Senin, 19 Desember 2016

TUGAS AKHIR MAKALAH KONTRIBUSI LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN BAGI PENINGKATAN MUTU, KUALITAS DAN PROSES PEMBELAJARAN DI INDONESIA DR. ANAM SUTOPO




TUGAS MANDIRI AKHIR SEMESTER
“MAKALAH KONTRIBUSI LANDASAN FILSAFAT PENDIDIKAN BAGI PENINGKATAN MUTU, KUALITAS DAN PROSES PEMBELAJARAN
DI INDONESIA

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kuliah Filsafat Pendidikan dan Pembelajaran
Dosen Pengampu : Dr. Anam Sutopo








DISUSUN OLEH :
SRI WAHYUNI
(NIM: Q100160080 / KELAS: IA)

PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRASI PENDIDIKAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2016




ABSTRAK

Dalam menerapkan peranan guru dalam dunia pendidikan, maka sebagai pendidik perlu pemahaman yang baik terhadap konsep kerangka pengembangan di bidang pendidikan itu sendiri. Jika pemahaman akan tugas dan fungsi sebagai tenaga pendidik telah tercapai dengan baik maka upaya peningkatan profesionalisme guru maupun peningkatan kualitas kepribadian guru akan dapat tercapai. Tentunya dengan mendapatkan dukungan serta peran masyarakat dan para pemerhati pendidikan (stake holder) yang terus bersinergi dengan para pendidik secara menyeluruh. Dalam meningkatkan kualitas pendidikan tentu perlu ditunjang dengan  peningkatan profesionalisme dan karakter guru serta tenaga kependidikan yang  sesuai dengan kebutuhan saat ini. Dan filsafat ilmu merupakan landasan yang dapat memberikan arahan, juga motivasi dalam rangka peningkatan kinerja guru maupun peningkatan penyusunan konsep atau program-program pembelajaran secara menyeluruh dan berkesinambungan.
Filsafat ilmu secara psikologis dapat memberikan perubahan karakter bagi tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan. Perubahan yang diharapkan pada tenaga pendidik dan kependidikan adalah sikap dan perilaku yang positif. Sikap perilaku yang kondusif dalam menyikapi kemajuan di bindang pendidikan serta perilaku yang dapat memberikan pelayanan yang prima kepada peserta didik dan masyarakat pemerhati pendidikan. Dalam tulisan makalah ini memberikan informasi tentang pentingnya landasan filsafat ilmu sebagai acuan dalam upaya menerapkan peranan guru dan tenaga kependidikan di masyarakat. Tulisan ini juga memberikan informasi tentang pentingnya filsafat ilmu dan kaitannya dengan pendidikan. Pada tulisan makalah ini juga akan dibahas tentang landasan filsafat ilmu sebagai dasar ilmu pendidikan dan dasar ilmu filsafat pendidikan juga sebagai perangkat asumsi filosofis pendidikan guru serta implikasi bagi pendidikan guru dan tenaga kependidikan.



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata, mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan teknologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan ilmu perilaku (psikologi pendidikan). Ilmu pendidikan diharapkan akan dapat menjadi landasan yang kuat serta dapat diterapkan oleh para pendidik dan tenaga kependidikan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.
Pentingnya landasan filsafat ilmu  kajian untuk dapat memberikan kontribusi dan solusi di bidang  pendidik dan tenaga kependidikan dalam menjawab tantangan zaman. Filsafat ilmu di bidang pendidikan merupakan suatu kebutuhan untuk menyikapi setiap adanya perubahan dan perkembangan di dunia pendidikan. Sehingga guru dan tenaga kependidikan kedepannya akan mampu memberikan peranannya dan juga dapat memberikan pelayanan yang prima di bidang pendidikan baik kepada peserta didik maupun kepada masyarakat pemerhati pendidikan.

B.     Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.      Untuk mempelajari pendidikan sebagai kegiatan ilmu dan seni
  1. Untuk mempelajari dasar-dasar ilmu pendidikan
  2. Untuk mempelajari dasar-dasar filsafat ilmu pendidikan
  3. Untuk perangkat asumsi filosofis pendidikan guru
  4. Implikasi landasan filsafat pendidikan

C.    Permasalahan
Permasalahan dalam makalah ini adalah:
1.      Apakah yang dimaksud dengan pendidikan sebagai kegiatan ilmu dan seni?
  1. Apakah dasar-dasar ilmu pendidikan ?
  2. Bagaimanakah dasar-dasar  filsafat ilmu pendidikan?
  3. Apakah yang dimaksud dengan perangkat asumsi filosofis pendidikan guru?
  4. Bagaimanakah implikasi landasan filsafat pendidikan?
D.    Batasan Permasalahan
Dalam penulisan makalah ini, permasalahan dibatasi pada:
1.      Mempelajari pendidikan sebagai kegiatan ilmu dan seni
  1. Mempelajari dasar-dasar ilmu pendidikan
  2. Mempelajari dasar-dasar filsafat ilmu pendidikan
  3. Menerapkan perangkat  asumsi filosofis pendidikan guru
  4. Implikasi landasan filsafat pendidikan
E.     Sistematika Penulisan Makalah
Sistematika penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Bab I
1.      Pendahuluan
  1. Latar Belakang
  2. Maksud dan Tujuan
  3. Permasalahan
  4. Batasan Masalah
  5. Sistematika Penulisan Makalah
Bab II. Pembahasan Masalah
Bab III. Kesimpulan dan Saran
1.      Kesimpulan
2.      Saran
Lampiran
Kepustakaan


















BAB II
PEMBAHASAN MASALAH

A.    Pendidikan Sebagai Kegiatan Ilmu dan Seni             
Masalah pendidikan dalam pandangan mikro, yang menjadi perhatian  adalah dasar dan landasan pendidikan serta landasan ilmu pendidikan yaitu manusia atau sekelompok kecil manusia dalam fenomena pendidikan.
1.      Perjalanan Pendidikan Dalam Praktek Memerlukan Teori
Alangkah pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori, tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan tidak logis. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan bertujuan memenuhi segala aspek penilaian dan evaluasi terhadap  peserta didik dan juga tenaga pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk  yang namanya manusia untuk dapat menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu. 
Kutipan dari seorang pakar di bidang pendidikan adalah:  Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori tanpa praktek hanya untuk orang-orang  jenius”.        Ini berarti bahwa pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbuatan masing-masing dan tidak mampu bertanggung jawab bersama-sama dalam pengamalan. Pengamalan yang baik adalah pengamalan  yang  memadai, konsisten antara pengamalan lahiriah dan  ruhaniah juga pengamalan dalam penghayatan (psikologis) dan praktik dalam pengajaran.
Untuk mencapai hal tersebut diatas diharapkan kegiatan pendidikan dilaksanakan dengan dasar teori yang baik dan diwujudkan dalam wujud nyata dalam bentuk praktik. Praktik yang di laksanakan pun dengan landasan teori yang baik dan bijak.
2.      Landasan Sosial dan Individual Pendidikan             
Pendidikan sebagai gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan kultural. Pada skala mikro,  pendidikan bagi individu dan kelompok kecil berlangsung dalam skala relatif terbatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya. Pendidikan dalam skala mikro,  diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti mengalami perkembangan yang baik dari segala aspek baik fisik maupum mental psikologis.
Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang mempunyai kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro, pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara.
Pada skala makro, pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro, masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik. Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.
3.      Pendidikan Memadu Jalinan Antara Ilmu dan Seni
Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dalam penerapan di bidang pendidikan mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai  fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia mempunyai nilai  tertentu yang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikan dalam praktik adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat manusiawi. Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari seseorang seperti saya atau siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif.
Seperti dikatakan tentang siswa belajar aktif oleh Phenix (1958:40), yaitu : “It possible to conceive of teacher and student as one and same person and the self taught person as one who direct his own development through an internal interaction between the self as I and the self as me on the other hand, it is usual for one teacher to teach many students simultaneously. In that even the quality oef the interaction may become generalized and impersonal, or it may, by appropriate means, retain its person to person character.”
Artinya sifat manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreativ (berkiat  dan kreatif menciptakan situasi yang pas, apabila perlu, misalnya atas dasar diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka.
Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah  secara termodifikasi dalam telaah manusia melalui gejala-gejala sosial, apakah ilmu pendidikan harus bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalannya khususnya ditanah air kita ?
Atau seperti dikatakan secara ilmiah oleh NL. Gage (1978:20),
“Scientific method can contribute relationships between variaboles, taken two at a time and even in the form of interactions, three or perhaps four or more at a time. Beyond say four, the usefulness of what science can give the teacher begins to weaken, because teacher cannot apply, at least not without help and not on the run, the more complex interactions. At this point, the teacher as an artist must step in and make clinical, or artistic, judgement about the best ways to teach.”
Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan berskala mikro, yaitu oleh pedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran (yang makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran disekolah memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.
Atas dasar pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dari manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan dalam praktek haruslah secara lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar dan pengajaran. Dalam fenomena yang normal peserta didik dapat didorong agra belajar aktif melalui bimbingan.
Konsep pendidikan yang memerlukan ilmu dan seni ialah proses atau upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu secara terarah membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar manusia dimana warga masyarakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu pihak-pihak yang kurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik.  Dalam arti ini juga sekolah laboratorium akan memerlukan jalinan praktek ilmu dan praktek seni.
Definisi pendidikan dari aspek makro “Pendidikan ialah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang”. Karena itu dalam lingkup pendidikan menurut skala  makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep pendidikan menurut undang-undang tadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut : “Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi). Arti Tut Wuri ialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan agar sang anak mengembangkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.
Bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas dari pendidikan dalam arti makro, bahkan disiplin pribadi adalah tujuan dan cara dalam mencapai disiplin yang lebih luas. Ini berarti bahwa landasan pendidikan terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu faktor manusianya. Dengan demikian landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena (gejala) pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain  atau filsafat tertentu dari budaya barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari studi ilmu psikologi, fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun filsafat. Lagi pula konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan kurikulum formal tidak dengan sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan mengajar. Bahkan dalam banyak hal pengajaran itu tergantung hasilnya dari kualitas guru mengajar dalam kelas masing-masing. Asas Tut Wuri Handayani tidak akan menjadikan pengajaran identik dengan sekedar upaya sadar menyampaikan bahan ajar dikelas kepada rombongan siswa.

B.     Dasar-dasar Ilmu Pendidikan
Uraian diatas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar pendidikan bahwa praktik pendidikan sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan eksperimental akan tidak lengkap dan tidak memadai. Fakta pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas sosialisasi dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 % (bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan sosialisasi, mencapai internalisasi (mikro) dan hendaknya juga enkulturasi (makro). Itulah perbedaan esensial antara pendidikan (yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif) dan kegiatan mengajar yang paling-paling menjalin aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan ruang lingkup dalam teori antara pengajaran dengan mengajar dan mendidik.
Adapun ketercapaian untuk daya serap internal mencapai 100 % diperlukan tolong menolong antara sesama manusia. Dalam hal ini tidak ada orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus diimbangi dengan penyegaran dan kontrol sosial.
1.      Pedagogik sebagai Ilmu Murni Menelaah Fenomena Pendidikan 
Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogic (pendidikan anak) dan data andragogi (Pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data factual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai (yang normative) tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak menganut aliran atau suatu filsafat tertentu.
Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogic (teoritis) adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu dalam menerapkan proses pembelajarannya. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogic (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogic praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafah dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya.
Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of knowledge) ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup :
Relasi sesama manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to person relationship) Pentingnya ilmu pendidikan memepergunakan metode fenomenologi secara kualitatif. Orang dewasa yang berperan sebagai pendidik (educator). Keberadaan anak manusia sebagai terdidik (learner, student) Tujuan pendidikan (educational aims and objectives) Tindakan dan proses pendidikan (educative process), dan Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational institution)
Itulah lingkup pendidikan yang mikroskopis sebagai hasil telaah  ilmu pendidikan dalam arti pedagogic (teoritis dan sistematis). Mengingat pendidikan juga dilakukan dalam arti luas dan makroskopis di berbagai lembaga pendidikan formal dan non-formal, tentu petugas tenaga pendidik di lapangan memerlukan masukan yang berlaku umum berupa rencana pelajaran atau konsep program kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Oleh karena itu selain pedagogic praktis yang menelaah ragam pendidikan diberbagai lingkungan dan lembaga formal, informal dan non-formal (pendidikan luar sekolah dalam arti terbatas), dengan begitu, batang tubuh diatas memerlukan ruang lingkup seperti:
1)      Konteks sosial budaya (socio cultural contexs and education)
2)       Filsafat pendidikan (preskriptif) dan sejarah pendidikan (deskriptif).
3)      Teori, pengembangan dan pembinaan kurikulum, serta cabang ilmu pendidikan lainnya yang bersifat preskriptif.
4)      Berbagai studi empirik tentang fenomena pendidikan.
5)      Berbagai studi pendidikan aplikatif (terapan) khususnya mengenai pengajaran termasuk pengembangan specific content pedagogy.
Dari pandangan makro dalam pembelajaran di sekolah membedakan antara objek formal dari aspek pedagogic  terhadap ilmu pendidikan lainny. Karena pedagogic tidak langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan informal dalam keluarga dan dalam kelompok kecil lainnya. Pendidikan formal dan non formal menjadi tugas dari andragogi  dan cabang-cabang lain yang relevan dari ilmu pendidikan. Itu sebabnya dalam pedagogic  terdapat pengkajian tentang factor pendidikan yang meliputi :
a)      Tujuan hidup,
b)      Landasan falsafah dan yuridis pendidikan,
c)      Pengelolaan pendidikan,
d)     Teori dan pengembangan kurikulum,
e)      Pengajaran dalam arti pembelajaran (instruction) yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti luas di lembaga formal dan non formal terkait. 
2.      Telaah Ilmiah dan Kontribusi Ilmu Bantu 
Bidang  yang ditelaah oleh teori pendidikan sebagai ilmu  yaitu bahwa disekitar manusia dan sesamanya yang memiliki kesamaan dan keragaman di dalam fenomena pendidikan. Yang menjadi inti ilmu pendidikan teoritis ialah Pedagogik sebagai ilmu mendidik yaitu mengenai tealaah (atau studi) pendidikan anak oleh orang dewasa. Pedagogik teoritis selalu bersifat sistematis karena harus lengkap problematic dan pembahasannya. Tetapi pendidikan (atau pedagogki) diperlukan juga oleh semua orang termasuk orang dewasa dan lanjut usia. Karena itu selain cabang pedagogic, terdapat cabang-cabang pedagogic praktis, diantaranya pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal dalam keluarga, andragogi (pendidikan orang dewasa) dan gerogogi (pendidikan orang lansia), serta pendidikan non-formal sebagai pelengkap pendidikan jenjang sekolah dan pendidikan orang dewasa.             
Di dalam menelaah manusia yang berinteraksi di dalam fenomena pendidikan, ilmu pendidikan khususnya pedagogic merupakan satu-satunya bidang ilmu yang menelaah interaksi secara utuh yang bersifat  antar dan inter-pribadi. Untunglah ada ilmu lain yang melakukan telaah atas perilaku manusia sebagai individu. Begitu juga halnya atas telaah interaksi sosial, telaah perilaku kelompok dalam masyarakat, telaah nilai dan norma sebagai isi kebudayaaan, dan seterusnya. Ilmu-ilmu yang melakukan telaah tersebut  berfungsi sebagai ilmu bantu bagi ilmu pendidikan. Diantara ilmu bantu yang penting bagi pedagogic dan androgogi ialah : biologi, psikologi, sosiologi, antropologi budaya, sejarah dan fenomenologi (filsafah).             
Pedagogik tidak menggunakan metode deduktif spekulatif dalam investigasinya berdasarkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogic yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis atas fenomen yang bersifat empiris sekalipun bernuansa normative. Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode penelitiannya : 
Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu sisi dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama. Hubungan-hubungan dan gejala yang menunjukkan ciri-ciri pokok dari objeknya ada yang memaksa menunjuk ke konsekuensi yang filosofis, adapula yang memaksakan konsekuensi yang empiris karena data yang factual. Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang data normative pedagogic didahului dan diikuti oleh oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan. Itulah fenomena atau gejala pendidikan secara mikro yang  mengandung keenam komponen yang menjadi inti dari batang tubuh pedagogic.
3.      Kontribusi Ilmu-ilmu Bantu terhadap Pedagogic             
Ilmu pendidikan khususnya pedagogic dan androgogi tidak menggunakan metoda deskriptif-eksperimental karena manfaatnya terbatas pada pemahaman atas perubahan perilaku siswa.
Kurang bermanfaat apabila ilmu pendidikan menggunakan metode deskriptif-eksperimental terhadap perubahan-perubahan didalam pendidikan secara kuantitatif. Sebaliknya pedagogic dan androgogi dapat  menjadi ilmu otonom yang menerapkan metode fenomenologi secara kualitatif. Maksudnya ialah agar dapat memperoleh data yang tidak normative (data factual) dalam jumlah seperlunya dari ilmu biologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Tetapi ilmu pendidikan harus sedapat mungkin melakukan pengumpulan datanya sendiri langsung dari fenomena pendidikan, baik oleh partisipan-pengamat (ilmuwan) ataupun oleh pendidik sendiri yang juga biasa melakukan analisis apabila situasi itu memaksanya harus bertindak kreatif. Tentu saja untuk itu diperlukan prasyarat penguasaan atas sekurang-kurangnya satu ilmu bantu atau filsafat umum. 

C.    Dasar-dasar Filsafat Ilmu Pendidikan
Dasar-dasaar filsafah keilmuan terkait dalam arti dasar ontologis, dasar epistemologis, dan aksiologis, dan dasar antropolgis ilmu pendidikan.
1.      Dasar Ontologis Ilmu Pendidikan
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman panca indra yaitu dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik
Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual  atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak  bagi terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribadi pula, terelpas dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya.
Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil Tes Hasil Belajar summatif, NEM (Nilai Ebtanas Murni) atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi, juga menjadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh. 
2.      Dasar Epistemologis Ilmu Pendidikan             
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekaaipun pengumpulan data di lapangan sebagian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan  menjalin studi empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian melainkan untuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom). Pada fenomena pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalam berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini, bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek formil sendiri atau problematika sendiri. Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis.
3.      Dasar Aksiologis Ilmu Pendidikan
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai, mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pendamping dalam pembelajaran.  Pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai, itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Diakui pula bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku. Implikasinya ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada ilmu-ilmu social.
4.      Dasar Antropologis Ilmu Pendidikan
Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalam upayanya belajar mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal yaitu:
a.       Sosialitas
b.      Individualitas
c.       Moralitas
Untuk di Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurang-kurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa. 

D.    Perangkat Asumsi Filosofis Pendidikan Guru
Program Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi (PGBK) dikembangakan bertolak dari perangkat kompetensi yang diperkirakan dipersyaratkan bagi pelaksanaan tugas-tugas keguruan dan kependidikan yang telah ditetapkan dan bermuara pada pendemonstrasian perangkat kompetensi tersebut oleh calon guru setelah mengikuti sejumlah pengalaman belajar.
Perangkat kompetensi yang dimaksud, termasuk proses pencapaiannya, dilandasi oleh asumsi-asumsi filosofis, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang dianggap benar, baik atas dasar bukti-bukti empirik, dugaan-dugaan maupun nilai-nilai masyarakat.
Asumsi-asumsi tersebut merupakan batu ujian di dalam menilai perancangan dan implementasi program dari penyimpangan-penyimpangan pragmatis ataupun dari serangan-serangan konseptual. Asumsi-asumsi yang dimaksud mencakup 7 bidang yaitu yang berkenaan dengan hakekat-hakekat manusia, masyarakat, pendidikan, subjek didik, guru, belajar-mengajar dan kelembagaan. Tentu saja hasil kerja tersebut diatas perlu dimantapkan dan diverifikasi lebih jauh melalui forum-forum yang sesuai seperti Komisi Kurikulum, Konsorsium Ilmu Kependidikan, LPTK bahkan kalangan yang lebih luas lagi. Hasil rumusan tim pembaharuan pendidikan (1984) dapat disimpulkan sebagai berikut :
1)      Hakekat Manusia 
a)      Manusia sebagai makhluk Tuhan mempunyai kebutuhan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b)      Manusia membutuhkan lingkungan hidup berkelompok untuk mengembangkan dirinya.
c)      Manusia mempunyai potensi-potensi yang dapat dikembangkan dan kebutuhan-kebutuhan materi serta spiritual yangharus dipenuhi. d).    Manusia itu pada dasarnya dapat dan harus dididik serta dapat mendidik diri sendiri.
2)      Hakekat Masyarakat 
a)      Kehidupan masyarakat berlandaskan sistem nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya yang dianut warga masyarakat ; sebagian daripada nilai-nilai tersebut bersifat lestari dan sebagian lagi terus berubah sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
b)      Masyarakat merupakan sumber nilai-nilai yang memberikan arah normative kepada pendidikan.
c)      Kehidupan bermasyarakat ditingkatkan kualitasnya oleh insan-insan yang berhasil mengembangkan dirinya melalui pendidikan.
3)      Hakekat Pendidikan 
a)      Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek peserta didik dengan kewibawaan pendidik.
b)      Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek peserta didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin pesat.
c)      Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat.
d)     Pendidikan berlangsung seumur hidup.
e)      Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya. 
4)      Hakekat Subjek Didik 
a)      Subjek didik betanggungjawab atas pendidikannya sendiri sesuai dengan wawasan pendidikan seumur hidup.
b)      Subjek didik memiliki potensi, baik fisik maupun psikologis yang berbeda-beda sehingga masing-masing subjek didik merupakan insane yang unik.
c)      Subjek didik merupakan pembinaan individual serta perlakuan yang manusiawi.
d)     Subjek didik pada dasarnya merupakan insane yang aktif menghadapi lingkungan hidupnya.
5)      Hakekat Guru dan Tenaga Kependidikan 
a)      Guru dan tenaga kependidikan merupakan agen pembaharuan.
b)      Guru dan tenaga kependidikan berperan sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai masyarakat.
c)      Guru dan tenaga kependidikan sebagai fasilitator memungkinkan terciptanya kondisi yang baik bagi subjek peserta didik untuk belajar.
d)     Guru dan tenaga kependidikan bertanggungjawab atas tercapainya hasil belajar subjek peserta didik.
e)      Guru dan tenaga kependidikan dituntut untuk menjadi conoh dalam pengelolaan proses belajar-mengajar bagi calon guru yang menjadi subjek peserta didiknya.
f)       Guru dan tenaga kependidikan bertanggungjawab secara professional untuk terus-menerus meningkatkatkan kemampuannya.
g)      Guru dan tenaga kependidikan menjunjung tinggi kode etik profesional.
6)      Hakekat Belajar Mengajar 
a)      Peristiwa belajar mengajar terjadi apabila subjek peserta didik secara aktif berinteraksi dengan  lingkungan belajar yang diatur oleh guru.
b)      Proses belajar mengajar yang efektif memerlukan strategi dan media/teknologi pendidikan yang tepat.
c)      Program belajar mengajar dirancang dan diimplikasikan sebagai suatu sistem.
d)     Proses dan produk belajar perlu memperoleh perhatian seimbang didalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.
e)      Pembentukan kompetensi profesional memerlukan pengintegrasian fungsional antara teori dan praktek serta materi dan metodologi penyampaian pembelajaran.
f)       Pembentukan kompetensi professional memerlukan pengalaman lapangan yang bertahap, mulai dari pengenalan medan, latihan keterampilan terbatas sampai dengan pelaksanaan penghayatan tugas-tugas kependidikan secara lengkap aktual.
g)      Kriteria keberhasilan yang utama dalam pendidikan profesional adalah pendemonstrasian penguasaan kompetensi.                     
h)      Materi pengajaran dan sistem penyampaiannya selalu berkembang.
7)      Hakekat Kelembagaan 
a)      LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan) merupakan lembaga pendidikan profesional yang melaksanakan  pendidikan tenaga kependidikan dan pengembangan ilmu teknologi kependidikan bagi peningkatan kualitas kehidupan.
b)      LPTK menyelenggarakan program-program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat baik kualitatif maupun kuantitatif.
c)      LPTK dikelola dalam suatu sistem pembinaan yang terpadu dalam rangka pengadaan tenaga kependidikan.
d)     LPTK memiliki mekanisme balikan yang efektif untuk meningkatkan kualitas layanannya kepada masyarakat secara terus-menerus.
e)      Pendidikan pra-jabatan guru merupakan tanggungjawab bersamaantara LPTK dan sekolah-sekolah pemakai (calon) lulusan.

E.     Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan
1)      Implikasi Bagi Guru             
Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi seorang tukang.
Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain.  Seorang guru didalam menunaikan tugasnya,  dalam proses kegiatan belajar mengajarnya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan  harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan.
Dimuka juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan subjek peserta didik melakukan pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang dinamakan pendidikan atau pelatihan. Pendidikan atau pelatihan hanyalah tahap proses pemanusiaan yang berbeda  diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek  peserta didik.
Kelebihan yang dimiliki seorang pendidik seperti pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu maka kedua belah pihak diberikan kesempatan belajar baik untuk tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan.  Khusus untuk guru dan tenaga kependidikan, mendapat kepercayaan dan juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk membelajarkan subjek peserta didik, mengoptimalkan kesempatan bagi subjek peserta didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri. Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang semakin lama semakin maju tanpa kehilangan dirinya.
Apabila demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak hidupnya didalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina.
Segala ketentuan prasarana dan sarana di sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek peserta didik.  Sarana dan prasarana yang dibangun di sekolah merupakan pendukung untuk membentuk budaya pendidikan yang sehat dan dinamis. Walaupun sarana dan prasarana telah memadai namun tidak diimbangi dengan proses penanaman budaya pendidikan yang seimbang maka perkembangan dan pembudayaan dalam peserta didik tidak akan tercapai dengan baik.
Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didik akan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.
2)      Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan 
Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagai kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah peralatan luarnya bukan bangunan dasarnya.             
Hal diatas itu dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan masalah  pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif.
Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan  yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civitas akademik). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil kajian interpretif, normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan implementasi program, maupun didalam mempertahankan dan meningkatkan program.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A.    Kesimpulan
1.      Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan acuan yang dikenakan dalam memandang menyikapi serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu landasan filsafat pendidikan dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatannya kepada kerangka konseptual kependidikan. Hal ini untuk mencapai tujuan pendidikan itu sendiri yang seimbang, baik dari aspek kognitif, psikomotorik, dan afektif.
  1.  Landasan filsafat pendidikan  tercermin didalam semua keputusan serta perbuatan pelaksanaan tugas- tugas keguruan, baik instruksional maupun non-instruksional, atau dengan pendekatan lain, semua keputusan serta perbuatan guru yang dimaksud bersifat pendidikan.
  2. Sebagai pekerja professional guru dan tenaga kependidikan memperoleh persiapan pra-jabatan guru dan tenaga kependidikan harus dilandasi oleh seperangkat asumsi filosofis yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu pendidikan.

B.     Saran
  1. Perlu kajian yang mendalam untuk membuktikan adanya pengaruh filsafat ilmu dalam upaya pengembangan dan peningkatan program pendididikan, baik untuk tenaga pendidik dan tenaga kependidikan khususnya di Indonesia.


DAFTAR REFERENSI
Hidayat Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka.
Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997.
Kemeny,JG, (l959),  A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur.
Ki Suratman, (l982), Sistem Among  Sebagai Sarana  Pendidikam Moral Pancasila, Jakarta:Depdikbud.
RakaJoniT.(l977),PermbaharauanProfesional TenagaKependidikan:Permasalahan dan Kemungkinan  Pendekatan, Jakarta, Depdikbud
https://fajarsubijakto.wordpress.com/2013/02/12/implikasi-landasan-filsafat-pendidikan-di-indonesia/
:)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar