikasi yang ditawarkan oleh unsur-unsur yang berubah. Oleh karena itu,
persepsi dan interpretasi bahwa guru terhadap K- 13 dalam kaitannya dengan
praktik ELT yang didalilkan sejalan dengan pengetahuan dan keyakinan, pola
pikir dalam mengajar praktek, tuntutan kebijakan pemerintah dalam tugas-tugas
administrasi guru, dan mengabaikan kapasitas masing-masing untuk lebih baik
menciptakan atmosfer pembelajaran baru bagi siswa yang disorot oleh K-13.
Hal ini mendalilkan bahwa tujuan akhir dari
merancang dan mengubah kurikulum tidak untuk merancang yang terbaik dan ideal
kurikulum, tetapi untuk mempraktikkannya berhasil. Agar kurikulum untuk
mengambil efek, guru sebagai pelaksana harus menunjukkan kesiapan mereka,
kemauan dan kemampuan mutlak untuk menerapkan kurikulum oleh mengubah pola
pikir mereka dari lama dan tradisional dilihat dari belajar dimensi pedagogik
modern. melalui perubahan, kendala akan menjadi tantangan baru daripada halangan
untuk pelaksanaannya. Pelaksanaan K-13 dalam praktek ELT di sekolah dianggap
parsial, bias dan cenderung tradisional di semua tingkatan. Meskipun tugas administratif
guru untuk merancang rencana pelajaran relatif sederhana karena beberapa bagian
memiliki juga telah dijelaskan dalam silabus, guru memilih untuk merancang
terutama untuk tujuan memenuhi salah formal persyaratan dalam tugas-tugas
administratif. Mereka merancang itu dengan mengadaptasi sampel yang disediakan
oleh pelatih dari lainnya subyek. Proses pengajaran bahasa Inggris tidak
konsisten karena keputusan kelas bahwa guru mengeksekusinya berdasarkan
keputusan mereka sendiri atau mengabaikan apa yang telah dijelaskan dalam
rencana pelajaran mereka. penilaian ini juga sebagian diimplementasikan karena
mereka merasa problematis untuk berurusan dengan ukuran kelas umum besar. Oleh
karena itu, implementasi dari perencanaan untuk proses menilai para guru menunjukkan
titik kuat bahwa di beberapa bagian dari K-13, yang guru cenderung mengubah
kebijakan berdasarkan realitas kelas mereka.
Kendala untuk keberhasilan pelaksanaan K-13
dalam praktek bahasa Inggris yang mengajar di sekolah menengah yang ditargetkan
sekolah di Makassar ditemukan akar dalam guru sebagai pelaksana dan dalam
pelaksanaan itu sendiri. Pola piker guru tetap menolak perubahan kurikulum
adalah kendala dalam paling sulit, karena mereka cenderung pesimis. Pandangan
pesimistis relatif stabil ketika mereka menemukan bahwa perubahan tersebut
tidak memberikan keuntungan pribadi atau keuntungan kepada guru. Hal ini
terutama terjadi pada guru yang akan pensiun dan yang sebelumnya mendapatkan
keuntungan menerapkan kurikulum lama. Selain itu, beberapa guru juga pesimis
karena kapasitas mereka sendiri untuk menghadapi perubahan. Para guru jenis ini
ditemukan kurangnya pengetahuan prosedural dalam melaksanakan beberapa bagian
dari perubahan kurikulum. Yang lain kendala luar akar dalam pelaksanaan itu
sendiri. Sejumlah kendala luar juga berkontribusi terhadap gagal pelaksanaan.
Kendala luar bahwa guru menemukan selama pelaksanaan terkait dengan ukuran
kelas, di- kondusif belajar dan mengajar fasilitas, tidak tepat waktu pelatihan
in-service di K-13, kurangnya kemampuan subjek tertentu di K-13, dan kurangnya
buku pegangan guru dan siswa buku pelajaran resmi.
DAFTAR PUSTAKA:
Ahmad,
Djuwariyah, (2014). “Understanding the 2013 Curriculum of English Teaching
through the Teachers‟ and Policymakers‟ Perspectives”. International
Journal of Enhanced Research in Educational Development (IJERED), ISSN:
2320-8708 Vol. 2, Issue 4, July-August, 2014, pp: (6-15), Impact Factor: 1.125,
Available online at: www.erpublications.com.
RINGKASAN ISI
ARTIKEL 3
VOCATIONAL
HIGH SCHOOL TEACHERS’
DIFFICULTIES IN IMPLEMENTING
THE ASSESSMENT IN CURRICULUM 2013 IN YOGYAKARTA PROVINCE OF INDONESIA
KESULITAN GURU SMK MENERAPKAN
PENILAIAN DALAM KURIKULUM 2013 DI PROVINSI YOGYAKARTA
INDONESIA
Heri retnawati
Dr.,
Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia, heri_retnawati@uny.ac.id
Samsul Hadi
Dr.,
Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia, samsul_hd@uny.ac.id
Ariadie Chandra Nugraha
MT,
Universitas Negeri Yogyakarta, Indonesia, ariadie@uny.ac.id
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kesulitan guru
SMK dalam melaksanakan penilaian dalam Kurikulum 2013, yang telah dilaksanakan
sejak Juli 2013 beberapa sekolah di Indonesia yang mungkin diberlakukan di
semua sekolah sekitar tahun 2014. Penelitian ini adalah deskriptif eksploratif
penelitian dengan cara mengumpulkan data kualitatif. Data sekolah menengah
kejuruan tentang kesulitan guru dalam melaksanakan penilaian dalam Kurikulum
2013 dikumpulkan dengan cara wawancara dan diskusi kelompok terarah. Data
Sumber itu 22 guru SMK dan wakil kepala sekolah dari Kurikulum di Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta dari Indonesia. Data Analisis dilakukan dengan
mencari tema tertentu; kemudian, peneliti menemukan hubungan antar-tema dalam
rangka untuk mencapai pemahaman yang tepat. Itu Hasil penelitian menunjukkan
bahwa dalam pelaksanaan penilaian Kurikulum 2013 guru belum sepenuhnya memahami
sistem penilaian. Kesulitan guru juga ditemukan dalam: mengembangkan instrumen
sikap, menerapkan penilaian otentik, merumuskan indikator, merancang rubric penilaian
untuk keterampilan, dan mengumpulkan skor dari beberapateknik pengukuran.
Selain itu, guru tidak bisa menemukan aplikasi yang layak untuk menggambarkan
prestasi belajar siswa.
Kata kunci: kesulitan guru, penilaian
pelaksanaan, kurikulum 2013, kejuruan SMA, penilaian kurikulum
A.
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Seiring dengan perkembangan peradaban, pengetahuan, dan
teknologi, pendidikan telah mengalami perkembangan pesat. Salah satu bukti
nyata adalah perubahan kurikulum termasuk konten pendidikan, proses belajar dan
penilaian. Seperti perubahan kurikulum telah terjadi di daerah lain seperti
Korea (Jadi & Kang, 2014), Eropa (European Pusat Pengembangan Pelatihan
Keterampilan, 2012) dan negara-negara Asia (UNESCO, 2014). Demikian pula,
reformasi kurikulum juga telah terjadi di wilayah ini termasuk Indonesia.
Dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan
daya saing bangsa, sama sekali dengan perkembangan pengetahuan, teknologi dan
seni, pemerintah Indonesia menerapkan kurikulum baru untuk proses pendidikan di
SD, SMP, dan SMA dan kurikulum baru ini disebut Kurikulum 2013. Kurikulum ini
telah dilaksanakan di Indonesia sejak Juli 2013. Kurikulum ini diharapkan dapat
menghasilkan pendidikan produktif, kreatif, inovatif dan sumber afektif manusia
melalui kompetensi penguatan dalam domain sikap (spiritual dan sosial),
pengetahuan, dan keterampilan (Puskurbuk, 2012). Kurikulum ini sangat berbeda
dengan kurikulum sebelumnya. Dalam kurikulum ini, pendidikan tidak hanya
menekankan pengetahuan dan keterampilan, tetapi juga perubahan pendekatan
pengajaran dan sistem penilaian. Tujuan dari kurikulum baru akan dicapai dengan
memperhatikan konten pendidikan, paradigma belajar beralih dariyang Pendekatan
yang berpusat pada guru ke dalam pendekatan yang berpusat pada siswa dan
menggunakan kompetensi berbasis penilaian, menggantikan penilaian berdasarkan
uji-oleh penilaian berbasis otentik-yang mengukur sikap, pengetahuan, dan
keterampilan yang didasarkan pada proses belajar dan pembelajaran hasil.
Sebelum Juli 2013, sistem pendidikan di Indonesia digunakan
kurikulum disusun di tingkat sekolah (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
KTSP). KTSP dilaksanakan sejak Juli 2006. KTSP dikembangkan oleh masing-masing
sekolah, sesuai dengan kondisi sekolah, karakteristik daerah, karakteristik
sosial budaya, dan mahasiswa (Hukum Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional). Terkait dengan pelaksanaan kurikulum ini, sekolah
memiliki kewenangan penuh dan tanggung jawab untuk mengembangkan strategi dan menetapkan
prioritas dalam pendidikan. Kata kunci dari kurikulum ini adalah kearifan
lokal, diri kegiatan pembangunan, penguasaan pembelajaran dan keterampilan
hidup.
Dalam pelaksanaan pendidikan, penilaian adalah aspek yang
sangat penting. Penilaian berfungsi sebagai bantuan untuk guru dalam menyebarkan
siswa menjadi kelompok-kelompok tertentu, meningkatkan metode pengajaran,
mengukur kesiapan siswa (sikap, mental dan bahan kesiapan), memberikan
bimbingan dan seleksi untuk menentukan panggilan dan upgrade kelas (Gronlund
& Linn, 1990), memberikan informasi yang akan membantu pendidik demi
pendidikan yang lebih baik (Reynold, Livingstone, & Wilson, 2010) dan dalam
membuat keputusan mengenai keberlanjutan studi dan evaluasi program (Johnson,
Penny, & Gordon, 2009). Penilaian harus dilakukan dalam rangka untuk
mengukur prestasi belajar siswa dan penilaian seperti telah dikenal sebagai
penilaian otentik.
Kata kunci dalam Kurikulum 2013 yang telah dilaksanakan
adalah penilaian otentik. Penilaian otentik adalah proses menilai kesadaran
global dan proses ini membutuhkan bahwa siswa harus menunjukkan pemahaman yang
lebih dalam pemikiran, yang motivasi, dan tindakan berbagai budaya agar
berhasil merespon masyarakat dan tempat kerja yang memperpanjang jauh melampaui
tingkat kenyamanan mereka saat ini. Menilai keterampilan belajar mengakui
perlunya siswa untuk berpikir kritis, menganalisis informasi, memahami ide-ide
baru, berkomunikasi, berkolaborasi, memecahkan masalah, dan membuat keputusan
suara berdasarkan bukti (DiMartino, Castameda, & Miles, 2007). Penilaian
otentik adalah penilaian yang membutuhkan siswa untuk menggunakan kompetensi
yang sama, atau kombinasi dari pengetahuan, keterampilan, dan sikap, bahwa
mereka perlu menerapkan kriteria dalam situasi kehidupan profesional (Ariev,
2005; Gulikers, Bastiaens, & Kirschner, 2004; Lombardi, 2008).
Ada empat kriteria yang akan digunakan dalam penilaian
otentik. Empat kriteria dari Herrington dan Herrington (2006) adalah sebagai
berikut: "(1) Konteks; (2) masalah pemecahan keterampilan, agar berpikir
dan produksi pengetahuan yang lebih tinggi; (3) factor ujian yang merangsang
berbagai tanggapan aktif; dan (4) indikator yang terdiri dari beberapa
indikator pembelajaran, mencapai validitas dan reliabilitas "(hlm. 147).
Sayang-Hammond, Herman, Pellegrino, Abedi, Aber, Baker, ..., Steele (2013)
menggambarkan lima fitur utama yang mendefinisikan unsur-unsur sistem penilaian
yang mungkin sepenuhnya mengukur Umum Inti Negara Standar dan mendukung
evaluasi pembelajaran yang lebih dalam. Kriteria adalah sebagai berikut: (1)
penggunaan penilaian tingkat tinggi keterampilan kognitif: penilaian ini
memungkinkan siswa untuk mentransfer aspek belajar untuk situasi baru dan
masalah; (2) penggunaan kemampuan penting dalam penilaian kesetiaan tinggi; (3)
penggunaan penilaiain internasional Benchmarked; (4) penggunaan petunjuk sensitif
dan mendidik barang berharga; dan (5) penggunaan penilaian yang valid, dapat
diandalkan dan adil "(hlm. 3-4).
Dalam rangka melaksanakan prinsip-prinsip penilaian otentik
dalam Kurikulum 2013 yang memiliki pernah berlaku di Indonesia, pemerintah
telah menetapkan beberapa peraturan. Penilaian dalam Kurikulum 2013 diatur
melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Republik Indonesia Nomor 81
Tahun 2013 (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, 2013), yang telah direvisi
menjadi Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Republik Indonesia Nomor
104 Tahun 2014 (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, 2014). Titik utama dari
kedua peraturan ditemukan pada penilaian otentik. Ada empat kompetensi yang
akan diukur dalam penilaian otentik dan empat kompetensi adalah sebagai
berikut: sikap spiritual dan sosial, pengetahuan, dan keterampilan.
Masing-masing kompetensi akan diukur dengan teknik dan cara yang berbeda.
Ketika pemerintah menerapkan kurikulum baru, ada beberapa
tantangan yang mungkin dialami. Eraslan (2013) meneliti refleksi dari guru
matematika Turki pada pelaksanaan pembelajaran matematika SD kurikulum baru untuk
kelas 6-8 di sekolah percontohan. Dari wawancara dan observasi, dia menemukan
bahwa guru yang mendukung kurikulum baru matematika; Namun, mereka menyebutkan kurangnya
pelatihan awal dan meminta pelatihan pengelolaan yang sedang berlangsung di
tingkat sekolah. Mereka juga mengklaim bahwa mereka mengalami masalah berikut
dalam praktek: (1) hambatan pada pelaksanaan kegiatan kelas, (2) kurangnya
pengetahuan yang cukup tentang penilaian alternatif, (3) kurangnya dukungan
orangtua dan keterlibatan, dan (4) gangguan yang disebabkan oleh tes mengacu norma
nasional.
Park (2008) juga menemukan hasil yang sama di ruang
kerjanya. Dia meneliti bagaimana guru SD Korea mengintegrasikan kurikulum ke
dalam praktek pengajaran mereka dan apa yang mereka dialami dalam pelaksanaan
integrasi. Dari analisis, Park ditemukan beberapa masalah terpapar oleh
pengalaman guru: (1) guru tidak memiliki kerangka teoritis untuk integrasi
kurikulum, (2) guru memiliki pendekatan pragmatis untuk integrasi kurikulum,
dan (3) ada keterbatasan pada kurikulum integrasi. Agar integrasi akan
dilaksanakan dan dipertahankan dengan baik, guru harus memiliki peran penting
dalam memahami kurikulum.
Alshammari (2013) mengeksplorasi pendapat guru ilmu tentang kurikulum
baru Kuwait kelas enam dan kurikulum sains kelas tujuh, yang dilaksanakan pada
tahun 2008. Studinya difokuskan pada pandangan guru tentang isi kurikulum dan
mengungkapkan tantangan dan kesulitan yang mereka hadapi dalam mengajar
kurikulum baru ini. Temuan menunjukkan bahwa isi kurikulum tidak membantu siswa
bekerja sama dan tidak terkait dengan budaya siswa dan masyarakat. Temuan juga
menunjukkan bahwa guru sains menghadapi banyak tantangan dalam mengajar
kurikulum baru, seperti kurangnya alat pengajaran di sekolah-sekolah dan fakta
bahwa pemerintah tidak memberikan pelatihan yang berkaitan dengan yang baru
kurikulum.
Lumadi (2013) menyelidiki tantangan yang mempengaruhi
penilaian guru kelas dalam praktek dan mengeksplorasi bagaimana tantangan ini
mempengaruhi pengajaran yang efektif pada praktek mengajar. Studinya menemukan
tantangan utama dalam domain berikut: kebijakan interpretasi, perencanaan
penilaian, pelaksanaan penilaian, penggunaan beberapa metode dalam praktek
penilaian, dan waktu penilaian. rekomendasi yang dirumuskan dalam rangka
memperkuat praktek penilaian kelas. Demikian pula, Kurebwa dan Nyaruwata (2013)
menyelidiki masalah guru dalam melaksanakan penilaian proses. Temuan penelitian
mereka menunjukkan bahwa penilaian di Sekolah Dasar dibatasi oleh sejumlah
masalah. Masalah termasuk kurangnya kompetensi guru dalam melaksanakan
penilaian, penggunaan penilaian sumatif yang lebih sulit dibandingkan dengan
penilaian formatif dan kurangnya sumber daya. Kankam, Bordoh, Eshun, Bassaw,
dan Korang, (2014) melakukan penelitian lain dalam rangka untuk menggambarkan
persepsi guru dari penggunaan teknik penilaian otentik di Ilmu Sosial subyek
dalam SMA di seluruh Ghana. Hasil dari Penelitian mereka menunjukkan bahwa
penilaian otentik dilaksanakan di ruang kelas mereka dibatasi oleh kebijakan,
waktu, sumber daya dan metode yang sekolah mereka.
Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ini dalam melaksanakan
kurikulum baru, harus ada perawatan khusus sehingga masalah dapat dipecahkan.
Para ahli kurikulum menunjukkan bahwa harus ada monitoring dan evaluasi
kegiatan. Di antara semua persyaratan untuk implementasi kurikulum, guru harus
terus dipantau dan didukung untuk meningkatkan kualitas belajar mengajar
(Makeleni & Sethusa, 2014). Hasil monitoring dan evaluasi mungkin
dipekerjakan sebagai masalah referensi untuk meningkatkan implementasi
kurikulum dan pengembangan kurikulum proses (Hussain, Adeeb & Aslam, 2011).
Kendala dalam melaksanakan penilaian otentik mungkin diatasi dengan
mempersiapkan fasilitas pendukung baik dalam bentuk alat dan aplikasi komputer.
Dalam rangka mendukung pembelajaran tentang penilaian untuk semua pendidik,
Mueller (2005) membuat dan menerbitkan sebuah Penilaian Otentik secara online Toolbox,
sumber untuk bagaimana menciptakan tugas otentik, rubrik dan standar untuk
mengukur dan meningkatkan pembelajaran siswa.
Indonesia memiliki 12,892 sekolah SMK. Dari sekolah-sekolah
ini, ada 1,408 sekolah kejuruan yang telah menerapkan Kurikulum 2013. Kurikulum
ini sangat berbeda dengan kurikulum sebelumnya, terutama dalam sistem penilaian
yang menggunakan penilaian otentik. Sistem ini menggunakan berbagai teknik
pengukuran kedua uji dan non tes, tidak semua guru telah menggunakan
sebelumnya. Berdasarkan studi pendahuluan, ada keluhan dari guru dalam
melaksanakan sistem penilaian di Kurikulum 2013 (Wutsqo, Jailani, retnawati
2014). Namun, hasil ini belum memberikan penjelasan lebih rinci tentang
kesulitan guru dalam melaksanakan penilaian kurikulum baru, terutama di
sekolah-sekolah kejuruan yang meliputi teori dan praktek pembelajaran. Terkait
dengan ini, perlu untuk mengetahui kesulitan guru SMK di mengimplementasikan
Kurikulum 2013, sehingga ini dapat menjadi pertimbangan bagi guru, sekolah,
Pemerintah dalam melakukan pendidikan dan kemudian mencari tahu upaya untuk menutupi
kesulitan-kesulitan mereka.
2. Tujuan
dari Studi
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggambarkan
kesulitan guru SMK dalam melaksanakan penilaian dalam Kurikulum 2013 di
Yogyakarta Provinsi Indonesia selama dua tahun.
B.
METODE
PENELITIAN
1.
Desain Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian
deskripsi eksplorasi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian ini
menggunakan tradisi fenomenologi (Creswell & Clark, nd). Penelitian ini mencoba memahami kesulitan guru
untuk melaksanakan penilaian di Kurikulum 2013 berdasarkan pengalaman guru.
2.
Peserta
Para peserta terdiri dari 22 guru
mata pelajaran dan wakil kepala sekolah dari sekolah menengah kejuruan di
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta di Indonesia. Guru di sekolah-sekolah
menengah kejuruan tersebut telah menerapkan kurikulum tahun 2013, penilitian dimulai
pada bulan Juli 2013. Guru-guru dan wakil kepala sekolah datang dari 11 sekolah
kejuruan dari empat kabupaten dan satu kota di DIY Provinsi wilayah di
Indonesia. Ada 11 guru yaitu (T1, T2, T3, ..., T11) yang mengajar banyak mata
pelajaran di sekolah-sekolah menengah kejuruan dan kepala/wakil kepala sekolah
tentang kurikulum 2013 yaitu (V1, V2, V3, ..., V11).
3.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan
melakukan Fokus
Group Diskusi (FGD) dan mendalam melalui wawancara.
FGD digunakan untuk menggambarkan masalah umum pelaksanaan penilaian dalam
Kurikulum 2013 yang dialami guru terutama guru dan wakil kepala sekolah kesulitan
dalam melaksanakan kurikulum. FGD ini diikuti oleh peserta dengan teknikmwawancara
mendalam untuk melihat kredibilitas data. Setelah masalah umum telah
diidentifikasi, kesulitan guru yang dikenal secara detail menggunakan wawancara
mendalam dengan guru. Hasilnya pengecekan menggunakan wawancara mendalam tentang
kurikulum dengan wakil kepala sekolah. Pengumpulan data melalui FGD dan
wawancara mendalam, peneliti sendiri menggunakan instrumen utama. Untuk memandu
pelaksanaan pengumpulan data, panduan wawancara digunakan. Panduan ini berisi
komponen implementasi kurikulum, termasuk sosialisasi dan diseminasi kurikulum,
penilaian sikap, kognitif, dan keterampilan kompetensi, dan pelaporan hasil
penilaian. Di masing-masing komponen kesulitan diidentifikasi berdasarkan
pengalaman guru.
4.
Analisis Data
Hasil FGD dan wawancara direkam.
Analisis data dari catatan itu dilakukan dengan mencari tema dan menentukan
hubungan antar tema dalam rangka untuk menemukan pemahaman Bogdan dan model Biklen
(1982). Dari catatan ini, data yang dipecah menjadi komponen sesuai dengan
tujuan dari pengumpulan data. Masing-masing komponen, data dikelompokkan dalam
tema. Kemudian tema tersebut menggeledah hubungan antara inter tema, untuk
mendapatkan pemahaman tentang guru kesulitan untuk melaksanakan penilaian dalam
Kurikulum 2013.
C. HASIL
PENELITIAN
1. Temuan
Penelitian
Dengan mengacu pada data dari
wawancara dan diskusi kelompok terarah, fenomena Kurikulum 2013 pelaksanaan
diklasifikasikan ke dalam lima tema: pelatihan kurikulum dan pelaksanaan
penilaian sosialisasi, sikap, pelaksanaan penilaian kognitif, pelaksanaan
penilaian keterampilan dan melaporkan prestasi siswa.
2.
Kurikulum 2013 Pelatihan dan
Sosialisasi
Kurikulum 2013 telah resmi berlaku
sejak beberapa tahun yang lalu; Namun, ada masih masalah yang ditemukan di
lapangan. Hampir semua guru di Indonesia telah diberikan pelatihan dan sosialisasi
dari tingkat sekolah sampai tingkat nasional. Beberapa guru bahkan telah
ditunjuk sebagai instruktur kurikulum dari tingkat sekolah hingga tingkat
provinsi. Banyak program yang telah disiapkan untuk pelatihan/sosialisasi;
Sayangnya, ada beberapa guru yang tidak menghadiri sidang. Satu dari 22 guru
dan wakil kepala sekolah diwawancarai menunjukkan bahwa ia tidak diberi
informasi sehubungan dengan sesi pelatihan/sosialisasi Kurikulum 2013. Jadi
jauh sebelum wawancara peneliti telah mengumpulkan informasi dari beberapa
literatur dan Peraturan Menteri.
Sosialisasi dan sesi pelatihan di
tingkat Nasional pasti membutuhkan banyak instruktur yang dituntut untuk
menyampaikan materi yang sama. Namun, dalam prakteknya permintaan belum
terpenuhi. Banyak peserta pelatihan mengeluhkan interpretasi yang berbeda di
antara instruktur. Akibatnya, para peserta menjadi bingung. Masalahnya menjadi
lebih buruk ketika peserta dituntut untuk menjadi instruktur untuk rekan-rekan mereka
di sekolah masing-masing. Pemahaman mereka yang dangkal dan beberapa penafsiran
dihasilkan dari perspektif instruktur yang berbeda tidak mempersiapkan peserta
pelatihan dengan baik. Peserta pelatihan harus diberikan bahan dari sesi
pelatihan dan sosialisasi secara sistematis, maka pasti mereka akan mampu
melakukan tugas mereka. Kondisi ini yang menjadi alasan kebingungan guru dalam
melaksanakan Kurikulum 2013. Mengenai pelatihan sub tema dalam pelatihan dan
sosialisasi Kurikulum 2013 wakil kepala sekolah menyatakan kutipan berikut.
"... Pelatih tidak menguasai
materi Kurikulum dan cara pengelolaannya, kemudian latar belakang pendidik tidak
sama dengan peserta .... "(V1)
Kurikulum 2013 dilaksanakan di bawah
beberapa persiapan yang belum dianggap cukup. Banyak guru telah dimasukkan ke
dalam suatu kondisi yang mendesak mereka untuk menghadiri sosialisasi dan pelatihan
giliran. Banyak guru harus menghadiri sosialisasi dan pelatihan, sedangkan sesi
harus dilakukan dalam periode minimum. Akibatnya, saat penjatahan untuk sesi
menjadi terbatas. Waktu penjatahan yang terbatas, sama sekali menjadi polemik
penafsiran yang berbeda diberikan oleh masing-masing instruktur disebabkan
sosialisasi dan sesi pelatihan menjadi tidak efektif dan tidak efisien. Oleh
karena itu, tidak mengherankan bahwa sebagian besar guru kembali ke sekolah
mereka dengan pemahaman yang dangkal tentang Kurikulum 2013. Laporan peserta
tentang waktu pelatihan berikut.
"... Waktu pelatihan untuk
kurikulum penyebaran sangat singkat." (T1)
"... Waktu pelatihan tidak
efektif dan saya membutuhkan pelatihan yang komprehensif." (T2)
"... Guru masih kurang waktu
untuk berlatih dan ada guru yang belum menjadi peserta pelatihan ....
"(V2)
Dalam hal bahan, sosialisasi dan
pelatihan Kurikulum 2013 untuk sebagian besar waktu belum lengkap. Bahkan bahan
pelatihan belum pernah benar-benar dijelaskan. Secara umum, sesi ini difokuskan
pada proses perencanaan pengajaran dan bukan pada proses penilaian yang mendalam.
Dampaknya adalah bahwa frekuensi dalam melaksanakan metode penilaian oleh guru
menjadi sangat minim, sedangkan sosialisasi dan sesi pelatihan adalah saat yang
tepat untuk guru untuk memahami dengan baik dan sistem penilaian yang benar.
Setelah sosialisasi dan sesi pelatihan
berakhir, beberapa guru memahami penilaian dalam Kurikulum 2013. Namun,
guru-guru lain tidak mencapai pemahaman mendalam tentang sistem penilaian
kurikulum. Semua guru yang diwawancarai menyatakan bahwa sistem penilaian dari
Kurikulum 2013 adalah rumit. Pernyataan mereka didasarkan pada jumlah instrumen
yang harus mereka siapkan sebelum mereka mulai proses pengajaran. Instrumen ini
terdiri dari berbagai jenis teknik untuk menilai sikap spiritual, sikap sosial,
kognitif, dan kompetensi keterampilan '.
"Sistem penilaian rumit
...." (T3)
"Terlalu banyak instrumen yang
harus dilakukan untuk melakukan penilaian ...." (V2)
3.
Penilaian Sosial dan Sikap Spiritual
Penilaian Sikap merupakan elemen
horisontal dan vertikal. Kurikulum 2013 menuntut lembaga pendidikan untuk dapat
mengembangkan siswa dalam hal domain sosial dan keagamaan. Beberapa teknik
telah ditawarkan sebagai upaya untuk menilai dua elemen. Teknik penilaian
meliputi observasi, penilaian diri dan penilaian sejawat. Para guru diarahkan
untuk memilih setidaknya salah satu teknik penilaian yang dilakukan. Beberapa
guru memutuskan untuk menggunakan observasi karena Teknik ini dianggap sebagai
teknik yang paling praktis.
"Saya hanya menggunakan teknik
observasi, sulit untuk melakukan penilaian diri... .." (T2)
Kepraktisan mengacu pada proses penilaian
dan desain instrumen. Proses penilaian praktis dibandingkan dengan penilaian
diri dan penilaian teman sekelas. Para guru mungkin melakukan pengamatan kapan
saja tanpa harus mengkoordinasikan siswa. Selain itu, guru tidak perlu
menghabiskan banyak uang untuk mencetak dan mendistribusikan instrumen kepada
siswa. Kepraktisan lainnya adalah ditemukan dalam desain instrumen. Lembar penilaian
diri dan lembar penilaian antar siswa terkandung kalimat operasional yang jelas
hasil elaborasi dari masing-masing sikap operasional operator. Para guru
mengalami kesulitan dalam mengembangkan instrumen karena mereka tidak terbiasa
dengan kegiatan seperti ini. Namun, kondisi itu tidak berlaku untuk semua guru.
Ada beberapa guru yang mampu melaksanakan penilaian diri atau kombinasi dari tiga teknik.
Alat ini dirancang berdasarkan
penjabaran dari indikator yang akan digunakan. Ada dua pendapat yang telah
berkembang pada seluruh guru. Pertama, semua indikator yang telah ditetapkan
dalam peraturan menteri harus diukur di masing-masing bahan. Kedua, guru dapat
memilih beberapa indikator yang memungkinkan pengukuran dalam hal perampasan
bahan. Pendapat pertama memicu komplikasi dalam proses merancang instrumen.
Para guru mengeluh bahwa mereka harus mengamati beberapa item. Di sisi lain,
pendapat kedua relatif sederhana karena para guru mampu memilih beberapa item
dari semua bahan yang tersedia. Akibatnya, kedua opini telah dirujuk oleh
banyak guru. Namun, opini kedua memiliki kelemahan. Para guru mengalami
kesulitan dalam memilih indikator yang akan sesuai dengan materi pembelajaran.
Para guru sering bingung juga dalam memilih indikator yang akan memungkinkan
pengukuran proses pendidikan terkait. Kesulitan guru untuk mengembangkan indikator
yang dinyatakan oleh wakil kepala sekolah sebagai berikut.
"Sulit untuk memilih indikator
sesuai dengan materi yang diajarkan ... "(V3)
Pemilihan item observasi adalah
bukan tugas yang mudah. Seorang guru harus menguraikan beberapa teori dalam mengembangkan
item. Proses pembangunan menuntut keterampilan yang akan menentukan kualitas
instrumen yang dihasilkan. Sebuah instrumen yang baik mungkin mengukur proses
pendidikan secara akurat, efektif dan efisien. Instrumen tersebut adalah salah
satu yang telah dalam penelitian besar-besaran oleh para guru hingga saat ini.
Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar guru masih tergantung pada
pengamatan sebagai sarana proses penilaian. Namun, guru tidak memahami tentang
penilaian yang akan dilaksanakan. Para guru tidak memahami tentang validitas
skor. Dengan jumlah besar siswa dalam kelompok belajar dan dengan fakta bahwa
guru tidak mengajar hanya satu kelompok belajar, akurasi guru dalam melakukan
penilaian itu dipertanyakan. Data lapangan menunjukkan bahwa guru sendiri tidak
pasti tentang objektivitas dari penilaian sikap yang telah dilaksanakan.
"... Guru belum mampu efektif memilih
dan mengatur teknik penilaian yang efisien …. dan kami tidak yakin tentang
objektivitas dan validitas hasil penilaian "(T5)
Proses penilaian sikap yang dominan
dilakukan selama proses pengajaran. Manajemen waktu menjadi kata kunci dalam
keterlaksanaan dari proses dalam penilaian sikap. Sebagian besar guru
menyatakan bahwa mereka masih memiliki masalah dengan manajemen waktu mereka.
Selama proses mengajar, guru terfokus sebagian besar pada kegiatan pengajaran
dan sebagai akibatnya mereka mengabaikan sikap penilaian. Dengan demikian, para
guru sering kehilangan momentum penting dan hilang dari momentum disebabkan
ketidakadilan dalam penilaian (terjadinya pada objek). Masalah lain terjadi
ketika para guru harus mengajarkan kelompok belajar baru atau mahasiswa baru.
Para guru tidak mampu menghafal semua siswa nama dan ketidakmampuan mereka
menyebabkan kesulitan dalam mengamati sikap siswa. Para guru juga bingung dalam
menentukan tujuan, efektif, dan teknik penilaian efisien. Tentang penilaian
sikap dalam Kurikulum 2013, wakil kepala sekolah menyatakan sebagai berikut:
"Jumlah siswa dalam satu kelas
sekitar 28-32 orang, itu membuat sulit untuk guru untuk mengamati siswa satu
persatu ... Guru harus menghafal nama dan sikap siswa ... .hal itu sulit untuk mengajar terutama
pada siswa baru. "(V2)
4.
Penilaian Pengetahuan Siswa
Penilaian pengetahuan menjadi
kompetensi inti tunggal dan guru memiliki beberapa kesulitan dalam melaksanakan
penilaian. Dibandingkan dengan kurikulum sebelumnya, ada perubahan tentang
skala penilaian. Masalah utama dalam menerapkan pengetahuan penilaian adalah
penggunaan 4 timbangan yang harus diubah menjadi gol verbal. Guru tidak akrab
dengan sistem penilaian seperti itu. Salah satu guru berpendapat bahwa sistem
penilaian baru menyebabkan orang tua mengalami kesulitan dalam menafsirkan
hasil belajar, terutama untuk orang tua yang tidak memiliki cukup latar belakang
pendidikan. Selain itu, kesenjangan antara kinerja siswa tinggi dan rendah, kinerja siswa sempit, sedangkan jika
kesenjangan diukur dengan cara skala penilaian 10 kesenjangan akan menonjol.
Akibatnya, penilaian akan menjadi tidak adil untuk kinerja siswa yang tinggi.
"Saya tidak bisa membuat nilai
konversi ...." (T5, T9)
Masalah lain yang ditemukan dalam
kriteria minimum kelulusan. Masalah telah ditemukan sejak pelaksanaan Kurikulum
2006. Keberadaan Kriteria menyebabkan hasil penilaian otentik akan sulit untuk
ditampilkan. Apakah mereka suka atau tidak, guru harus membiarkan seluruh siswa
lulus dan harus bekerja keras memanipulasi nilai agar semua siswa akan memenuhi
minimum nilai yang harus dicapai. Secara teori, para siswa yang tidak lulus
minimal kelulusan akan masuk ke sesi remedial. Namun, dalam prakteknya konsep
ini tidak dilaksanakan karena waktu yang terbatas. Sebagai alternatif terakhir,
seorang guru biasanya memberikan tugas tertentu dan memberikan nilai yang
tinggi sehingga tugas dapat meningkatkan skor siswa.
"... Kriteria mengharuskan
semua siswa harus lulus ..." (V4)
5.
Penilaian Keterampilan
Penilaian keterampilan menggunakan
teknik yang berbeda seperti tugas, proyek dan portofolio. Di sekolah menengah
kejuruan, guru memiliki kesempatan besar untuk melakukan keterampilan penilaian
karena siswa melakukan berbagai praktik. Namun, para guru sering mengalami
kesulitan dalam merumuskan indikator penilaian. Selain itu, guru juga memiliki
kesulitan dalam merancang rubrik penilaian keterampilan siswa.
"... Guru tidak memahami
seluruh konsep penilaian keterampilan ...." (V 5)
"Sulit untuk membuat rubrik
penilaian" (V3)
Karena pemberian beberapa teknik
sebagai telah direkomendasikan oleh pemerintah, seperti penilaian kinerja,
penilaian proyek, penilaian produk dan portofolio, guru menjadi bingung dalam
menentukan teknik yang menerapkan dalam menilai pencapaian kompetensi
keterampilan siswa. Guru disajikan kesulitan dalam penilaian keterampilan dalam
penilaian matematika.
"Saya seorang guru matematika;
sangat sulit bagi saya untuk menentukan indikator untuk menilai kemampuan siswa
dan membuat rubrik penilaian ... "(T8)
6.
Pelaporan Hasil Belajar
Hubungan integrasi skor dalam buku
menjadi masalah khusus untuk lembaga pendidikan. Pola baru-baru yang diadopsi
adalah bahwa guru subjek penting dalam merekap semua nilai dan menyerahkan
hasil penilaian mereka di dalam kelas. Sistem konvensional tersebut tidak
efektif dalam hal waktu dan usaha. Guru lain juga mengeluhkan bahwa sistem
tersebut dikonsumsi terlalu banyak usaha. Dalam kaitannya dengan masalah, ada
satu sekolah yang telah dikoordinasikan sistem penilaian dan skor integrasi
dengan cara Ms. Excel. Namun, sistem ini terbatas pada tahap bentuk penilaian.
Pengajuan skor antara guru dilakukan melalui tatap muka interaksi, dan sebagai
hasilnya, pelaporan hasil belajar akan memakan waktu yang lama.
"Sistem Penilaian terlalu sulit
dan rumit ... termasuk pelaporan Hasil ... "(T10, T11)
Salah satu keanehan dalam Kurikulum
2013 laporan adalah pada deskripsi hasil pembelajaran untuk setiap kompetensi
dan setiap mata pelajaran yang siswa telah dikuasai. Kebanyakan guru tidak
terbiasa menulis skor dan kondisi ini adalah masalah mendasar. Para guru lama
mengeluh tentang bahwa mereka harus menghabiskan dalam menggambarkan hasil
belajar siswa. Bahkan beberapa guru mendiskusikan proses menggambarkan hasil
belajar siswa. Dampaknya adalah bahwa guru menyalin dan sisipkan dalam proses
penilaian karena jumlah siswa yang mereka ajarkan adalah banyak (sekitar 30-40
siswa di setiap kelas). Wakil kepala sekolah menyatakan kutipan yang sama.
"Sulit bagi guru untuk membuat
deskripsi dari hasil penilaian .... dan butuh waktu lama untuk menggambarkan
prestasi siswa dalam bentuk deskripsi kualitatif ". (V8)
Masalah lain dalam kaitannya dengan
deskripsi adalah laporan tebal. Laporan untuk satu siswa dalam satu semester
mungkin terdiri dari lebih dari empat lembar. deskripsi yang berbeda dari hasil
belajar yang diuraikan dalam isi laporan. Salah satu guru bahkan berpendapat
bahwa laporan tersebut tidak komunikatif dalam melaporkan hasil belajar siswa.
Orang tua bingung dalam menafsirkan hasil belajar anak-anak mereka selama proses
belajar. Dengan demikian, para guru berharap bahwa akan ada sistem atau
perangkat lunak yang membuat laporan lebih komunikatif.
"Kami membutuhkan sistem atau
perangkat lunak yang dapat memfasilitasi pelaporan hasil penilaian"(V7)
D.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Pelatihan kurikulum dan sosialisasi
adalah modal awal dari keberhasilan pelaksanaan kurikulum. Ketika pelatihan dan
sosialisasi yang terorganisir dengan baik, mereka akan memberikan pemahaman
yang baik tentang kurikulum bagi guru. Dalam penelitian ini, hasil penelitian
menunjukkan bahwa waktu untuk pelatihan dan sosialisasi belum efektif dan
efisien, dalam hal manajemen. Hal ini dihasilkan dari kurangnya pemahaman guru terhadap
implementasi kurikulum. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian dilakukan
oleh Eraslan (2013) dan Alshammari (2013).
Para guru tidak sepenuhnya memahami
penilaian dalam kurikulum baru. Mereka juga memiliki kesulitan dalam
mengembangkan instrumen penilaian sikap. Sebagai tambahan, kriteria minimum
kelulusan menyebabkan guru mengalami kesulitan melakukan penilaian otentik.
Alasannya bahwa guru memiliki kesulitan dalam merancang rubrik untuk penilaian
keterampilan, ada terlalu banyak pilihan kompetensi dan teknik penilaian. Para
guru juga memiliki kesulitan dalam mengintegrasikan nilai dari teknik penilaian
beberapa yang telah dilaksanakan dan belum ada aplikasi apapun yang mungkin
bisa dilaksanakan dengan mudah dalam menggambarkan hasil proses belajar siswa.
Sistem penilaian adalah faktor bahwa
guru mengeluh sebagian besar waktu dalam proses pelaksanaan Kurikulum 2013.
Pelaksanaan penilaian melibatkan beberapa instrumen yang mendorong para guru
untuk dapat memanipulasi data yang kompleks. Sebagian besar guru enggan untuk
menyelesaikan administrasi prosedur dalam kaitannya dengan beberapa teknik
penilaian. Bahkan beberapa guru menganggap bahwa sistem penilaian dalam
Kurikulum 2013 adalah sulit dan rumit untuk dilaksanakan. Selain itu, guru-guru
ini juga berpendapat bahwa sistem penilaian di Kurikulum 2013 memakan waktu dan
usaha. Banyak pilihan penilaian teknik menyebabkan banyak desain pilihan dan,
oleh karena itu, guru harus mempersiapkan lebih alat tulis sedangkan tidak
semua sekolah mampu memenuhi permintaan tersebut. Sebagai akibatnya, sebagian
besar guru dapat menemukan yang tepat, mudah, efektif dan efisien teknik
penilaian. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian dari Lumadi (2013).
Masalah-masalah ini muncul karena
kurangnya pemahaman mendalam guru tentang sistem penilaian dalam Kurikulum 2013
dan fasilitas memadai. Idealnya, guru harus disiapkan dengan baik dalam
mengembangkan instrumen yang baik dan tepat. Namun, kemampuan tersebut jarang
dikuasai oleh guru. Bahkan memutuskan yang sesuai Indikator mungkin menjadi
masalah besar bagi mereka, belum lagi perumusan indikator ke dalam beberapa item
pengamatan. Kemudian, harus ada fasilitas yang memadai dalam melaksanakan
Kurikulum 2013. Beberapa sekolah telah tersedia aplikasi dalam bentuk aplikasi Microsoft
Excel untuk membantu pelaksanaan sistem penilaian; sayangnya, sekolah lain
telah pasif dan, sebagai hasilnya, mereka guru menerapkan sistem penilaian
secara manual. Kondisi ini masih jauh dari yang ideal mengenai fakta bahwa ada
banyak teknik penilaian, skor adalah dilakukan dengan cara surat dan 1-4 skala
dan kompetensi siswa yang disajikan dalam bentuk deskripsi. Hasil ini didukung
oleh hasil penelitian Park (2013).
Kata kunci dari masalah ini adalah
kurangnya pemahaman guru tentang kurikulum baru. Masalah ini mungkin dapat
diatasi dengan memberikan sosialisasi yang memadai dan sesi latihan yang harus
dipimpin oleh seorang instruktur atau nara sumber yang kompeten. Proses
pembinaan yang dilakukan oleh para ahli dalam menerapkan Kurikulum 2013 juga
perlu. Ahli pembinaan akan membantu para guru untuk memecahkan masalah yang
mereka menemukan dalam melaksanakan penilaian. Hasil ini juga didukung oleh
Park (2008), Alshammari (2013), dan Kurebwa dan Nyaruwata (2013).
Masalah melaksanakan penilaian dalam
kaitannya dengan pelaporan mungkin dicegah dengan merancang sebuah aplikasi
yang mungkin memfasilitasi guru dalam memanipulasi skor dan dalam menyajikan nilai
ini dalam buku raport. Para guru membutuhkan sistem online dalam memiliki
hubungan timbal balik di antara mereka sehingga mereka bisa menyelamatkan waktu
dan usaha mereka. Dengan adanya sistem online, usaha bahwa guru, terutama guru
kelas, menghabiskan mungkin diminimalisir. Para guru juga berharap bahwa akan
ada sistem yang mungkin bisa dilaksanakan dengan mudah dalam proses input skor,
skor integrasi dan deskripsi printout hasil proses belajar siswa.
Hasil penelitian yang didukung oleh banyak
peneliti. Ketika kurikulum baru telah dilaksanakan, tentu akan ada beberapa
kesulitan. Beberapa studi telah menemukan bahwa ada beberapa kesulitan dalam
menerapkan kurikulum baru, yang memiliki juga menjadi hambatan dan tantangan
yang umum di banyak negara lain, dan kesulitan adalah beban kerja berat guru,
keragaman belajar sekelasnya (Cheung&Wong, 2012) dan pemahaman memadai guru reformasi (Cheung &
Wong,2012; Park, 2008,), dan kurangnya fasilitas (Syomwene, 2013).
Kesulitan-kesulitan ini tentu memicu hambatan tambahan dalam aspek lain seperti
pelaksanaan mengajar dan penilaian.
Sejalan dengan hasil penelitian,
sama, dalam pelaksanaan penilaian otentik atau penilaian dalam kurikulum baru,
guru-guru dalam pertemuan umum beberapa lainnya juga mengalami kesulitan.
Kesulitan-kesulitan ini termasuk kurangnya pengetahuan yang cukup tentang
penggunaan alternatif penilaian (Eraslan, 2013); perencanaan penilaian,
pelaksanaan penilaian, menggunakan berbagai metode dalam penilaian dan waktu
untuk penilaian (Lumadi, 2013); kurangnya kompetensi guru untuk melaksanakan
penilaian, penggunaan guru penilaian sumatif lebih dari penilaian formatif, dan
kurangnya sumber daya (Kurebwa & Nyaruwata, 2013).
Berdasarkan hasil penelitian ini dan
hasil penelitian peneliti lain, kata kunci dari kesulitan guru adalah kurangnya
guru yang komprehensif dalam pemahaman Kurikulum 2013, termasuk pelaksanaan
penilaian, seperti perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan hasil prestasi siswa.
Untuk mengatasi kesulitan, program pelatihan yang efektif harus diadakan secara
efektif Program pelatihan harus mencakup isi Kurikulum 2013, pembelajaran,
penilaian dan pembuatan laporan sekolah. Program pelatihan tersebut harus
melibatkan semua guru. Selama pelaksanaan kurikulum, monitoring dan pembinaan
program juga menuntut agar guru mungkin memiliki solusi cepat setiap kali
mereka menghadapi kesulitan. Sesuai dengan kesulitan yang dihadapi oleh guru di
SMK SMA melaporkan hasil penilaian, ini sangat mendesak untuk mengembangkan
penggunaan perangkat lunak untuk membantu mereka dalam melaporkan hasil
pendidikan menerapkan Kurikulum 2013. Perangkat lunak meliputi sistem
pengolahan skor, melaporkan, menjelaskan, dan juga yang buku pegangan sehingga
berlaku untuk semua Sekolah Menengah Kejuruan dan sekolah Indonesia di umum. Implikasi
ini sejalan dengan hasil sintesis kualitatif dilakukan oleh Hussain, Adeeb dan
Aslam (2011), dan Makeleni dan Sethusa (2014).
DAFTAR PUSTAKA :
Retnawati,
Heri., Samsul Hadi and Ariadie Chandra Nugraha. (2016). “Vocational High
School Teachers’ Difficulties
in Implementing the Assessment in Curriculum 2013 in
Yogyakarta Province of Indonesia”. International Journal of Instruction January
2016 ● Vol.9, No.1 e-ISSN: 1308-1470 ● www.e-iji.net p-ISSN: 1694-609X
RINGKASAN ISI ARTIKEL 4
THE ORETICAL
INSIGHTS INTO CURRICULUM REFORM IN BOTSWANA
WAWASAN TEORITIS DALAM REFORMASI KURIKULUM DI BOTSWANA
Leonard Mwalimu Nkosanasaya
Komunikasi
Dan Keterampilan Studi Satuan
Pusat
Pengembangan Akademik
University
Of Botswana
ABSTRAK
Penelitian
ini membahas pendekatan teknis untuk inovasi kurikulum dan berpendapat bahwa Pendekatan ini ingin mengabaikan
sejumlah faktor penting. Faktor-faktor yang menentukan apakah suatu inovasi
akan berhasil atau gagal meliputi: karakteristik inovasi, faktor-faktor lokal,
faktor eksternal, dan pentingnya konteks dan budaya. Penelitian ini dicontohkan
oleh apa yang telah terjadi pada Pendidikan Menengah Sertifikat Jenderal Botswana
diberikan kurikulum baru dan inovasi penilaian. Hasil dari penelitian ini jelas
menunjukkan bahwa faktor-faktor di atas adalah penting jika reformasi kurikulum
adalah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa
karena konteks dan budaya lokal, seperti budaya kelas guru yang didominasi dan
ketersediaan sumber daya material di sekolah, biasanya tidak dipertimbangkan,
reformasi kurikulum sering gagal.
Kata kunci: Kurikulum, Inovasi, reformasi
Kurikulum, implementasi Kurikulum, Penilaian kurikulum.
A.
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Kerangka
tradisional untuk memahami reformasi pendidikan atau perubahan teknik pedagogis
telah menuju sebuah paradigma. Praktek guru kelas yang demikian cenderung dijelaskan dalam
hal masalah teknis. Demikian juga, kegagalan guru untuk mengadopsi inovasi
pedagogis telah dikaitkan dengan masalah teknis seperti miskinnya program
pelatihan guru yang mengarah ke kualitas guru yang buruk, kurangnya sumber
daya, dan pemeriksaan. Langkah-langkah yang diambil untuk mengatasi masalah
yang terkait dengan teknik mengajar di alam cenderung melibatkan investasi
waktuyang besar dan sumber daya dalam program pelatihan guru, lokakarya dan
seminar, semua bertujuan untuk mengubah praktek pengajaran di kelas. Sementara
paradigma ini berguna sampai batas tertentu dalam menjelaskan reformasi
pendidikan tidak memadai karena mengabaikan konteks sosial yang lebih luas yang
mempengaruhi lokus perubahan pedagogis.
Masalah
utama dengan pendekatan teknis adalah implikasi bahwa mengajar adalah bebas menilai,
masalah tujuan kegiatan dipecahkan melalui penerapan prosedur yang ketat dari
metode ilmiah (Senge, 1990; McNiff, 1988; Smyth, 1991; Tabulawa, 1997;
Tabulawa, 1998). Schon (1983, p21) menyebutkan rasionalitas teknis ini sebagai
"pandangan bahwa kegiatan profesional berperan memecahkan masalah yang dibuat
ketat dengan penerapan teori ilmiah dan teknik ". Model input hasil kurikulum
yang khas dari empiris/tradisi positif, menjadikan reformasi pedagogik jauh
lebih bermasalah daripada yang sebenarnya.
Makalah
ini berpendapat bahwa model input output teknik pengembangan kurikulum, Pendekatan
teknik yang khas untuk perubahan
pendidikan, cenderung mengabaikan konteks sosial yang lebih luas yang
mempengaruhi perubahan lokus pedagogis. Tabulawa (1997) telah mempermasalahkan proses pedagogis dengan berpendapat
bahwa gaya pedagogis berpusat pada guru dan organisasi kelas di sekolah
Botswana adalah produk dari sosial, ekonomi dan kekuatan sejarah, dan telah
berkembang selama periode waktu yang panjang. Gaya ini, seperti yang disarankan
oleh Tabulawa (1997), sekarang untuk diberikan kelas dunia dan begitu berakar
di lembaga pendidikan, itu adalah tradisi. Fakta bahwa guru-guru ini bekerja
dalam paradigma lengkap tertentu membuat reformasi pendidikan raksasa dan tugas
yang menakutkan.
Fullan
(2001) menegaskan bahwa reformasi pendidikan adalah lebih dari sekedar
menempatkan ke tempat kebijakan terbaru yang melibatkan perubahan budaya dari
ruang kelas, sekolah, sekolah, universitas dan seluruh sistem pendidikan.
Fullan (2001) lebih jauh berpendapat bahwa inovasi alasan utama gagal pada
skala apapun, dan tidak berkelanjutan saat mereka awalnya berhasil,
infrastruktur lemah atau melayani agenda yang berbeda. Infrastruktur dalam hal
ini termasuk lapisan atas unit yang bersangkutan. Seorang guru, misalnya, tidak
dapat mempertahankan perubahan jika dia bekerja dalam menentang budaya, dengan
cara yang sama bahwa sekolah dapat memulai dan melaksanakan perubahan tetapi
tidak mempertahankan jika itu beroperasi di distrik tidak membantu. Kabupaten
tidak bisa terus berinovasi jika bekerja dalam keadaan atau negara tidak
membantu untuk mempertahankan reformasi.
Sering
kali budaya sekolah dalam sistem pendidikan dapat bekerja melawan reformasi.
Sebagai studi tentang ruang kelas di Botswana telah menunjukkan, gaya pedagogik
yang berlaku, gaya berpusat pada seorang guru, dapat bekerja melawan reformasi,
terutama jika reformasi yang diusulkan adalah kongruen dengan pendekatan yang
dominan (Alverson, 1977; Botswana, 1977; Fuller, 1991; Nabi & Rowell, 1990;
Fuller, Snyder, Chapman, & Hau, 1994; Tabulawa 1997; Yandila, Komane, &
Moganane, 2003). Dalam sistem atau konteks seperti itu, bahkan inti dari
reformasi dapat bertindak dengan cara-cara yang memperlambat atau menghalangi reformasi.
Menurut Fullan (2001), ada sejumlah faktor dalam proses pelaksanaan yang perlu
dipertimbangkan dengan cermat jika reformasi adalah untuk berhasil dan menjadi
dilembagakan. Faktor-faktor ini adalah: 1) karakteristik inovasi, 2)
karakteristik lokal, dan 3) faktor eksternal.
B. PEMBAHASAN
1. Hasil
Penelitian
Dalam
studi tersebut, para guru diminta berbicara apakah mereka pikir penilaian
keterampilan yang terus menerus direkomendasikan berbasis sekolah adalah
proposisi mudah dan praktis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 21/51 (41,2%)
melihat sebagai proposisi layak, 11/51 (21,6%) tidak melihatnya sebagai
proposisi layak, dan 19/51 (37,3%) yang tidak pasti. Diminta untuk memberikan
alasan untuk jawaban mereka, mereka yang berpikir bahwa inovasi itu tidak layak
mencatat berikut: tidak ada sumber daya untuk pengujian berbicara (9/11,
81,8%); penilaian berkelanjutan tidak akan menjadi valid dan cara yang dapat
diandalkan untuk menilai kemampuan berbicara siswa jika dilakukan oleh
pemeriksa wajar tanpa pengecualian (11/05, 45,4%); dan hanya ujian tertulis
adil (3/11, 27,2%). Mereka yang tidak yakin memberi alasan berikut: Departemen
Pendidikan tidak pernah mengimplementasikan semua rekomendasinya (7/19, 36,8%);
berbicara belum pernah diuji sebelumnya di Botswana (8/19, 42,1%); jumlah siswa
di setiap kelas dan guru beban kerja yang sudah terlalu tinggi (3/19, 15,7%);
berbicara penilaian akan mengambil beberapa waktu saat ini dikhususkan untuk
mengajar (19/02, 10,5%); guru tidak tahu bagaimana menilai berbicara (11/19,
57,8%); dan sistem ini tidak siap untuk itu (13/19, 68,4%). Tampak jelas dari
alasan ini bahwa mereka yang tidak yakin apakah pengujian itu layak, meskipun
mereka tidak ingin berkomitmen sendiri, benar-benar berpikir bahwa itu tidak
layak. Akibatnya, sebagian besar responden, sekitar 60% (58,9%), berpikir bahwa
pengujian berbicara seperti yang direkomendasikan oleh silabus BGCSE Inggris
itu tidak layak.
Nkosana
(2006) membagi alasan yang dikemukakan oleh para guru menjadi empat kategori.
a. Kategori
Pertama
Kategori
pertama berkaitan dengan tidak tersedianya sumber daya yang dibutuhkan untuk
penilaian keberhasilan berbicara. Sumber daya material yang disebutkan oleh
guru, termasuk perlengkapan audio visual seperti pemutar kaset, video, pemain
dan monitor televisi yang tidak tersedia di sekolah-sekolah dalam jumlah yang
cukup untuk digunakan untuk latihan dan penilaian keterampilan berbicara. Ini
diperlukan dalam hal guru atau penilai tidak yakin apa tanda untuk memberikan
kinerja kandidat dan kebutuhan untuk meninjau, terutama dalam kasus-kasus
dipasangkan atau pengujian kelompok mana mungkin sulit untuk cukup menilai
kinerja masing-masing kandidat di masing-masing tempat. Perekaman peralatan
yang memadai akan membuatnya mudah untuk menilai kinerja calon nanti atau untuk
meninjau pertunjukan jika penilai atau penilai meragukan kewajaran penilaian
awal mereka.
Dalam hal
sumber daya manusia, banyak guru melaporkan bahwa mereka tidak memenuhi syarat
untuk menilai dan tingkat berbicara. Beberapa alasan mereka maju termasuk: guru
tidak tahu bagaimana menilai berbicara; pelatihan mereka menerima tidak
membekali mereka dengan keterampilan untuk menilai berbicara; dan guru perlu
pelatihan yang tepat. Hal itu harus dicatat bahwa mayoritas guru ESL yang
kemudian mengajar di sekolah-sekolah menengah atas di Botswana yang dilatih
untuk mengajar bahasa Inggris untuk ujian COSC yang tidak menguji berbicara,
dan tidak dilatih untuk menilai berbicara. Hal ini menjelaskan mengapa beberapa
guru menyatakan bahwa mereka tidak diajarkan bagaimana cara mengajar dan menilai
berbicara pelatihan pra layanan mereka.
Doyle dan
(1977) berpendapat kerangka kepraktisan Ponder untuk menjelaskan
mengapa/bagaimana guru di Nkosana (2006) sebuah studi memutuskan apakah sesuatu
itu layak atau tidak, sebagian besar alasan yang dikemukakan oleh responden
karena ketidakpastian atau keengganan dalam bagian kesesuaian dari kerangka.
Kesesuaian berkaitan dengan bagaimana perubahan yang diusulkan sesuai dengan
praktek-praktek yang ada, kondisi kelas dan citra diri guru. Sebagian besar
alasan yang tersedia sehingga harus dilakukan dengan bagaimana perubahan yang
diusulkan terkait dengan praktik responden yang ada, kondisi kelas dan citra
diri. Tidak tersedianya sumber daya material, misalnya, seperti audio-visual
peralatan di sekolah menunjukkan bahwa kondisi kelas yang ada tidak cocok untuk
penilaian berbicara(satu aspek dari keselarasan). Banyak guru beralasan tidak
memenuhi syarat untuk menilai dan tingkat berbicara, dan guru tidak tahu
bagaimana menilai berbicara dapat dilihat untuk memohon citra diri responden.
Jadi ketika responden menilai kondisi ruang kelas yang berkaitan dengan
kesesuaian mereka untuk penilaian berbicara dan keterampilan mereka sendiri
sehubungan dengan menilai berbicara, mereka memutuskan bahwa rekomendasi untuk
menilai berbicara adalah tidak praktis dan karena hal itu tidak layak.
b. Kategori
Kedua
Kategori
kedua dari alasan yang dikemukakan oleh guru harus dilakukan dengan kesulitan
untuk memastikan validitas dan kehandalan dalam penilaian yang melibatkan
banyak guru dengan berbagai kualifikasi, pengalaman dan latar belakang. Dalam
situasi seperti itu, untuk tingkat yang dapat diterima validitas dan
reliabilitas yang ingin dicapai cukup banyak pelatihan guru dalam berbicara
penilaian dan dalam rating kinerja berbicara akan diperlukan. Selain itu sebuah
sistem moderasi perlu dibentuk untuk memastikan disepakati prosedur diikuti dan
standar dipertahankan. Membangun sistem moderasi yang efisien akan menjadi
tugas yang mahal dan menakutkan untuk Departemen Pendidikan Botswana.
Di sini,
dua bagian dari kerangka kepraktisan, perantaraan, yang berkaitan dengan
bagaimana realistis prosedural pedoman yang untuk guru, dan kesesuaian,
tampaknya berguna dalam menjelaskan ketidakpastian responden atau perlawanan.
Alasan penilaian berkelanjutan tidak akan menjadi cara yang valid dan dapat
diandalkan untuk menilai kemampuan berbicara jika dilakukan oleh pemeriksa
wajar tanpa pengecualian, harus melakukan keduanya dengan cara yang realistis sesuai
pedoman prosedural (dalam hal ini untuk menilai berbicara) untuk guru dan citra
diri guru. Sementara itu tidak jelas bagi para guru bagaimana berbicara adalah
bakalan yang akan dinilai karena tidak ada pedoman yang telah diberikan oleh
Departemen pada saat yang sama beberapa guru menyadari mereka tidak memenuhi
syarat untuk menilai berbicara. Biaya aspek kerangka ini juga berlaku di sini
dalam hal alasan seperti penialaian berbicara terlalu memakan waktu. Ketika upaya
guru dibandingkan dan waktu mereka harus berinvestasi dalam menilai berbicara
dengan manfaat besar, mereka memutuskan bahwa rekomendasi untuk menilai
berbicara tidak praktis atau layak. Mengingat faktor di atas dan penalaran,
responden dalam penelitian memutuskan ada tidak yakin tentang atau menentang
pelaksanaan rekomendasi Kementerian.
c. Kategori
Ketiga
Kategori
ketiga menyangkut logistik sulit menilai berbicara dalam pandangan terlibat sejumlah
besar siswa. Masalah yang berkaitan dengan logistik menilai berbicara juga
disebutkan oleh petugas pendidikan bagian dari (2006) studi Nkosana ini. Ruang
kelas BGCSE Bahasa Inggris ramai seperti bahasa Inggris adalah wajib sebuah
subyek. Masalah ruang kelas ramai diperparah oleh kenyataan bahwa setiap guru
menangani banyak kelas dan memiliki beban mengajar tinggi hingga 40 periode per
minggu atau lima jadwal mengajar hari. Logistik menilai berbicara, bahkan
melalui kursus, dalam situasi seperti ini adalah menakutkan. Jadi ketika guru
dianggap ramai ruang kelas dan beban mengajar tinggi mereka menemukan kenyataan
ini menjadi selaras dengan perubahan yang diusulkan dan mereka memutuskan bahwa
inovasi itu tidak praktis atau layak.
d. Kategori
Keempat
Kategori
keempat ada hubungannya dengan pandangan bahwa Departemen Pendidikan tidak pernah
mengimplementasikan semua rekomendasi. Fullan (1993) menegaskan bahwa dalam
sistem seperti itu dari Botswana, di mana pendidikan sangat terpusat dan di
bawah kendali kepemimpinan politik, inovasi dapat diperkenalkan untuk alasan
politik dan bukan dari pendidikan. Dalam situasi seperti itu, sejumlah langkah
yang harus diambil untuk memastikan suksesnya pelaksanaan tidak diambil. Fullan
(2001) berpendapat, bahwa tekad harus dibuat dalam hal kesulitan, keterampilan,
strategi pengajaran, materi dan perubahan keyakinan bahwa perubahan akan
memaksakan keberhasilan pelaksana. Dalam kasus silabus BGCSE Inggris, sebelum penentuan
tidak dilakukan karena tampaknya bahwa keputusan dibuat berdasarkan pertimbangan
nasionalistik tanpa membiarkan waktu yang cukup untuk perencanaan, persiapan
dan pembangunan. Perhatian utama dari pemerintah Botswana tampaknya telah
melokalisir administrasi ujian Sekolah Menengah Atas dan sertifikasi karena
tidak ingin terus bergantung pada organisasi asing (UCLES) untuk ini (Botswana,
1991; Botswana, 1997). Keputusan itu demikian naik turun diambil lebih karena
alasan politik nasional dari kebutuhan pendidikan. Ini tidak berarti bahwa
pedagogi pendidikan tidak perlu mereformasi (ada kebutuhan untuk reformasi
sebagai bahkan di bawah UCLES tidak ada penilaian dari berbicara) tapi bukan
untuk menunjukkan bahwa keputusan itu tidak dibuat terutama untuk alasan
pendidikan, implementasi tertentu prasyarat tidak sepenuhnya dipertimbangkan
sebelum keputusan itu dibuat. Beberapa responden menegaskan penilaian dalam
pendapat mereka bahwa sistem ini tidak siap untuk itu. Alasan para guru penting
karena menunjukkan bahwa penilaian direkomendasikan berbicara tidak layak itu
relatif kurangnya pengalaman menilai berbicara dalam sistem sekolah umum
Botswana dibandingkan dengan pengalaman dengan tiga keterampilan lainnya yaitu mendengarkan,
membaca, dan menulis.
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Makalah
ini telah meneliti kerangka teori utama yang telah digunakan untuk memahami
reformasi kurikulum. Teknik kerangka tradisional dan umum ditemukan tidak
memadai karena implikasinya bahwa ajaran adalah ktivitas tujuan bebas nilai
yang terdapat masalah yang perlu dipecahkan melalui penerapan metode ilmiah.
Saya juga telah berpendapat bahwa model input output teknis pengembangan
kurikulum, teknis khas yang pendekatan untuk perubahan pendidikan, cenderung
mengabaikan konteks sosial yang lebih luas yang mempengaruhi lokus perubahan pedagogis.
Terakhir, telah berpendapat bahwa reformasi pendidikan membutuhkan lebih dari
sekedar melaksanakan Kebijakan pemerintah pusat terbaru. Hal ini membutuhkan
perubahan budaya kelas, sekolah, lembaga administrasi pendidikan, universitas
dan sistem pendidikan secara keseluruhan. Peran yang dimainkan oleh kepala
sekolah dan guru dalam pendidikan reformasi ditemukan menjadi penting dalam
setiap inisiatif reformasi pendidikan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa jika
pendidikan inovasi adalah untuk menjadi sukses, semua pemain utama, termasuk
guru dan siswa kelas, perlu dibawa dalam rangka untuk mengamankan kerja sama
penuh mereka dalam pelaksanaan inovasi. Yang diperlukan manusia dan material
sumber juga harus disediakan.
DAFTAR
PUSTAKA :
Nkosana, L.
M. (2013). “Theoretical Insights into
Curriculum Reform in
Botswana". International Journal of Scientific Research in Education, 6(1), 68-75. Retrieved [DATE] from http://www.ijsre.com.
RINGKASAN ISI ARTIKEL 5
INTEGRATIVE CURRICULUM IN
TEACHING SCIENCE
IN THE ELEMENTARY SCHOOL
KURIKULUM INTEGRASI UNTUK MENGAJAR ILMU DI SEKOLAH DASAR
Dr. Ibrahim, M.Pd,
Dosen
Prodi Pendidikan
Biologi
FKIP USM Banda Aceh,
Indonesia.
Dr. Cut Morina Zubainur, M.Pd,
Dosen
Prodi Pendidikan
Matematika
FKIP Unsyiah Banda Aceh,
Indonesia.
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan kurikulum untuk
mengajar Ilmu Integrasi di Sekolah Dasar, serta menumbuhkan sikap bijaksana
pada siswa dengan nilai-nilai budaya yang terintegrasi. Implementasi Kurikulum
integrasi diharapkan untuk mendorong pelaksanaan kurikulum karakter yang
bermanfaat bagi para siswa, seperti: pemahaman dan penguasaan bahan ajar,
pertumbuhan siswa pribadi sikap terhadap bijaksana pada nilai-nilai dan budaya agama
Aceh yang terintegrasi. Tujuan utama sekolah sementara adalah mempersiapkan pembelajaran perangkat atau
media pembelajaran integrasi kurikulum untuk sekolah dasar sebagai pedoman bagi
guru. Pengembangan kurikulum Metode ini terdiri dari tiga tahap: (1) tahap
penilaian awal, (2) tahap desain, (3) tahap implementasi. Seperti untuk menilai
kualitas kurikulum adalah integrasi cara tatapan validitas, praktis, dan
efektif dalam pelaksanaannya dalam pembelajaran tematik di Sekolah Dasar.
Hasilnya ditemukan ada perangkat Kurikulum Integrasi dan yang komponen yang
valid untuk digunakan oleh guru dalam proses pembelajaran sekolah dasar siswa untuk
menerapkan nilai-nilai integrasi dari syariat Islam dalam pembelajaran tematik
di SD seperti yang diharapkan oleh orang tua wali dan masyarakat. Peran guru
dalam melaksanakan pendidikan karakter, yang memberikan panduan dan contoh
dalam pembelajaran proses sehingga ada perubahan sikap terhadap siswa.
Kata kunci: Kurikulum Integrasi, pembelajaran,
ilmu material, karakter.
A. PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Budaya yang berkembang di masyarakat
Aceh berakar pada ajaran Islam yang dianut oleh seluruh populasi Aceh.
Nilai-nilai Islam pertama yang dipraktekkan dan menjadi tradisi adat di
masyarakat, yang diwariskan dari generasi ke generasi melalui pendidikan dalam
keluarga, menempatkan pembacaan dan pesantren, dan masyarakat, untuk mendidik
moralitas pribadi muslim. Namun, karena pengaruh modernisasi, sekarang telah
terjadi pergeseran nilai-nilai di masyarakat. Nilai-nilai ini tidak lagi hidup
di masyarakat dan bukan merupakan bagian penting dalam kegiatan pendidikan
(Sulaiman, D 2005, Dan Cut Morina, 2013). Pengungkapan Aceh hari ini, memimpin
orang-orang dari Aceh mengalami paparan berbagai budaya asing.
Sementara itu, kondisi alam
lingkungan di Aceh setelah gempa bumi dan tsunami, sangat mengkhawatirkan dan
rentan dengan penyakit wabah. Sumber air bersih yang digunakan oleh orang-orang
yang sudah tercemar belerang dan arsenik dari Gempa dan tsunami itu. Kebutuhan
air bersih dengan kualitas yang baik menjadi sesuatu yang mahal untuk
masyarakat Aceh pada saat itu karena semua sumber air menjadi sangat rusak.
Meskipun di sebagian besar wilayah orang masih dapat mengandalkan air sumur,
namun distribusi air ke rumah-rumah penduduk yang tidak lancar karena
transportasi yang terbatas. Dalam pelaksanaan hukum Islam serta dalam upaya
untuk menstabilkan dan mengembangkan pendidikan Islam sistem yang dikembangkan
di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), budaya dan tradisi harus Islam dihidupkan
kembali di Aceh.
Untuk itu, pemerintah telah menyusun
Qanun NAD Pendidikan di provinsi ini yang menegaskan bahwa NAD Pendidikan
Provinsi adalah pendidikan yang berdasarkan Al-Quran dan al Hadits, falsafah
negara Pancasila, UUD 1945, dan budaya di Aceh. Menanggapi Qanun Pendidikan di
Provinsi Nanggroe Aceh atas, mengeluarkan kebijakan di bidang pendidikan, salah
satunya kebijakan pengembangan kurikulum yang relevan dengan pembelajaran
aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan dan disesuaikan dengan kebutuhan
lokal, terutama dalam kaitannya dengan pelaksanaan hukum Islam. Menurut Potong
Morina (2014) menjelaskan bahwa salah satu aspek yang paling penting dari
pelaksanaan Aceh khusus bersendikan hukum Islam adalah sistem pendidikan yang
mampu mendukung cita-cita melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas
unggul dan kompetitif baik kualitas iman dan takwa serta kualitas ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Namun, Rusdi Sufi (2010) dan Ibrahim
(2015) menjelaskan bahwa suasana Islam dalam pelaksanaan sistem pendidikan di
Aceh belum mengungkapkan kesan yang kuat sehingga tidak terlihat perbedaan yang
signifikan antara sebelum dan sesudah penerapan hukum Islam. Banyak hal yang
tampaknya tidak mendukung penataan sistem, antara lain bahan ajar tidak tertata
dengan baik dan kurikulum berbasis kompetensi Aceh versi yang belum selesai
(McNeil, JD 2000). Seiring dengan itu, karakter kurikulum (Kurikulum 13)
menekankan bahwa salah satu prinsip adalah pengembangan silabus aktual dan
kontekstual. Selain itu, pembelajaran dilakukan penekanan pada karakteristik,
kebutuhan, dan melayani daerah.
Belajar adalah salah satu dari
mereka adalah belajar mengacu integrasi kurikulum, yang merupakan kurikulum
yang dikembangkan untuk mendukung pelaksanaan kurikulum karakter dan sesuai
dengan kepentingan siswa. Implementasi Kurikulum integrasi dilakukan melalui
pengembangan dan pelaksanaan pembelajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai air
manajemen dan sanitasi, pengetahuan lokal dan keragaman budaya Aceh (Ibrahim,
2014 dan Bloom, BS & Eddy, M. 1981). Target utama dari penelitian ini adalah
untuk menerapkan tematik kurikulum integrasi belajar di SD sekolah adalah
kegiatan pembelajaran dapat dilakukan sebagai berikut.
a. Mengembangkan kurikulum integrasi
ilmu untuk mengajar ilmu pengetahuan dan proses belajar dengan bahan ajar
ilmiah dan teknologi kehendak.
b. Mengembangkan integrasi perangkat
pendukung pembelajaran kurikulum tematik yang meliputi: Rencana Pelajaran,
Lembar kerja siswa, Handbook of Learning, Kurikulum Panduan Pengembangan Integrasi.
c. Mengembangkan instrumen untuk
menentukan kualitas kurikulum integrasi telah dikembangkan (untuk tahun pertama
hanya instrumen yang efektif).
B.
METODE
PENELITIAN
1.
Desain
Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian.
Desain penelitian sehubungan dengan
pembangunan tujuan penelitian di atas adalah pengembangan desain oleh Plomp
(1997) seperti yang dijelaskan di bawah ini. Untuk pengembangan kurikulum integrasi
dengan lima unsur yang disebutkan di atas, pengembangan Model tersebut akan digunakan
dengan mengacu pada studi Plomp (1997), yaitu:
a. Tahap Penilaian
Initial
Tahap ini adalah tahap analisis panggung masalah. Tahap analisis
panggung ini meliputi: (a) identifikasi
informasi, (b)
identifikasi data,
(c) mendefinisikan masalah, (d) perancangan kegiatan.
b. Tahap
desain
Kegiatan yang
terjadi di panggung ini bertujuan untuk menyelesaikan masalah identifikasi tahap pertama.
c. Realisasi
Tahap / Konstruksi
Kegiatan panggung, tata ruang dibuat, sebagai desain dari
pelaksanaan kurikulum yang terintegrasi.
d. Tahap Uji,
Evaluasi, dan Revisi
Tata ruang
panggung ini, untuk
meningkatkan kualitas yang dikembangkan,
dan membuat keputusan melalui hati pertimbangan. Evaluasi meliputi sebuah proses
untuk mengumpulkan, dan analisis informasi
secara sistematis. Hal ini dilakukan untuk kualitas permasalahan dari solusi yang dipilih. Kegiatan tata
kelola direvisi dan kemudian kembali ke
kegiatan desain, dan sebagainya. Kegiatan ini dinamakan umpan balik dari
permasalahan berhenti
setelah solusi pemecahan masalah ditemukan.
e. Fase
Implementasi
Pada tahap ini, solusi telah diperoleh setelah evaluasi. Tahap ini dianggap memenuhi masalah yang dihadapi.
Oleh karena itu dipilih solusi dapat dilaksanakan langsung pada situasi nyata. Untuk uji coba yang dilakukan di
kelas tiga Sekolah Dasar 3 Banda Aceh. Sekolah telah bertujuan dengan pertimbangan diasuh oleh guru
yang telah menjadi mitra menerapkan ALCF (Active Belajar Kreatif dan
Menyenangkan). Sekolah Dasar nomor 3 Banda Aceh adalah hasil dari regrouping
sekolah dilakukan Dinas Pendidikan Kota Banda Aceh setelah tsunami. Sekolah ini
terdiri dari empat (4) sekolah dasar, yaitu SD Negeri 3, 13, 14, dan 42.
Penempatan siswa di Kelas tidak diacak secara paralel dengan perengkingan. Hal
ini didasarkan pada informasi dari kota departemen pendidikan yang bertanggung jawab
sekolah, hasil diskusi dengan kepala sekolah dan guru, dan peneliti di bidang
pengamatan.
2.
Teknik Analisis Data dan Indikator Pencapaian
Data tentang kegiatan siswa, kegiatan guru, skor
perkembangan siswa, dan tanggapan guru akan dianalisis secara deskriptif. Hal
ini dimaksudkan untuk melihat kelayakan dan efektivitas integrasi
a. Tahap Penilaian awal
b. Tahap desain
c. Realizationstage / konstruksi
d. Tahap Uji, Evaluasi & Revisi
e. Tahap pelaksanaan kurikulum.
Kriteria kelayakan digunakan didasarkan pada metode grading
dalam evaluasi sumatif Bloom, BS 1981 dan Hunkins, FP 1980) yaitu:
a. 90% £ KKI = Sangat tinggi
b. 80% £ KKI <90% = tinggi
c. 70% £ KKI <80% = moderat (sedang)
d. 60% £ KKI <70% = rendah KKI
e. <60% = Sangat rendah
Informasi: Implementasi Integrasi Kurikulum (KKI)
Sedangkan kriteria efektivitas kedua, kurikulum integrasi
mengacu pada penggabungan dari kriteria diusulkan oleh Eggen, Paul.D & Kauchak, Donald.
P. (1996) dan Kemp, ME & Ross, L. (1988) modelis kata dikatakan efektif, jika memenuhi setidaknya 5 dari 6 kriteria.
a. Aktivitas rata-rata ujian siswa minimal 90%.
b. Rata-rata aktif aktivitas siswa
minimal 40%.
c. Tingkat aktivitas kepatuhan diamati
dengan siswa mencapai minimal
sebesar 80%.
d. Ada kecenderungan meningkatnya hasil
skor formatif / pembangunan.
e. Lebih dari 50% dari siswa memberikan
respon positif terhadap model kurikulum integrasi.
f. Guru menanggapi positif kurikulum Integrasi.
3.
Menilai Kualitas Integrasi Kurikulum
Kriteria kualitas mengembangkan kurikulum integrasi, mengacu
pada kriteria Nieveen (1999), validitas, kepraktisan, dan efektif. Indikator
ketiga kriteria sebagai
berikut.
a. Valididitas
Integrasi
curriculumas valid, jika memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) Setidaknya empat dari enam ahli
(validator) menyatakan bahwa kurikulum integrasi berdasarkan astrong landasan
teoritis.
2) Setidaknya fourof enam ahli
(validator) menyatakan bahwa komponen kurikulum integrasi konsisten di kelas.
3) Hasil tes menunjukkan bahwa komponen
diperlukan
dalam penerapan kurikulum
integrasi.
b. Kepraktisan
Kurikulum integrasi praktis untuk
mengatakan, jika mereka memenuhi kriteria sebagai berikut:
1) Setidaknya empat dari enam ahli
memberikan pendapat bahwa
kurikulum integrasi dapat diterapkan di ruang kelas.
2) Menyatakan Guru dapat menerapkan
kurikulum integrasi di kelas.
3) Kelayakan Kurikulum integrasi, termasuk kategori sangat tinggi.
c. Efektivitas
Kurikulum integrasi efektif, jika memenuhi kriteria
Kemp. JE, Morrison, GR, Ross.SM (1994) dan Eggen, Paul.D & Kauchak, Donald.
P. (1996) seperti yang dijelaskan dalam analisis data di atas.
C.
PEMBAHASAN
1.
Hasil dan Diskusi
Kurikulum integrasi mengatakan kriteria validitas jika:
a. Nilai M (validitas) kurikulum integrasi setidaknya berada di kategori cukup valid, dan
b. Nilai M untuk aspek (komponen) kurikulum
integrasi berlaku dikategori informasi
1) M <1,5 tidak valid
2) 1,5 ≤ M <2,5 kurang valid
3) 2,5 ≤ M <3,5 valid
4) 3,5 ≤ M <4 sangat valid
Berdasarkan hasil penelitian, maka disimpulkan bahwa
kurikulum integrasi dan komponen dasar dalam kategori sangat valid. Dari 10
aspek divalidasi, diambilkan 2 dan 8 aspek yang sangat valid. Berdasarkan kriteria yang
ditentukan, berarti Kurikulum Integrasi telah memenuhi kriteria validitas.
sementara aspek (komponen) Integrasi Kurikulum tersebut telah ditentukan kriteria untuk memenuhi validitas kriteria. Dari
hasil penelitian tersebut tampak bahwa untuk Kurikulum Integrasi dalam kategori
valid. Validator menyarankan buku dan kurikulum brosur integrasi direvisi.
Revisi dilakukan dengan menambahkan teori konstruktivis sebagai
teori pendukung, luaran
buku dan brosur KI ditingkatkan dengan menambahkan pengenalan, dan mahasiswa
interaksi dengan siswa sebagai bagian dari sistem sosial. Tapi kurikulum secara
substantif integrasi adalah umumnya berlaku. Adapun pelaksanaan rencana
pelajaran, lembar kerja siswa, buku teks belajar, diperoleh masukan tentang
beberapa bagian yang akan direvisi. Tapi secara substantif (RPP, LKS, dan Buku
Pegangan) pelaksanaan rencana pelajaran,
lembar kerja siswa, buku teks belajar, secara umum sangat valid. Demikian juga
untuk yang lain komponen kurikulum integrasi, secara umum sudah memenuhi
kriteria validitas dikategorikan sebagai sangat valid.
D.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan proses validasi telah
dilakukan, perangkat mengakuisisi mengembangkan integrasi kurikulum yang
berlaku.
a. Nilai-nilai kearifan dalam kehidupan
sehari-hari (terutama air dan sanitasi, pengetahuan lokal, budaya keragaman)
diharapkan untuk dimasukkan sebagai tujuan pembelajaran tematik, sehingga harus
dirancang dalam belajar oleh:
1) Indikator kuriulum integrasi dicantumkan pada rencana pelajaran,
lembar kerja siswa, dan buku pegangan pembelajaran,
2) Kebijaksanaan siswa dengan
nilai-nilai yang terintegrasi dalam pembelajaran harus dinilai sebagai akibat
dari belajar.
b. Para tenaga pendidik diharapkan mengimplementasikan pembelajaran
tematik dan budidaya nilai-nilai dalam kehidupan
sehari-hari yang disesuaikan dengan pengajaran kurikulum terintegrasi di ruang
kelas.
c. Uji coba pengelolaa dan pelaksanaan kurikulum integrasi yang telah
dikembangkan.
d. Kurikulum Integrasi yang telah
dikembangkan masih perlu diperluas untuk mata pelajaran inti lainnya (Ilmu
Sosial, Longgue, Economi, & PKn).
DAFTAR PUSTAKA :
Ibrahim
and Cut Morina Zubainur. (2015). “Integrative Curriculum in Teaching Science in The Elementary School”. Journal
of Arts, Science & Commerce ■E-ISSN2229-4686■ISSN2231-4172 International
Refereed Research Journal ■www.researchersworld.com■Vol.–VI, Issue – 4, Oct.
2015 [48] DOI : 10.18843/rwjasc/v6i4/07DOI URL http://dx.doi.org/10.18843/rwjasc/v6i4/07
Tidak ada komentar:
Posting Komentar