TUGAS MANDIRI AKHIR SEMESTER
“MAKALAH
KONTRIBUSI LANDASAN
FILSAFAT PENDIDIKAN BAGI PENINGKATAN MUTU, KUALITAS DAN PROSES PEMBELAJARAN
DI INDONESIA”
Disusun
Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kuliah Filsafat Pendidikan dan Pembelajaran
Dosen
Pengampu : Dr. Anam Sutopo
SRI WAHYUNI
(NIM: Q100160080 / KELAS: IA)
PROGRAM STUDI MAGISTER ADMINISTRASI PENDIDIKAN
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN
2016
ABSTRAK
Dalam menerapkan peranan guru dalam dunia
pendidikan, maka sebagai pendidik perlu pemahaman yang baik terhadap konsep
kerangka pengembangan di bidang pendidikan itu sendiri. Jika pemahaman akan
tugas dan fungsi sebagai tenaga pendidik telah tercapai dengan baik maka upaya
peningkatan profesionalisme guru maupun peningkatan kualitas kepribadian guru
akan dapat tercapai. Tentunya dengan mendapatkan dukungan serta peran
masyarakat dan para pemerhati pendidikan (stake holder) yang terus bersinergi
dengan para pendidik secara menyeluruh. Dalam meningkatkan kualitas pendidikan
tentu perlu ditunjang dengan peningkatan profesionalisme dan karakter
guru serta tenaga kependidikan yang sesuai dengan kebutuhan saat ini. Dan
filsafat ilmu merupakan landasan yang dapat memberikan arahan, juga motivasi
dalam rangka peningkatan kinerja guru maupun peningkatan penyusunan konsep atau
program-program pembelajaran secara menyeluruh dan berkesinambungan.
Filsafat ilmu secara psikologis dapat
memberikan perubahan karakter bagi tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan.
Perubahan yang diharapkan pada tenaga pendidik dan kependidikan adalah sikap
dan perilaku yang positif. Sikap perilaku yang kondusif dalam menyikapi kemajuan
di bindang pendidikan serta perilaku yang dapat memberikan pelayanan yang prima
kepada peserta didik dan masyarakat pemerhati pendidikan. Dalam tulisan makalah
ini memberikan informasi tentang pentingnya landasan filsafat ilmu sebagai
acuan dalam upaya menerapkan peranan guru dan tenaga kependidikan di
masyarakat. Tulisan ini juga memberikan informasi tentang pentingnya filsafat
ilmu dan kaitannya dengan pendidikan. Pada tulisan makalah ini juga akan
dibahas tentang landasan filsafat ilmu sebagai dasar ilmu pendidikan dan dasar
ilmu filsafat pendidikan juga sebagai perangkat asumsi filosofis pendidikan
guru serta implikasi bagi pendidikan guru dan tenaga kependidikan.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kegiatan
pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata,
mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia,
lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum
tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan teknologi tetapi tidak berarti
bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan
hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan ilmu perilaku (psikologi
pendidikan). Ilmu pendidikan diharapkan akan dapat menjadi landasan yang kuat
serta dapat diterapkan oleh para pendidik dan tenaga kependidikan dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.
Pentingnya
landasan filsafat ilmu kajian untuk dapat memberikan kontribusi dan
solusi di bidang pendidik dan tenaga kependidikan dalam menjawab
tantangan zaman. Filsafat ilmu di bidang pendidikan merupakan suatu kebutuhan
untuk menyikapi setiap adanya perubahan dan perkembangan di dunia pendidikan.
Sehingga guru dan tenaga kependidikan kedepannya akan mampu memberikan
peranannya dan juga dapat memberikan pelayanan yang prima di bidang pendidikan
baik kepada peserta didik maupun kepada masyarakat pemerhati pendidikan.
B.
Maksud dan
Tujuan
Maksud dan tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.
Untuk mempelajari pendidikan sebagai kegiatan
ilmu dan seni
- Untuk mempelajari dasar-dasar ilmu pendidikan
- Untuk mempelajari dasar-dasar filsafat ilmu pendidikan
- Untuk perangkat asumsi filosofis pendidikan guru
- Implikasi landasan filsafat pendidikan
C.
Permasalahan
Permasalahan dalam
makalah ini adalah:
1.
Apakah yang dimaksud dengan pendidikan sebagai
kegiatan ilmu dan seni?
- Apakah dasar-dasar ilmu pendidikan ?
- Bagaimanakah dasar-dasar filsafat ilmu pendidikan?
- Apakah yang dimaksud dengan perangkat asumsi filosofis pendidikan guru?
- Bagaimanakah implikasi landasan filsafat pendidikan?
D.
Batasan
Permasalahan
Dalam penulisan
makalah ini, permasalahan dibatasi pada:
1.
Mempelajari pendidikan sebagai kegiatan ilmu
dan seni
- Mempelajari dasar-dasar ilmu pendidikan
- Mempelajari dasar-dasar filsafat ilmu pendidikan
- Menerapkan perangkat asumsi filosofis pendidikan guru
- Implikasi landasan filsafat pendidikan
E.
Sistematika
Penulisan Makalah
Sistematika
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
Bab I
1.
Pendahuluan
- Latar Belakang
- Maksud dan Tujuan
- Permasalahan
- Batasan Masalah
- Sistematika Penulisan Makalah
Bab II. Pembahasan Masalah
Bab III.
Kesimpulan dan Saran
1.
Kesimpulan
2.
Saran
Lampiran
Kepustakaan
BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
A.
Pendidikan
Sebagai Kegiatan Ilmu dan
Seni
Masalah
pendidikan dalam pandangan mikro, yang menjadi perhatian adalah dasar dan
landasan pendidikan serta landasan ilmu pendidikan yaitu manusia atau
sekelompok kecil manusia dalam fenomena pendidikan.
1.
Perjalanan
Pendidikan Dalam Praktek Memerlukan Teori
Alangkah
pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan
dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori, tindakan-tindakan dalam
pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan
tidak logis. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan
bertujuan memenuhi segala aspek penilaian dan evaluasi terhadap peserta
didik dan juga tenaga pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari
pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga
terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia
yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk yang namanya manusia
untuk dapat menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata
perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati
itu.
Kutipan dari
seorang pakar di bidang pendidikan adalah: Dr. Gunning yang dikutip
Langeveld (1955).“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila,
sedangkan teori tanpa praktek hanya untuk orang-orang jenius”.
Ini berarti bahwa pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang
mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila
pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka
hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Merugi
karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbuatan masing-masing dan
tidak mampu bertanggung jawab bersama-sama dalam pengamalan. Pengamalan yang
baik adalah pengamalan yang memadai, konsisten antara pengamalan
lahiriah dan ruhaniah juga pengamalan dalam penghayatan (psikologis) dan
praktik dalam pengajaran.
Untuk mencapai
hal tersebut diatas diharapkan kegiatan pendidikan dilaksanakan dengan dasar
teori yang baik dan diwujudkan dalam wujud nyata dalam bentuk praktik. Praktik
yang di laksanakan pun dengan landasan teori yang baik dan bijak.
2.
Landasan Sosial
dan Individual
Pendidikan
Pendidikan
sebagai gejala sosial dalam kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan
kultural. Pada skala mikro, pendidikan bagi individu dan kelompok kecil
berlangsung dalam skala relatif terbatas seperti antara sesama sahabat, antara
seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga
antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya.
Pendidikan dalam skala mikro, diperlukan agar manusia sebagai individu
berkembang semua potensinya dalam arti mengalami perkembangan yang baik dari
segala aspek baik fisik maupum mental psikologis.
Manusia
berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat
pribadi lain. Tidak ada manusia yang mempunyai kepribadian yang sama sekalipun
keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya individu dan kelompok yang
berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan
kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro, pendidikan
merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama
(subyek) yang masing-masing bernilai setara.
Pada skala
makro, pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam
masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat
antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro, masyarakat
melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya
dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda
dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas
dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung
dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala
sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah.
Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan
perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik. Maka
pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan
tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta
didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.
3.
Pendidikan
Memadu Jalinan Antara Ilmu dan Seni
Adanya
aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dalam penerapan di bidang
pendidikan mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan
adalah paduan antara manusia sebagai fakta dan manusia sebagai nilai.
Tiap manusia mempunyai nilai tertentu yang bersifat luhur sehingga situasi
pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu
sebabnya pendidikan dalam praktik adalah fakta empiris yang syarat nilai
berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam
arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat
manusiawi. Sebagai contoh dalam kehidupan sehari-hari seseorang seperti saya
atau siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi
(higher order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara
afektif.
Seperti
dikatakan tentang siswa belajar aktif oleh Phenix (1958:40), yaitu : “It
possible to conceive of teacher and student as one and same person and
the self taught person as one who direct his own development through an
internal interaction between the self as I and the self as me on the other
hand, it is usual for one teacher to teach many students simultaneously. In
that even the quality oef the interaction may become generalized and
impersonal, or it may, by appropriate means, retain its person to person
character.”
Artinya sifat
manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi
kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar
pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreativ (berkiat dan
kreatif menciptakan situasi yang pas, apabila perlu, misalnya atas dasar
diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya
berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu
didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu
sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala
sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka.
Apabila
ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah
secara termodifikasi dalam telaah manusia melalui gejala-gejala sosial,
apakah ilmu pendidikan harus bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalannya
khususnya ditanah air kita ?
Atau seperti
dikatakan secara ilmiah oleh NL. Gage (1978:20),
“Scientific
method can contribute relationships between variaboles, taken two at a time and
even in the form of interactions, three or perhaps four or more at a time.
Beyond say four, the usefulness of what science can give the teacher begins to
weaken, because teacher cannot apply, at least not without help and not on the
run, the more complex interactions. At this point, the teacher as an artist
must step in and make clinical, or artistic, judgement about the best ways to
teach.”
Pendidik memang
harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah kecil,
mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan berskala
mikro, yaitu oleh pedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis).
Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran (yang
makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran
disekolah memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar.
Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak
dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.
Atas dasar
pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dari
manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan dalam praktek haruslah secara
lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar dan pengajaran. Dalam fenomena
yang normal peserta didik dapat didorong agra belajar aktif melalui bimbingan.
Konsep
pendidikan yang memerlukan ilmu dan seni ialah proses atau upaya
sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu secara
terarah membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara
manusiawi yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya
sadar manusia dimana warga masyarakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu
pihak-pihak yang kurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama mencapai
taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik. Dalam arti ini juga
sekolah laboratorium akan memerlukan jalinan praktek ilmu dan praktek seni.
Definisi
pendidikan dari aspek makro “Pendidikan ialah usaha sadar untuk mempersiapkan
peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi
peranannya dimasa yang akan datang”. Karena itu dalam lingkup pendidikan
menurut skala makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral)
dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain aspek
pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang disisyaratkan oleh konsep pendidikan
menurut undang-undang tadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara
(1950) sebagai berikut : “Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang
tersebut didalam Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil
mempengaruhi). Arti Tut Wuri ialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti
perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa
pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah
mempengaruhi dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan agar
sang anak mengembangkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.
Bagi Ki Hajar
Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas dari pendidikan dalam arti
makro, bahkan disiplin pribadi adalah tujuan dan cara dalam mencapai disiplin
yang lebih luas. Ini berarti bahwa landasan pendidikan terdapat dalam
pendidikan itu sendiri, yaitu faktor manusianya. Dengan demikian
landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena (gejala)
pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain atau filsafat tertentu dari budaya
barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari studi ilmu
psikologi, fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun filsafat. Lagi pula konsep
pengajaran (yang makro) berdasarkan kurikulum formal tidak dengan sendirinya
bersifat inklusif dan atau sama dengan mengajar. Bahkan dalam banyak hal
pengajaran itu tergantung hasilnya dari kualitas guru mengajar dalam kelas
masing-masing. Asas Tut Wuri Handayani tidak akan menjadikan pengajaran identik
dengan sekedar upaya sadar menyampaikan bahan ajar dikelas kepada rombongan
siswa.
B.
Dasar-dasar
Ilmu Pendidikan
Uraian
diatas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar pendidikan bahwa praktik pendidikan
sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan eksperimental akan tidak
lengkap dan tidak memadai. Fakta pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas
sosialisasi dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 %
(bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap
dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan sosialisasi, mencapai internalisasi
(mikro) dan hendaknya juga enkulturasi (makro). Itulah perbedaan esensial
antara pendidikan (yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif) dan
kegiatan mengajar yang paling-paling menjalin aspek kognitif dan psikomotor.
Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada
aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan ruang lingkup dalam teori
antara pengajaran dengan mengajar dan mendidik.
Adapun
ketercapaian untuk daya serap internal mencapai 100 % diperlukan tolong
menolong antara sesama manusia. Dalam hal ini tidak ada orang yang selalu
sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus diimbangi dengan
penyegaran dan kontrol sosial.
1.
Pedagogik
sebagai Ilmu Murni Menelaah Fenomena Pendidikan
Jelaslah bahwa
telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui
kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogic
(pendidikan anak) dan data andragogi (Pendidikan orang dewasa). Adapun data itu
mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya.
Data factual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi
(fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris.
Begitu pula data nilai (yang normative) tidak berasal dari filsafat tertentu
melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan
andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi
tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak
menganut aliran atau suatu filsafat tertentu.
Sebaliknya ilmu
pendidikan khususnya pedagogic (teoritis) adalah ilmu yang menyusun teori dan
konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu dalam
menerapkan proses pembelajarannya. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya
yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh
karena itu pedagogic (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogic praktis dan
andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang
terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang
bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode
filsafah dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya.
Implikasinya jelas
bahwa batang tubuh (body of knowledge) ilmu pendidikan haruslah
sekurang-kurangnya secara mikro mencakup :
Relasi sesama
manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to person relationship)
Pentingnya ilmu pendidikan memepergunakan metode fenomenologi secara
kualitatif. Orang dewasa yang berperan sebagai pendidik (educator). Keberadaan
anak manusia sebagai terdidik (learner, student) Tujuan pendidikan (educational
aims and objectives) Tindakan dan proses pendidikan (educative process), dan
Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational institution)
Itulah lingkup
pendidikan yang mikroskopis sebagai hasil telaah ilmu pendidikan dalam
arti pedagogic (teoritis dan sistematis). Mengingat pendidikan juga dilakukan
dalam arti luas dan makroskopis di berbagai lembaga pendidikan formal dan
non-formal, tentu petugas tenaga pendidik di lapangan memerlukan masukan yang
berlaku umum berupa rencana pelajaran atau konsep program kurikulum untuk
lembaga yang sejenis. Oleh karena itu selain pedagogic praktis yang menelaah
ragam pendidikan diberbagai lingkungan dan lembaga formal, informal dan
non-formal (pendidikan luar sekolah dalam arti terbatas), dengan begitu, batang
tubuh diatas memerlukan ruang lingkup seperti:
1)
Konteks sosial budaya (socio cultural contexs
and education)
2)
Filsafat pendidikan (preskriptif) dan
sejarah pendidikan (deskriptif).
3)
Teori, pengembangan dan pembinaan kurikulum,
serta cabang ilmu pendidikan lainnya yang bersifat preskriptif.
4)
Berbagai studi empirik tentang fenomena
pendidikan.
5)
Berbagai studi pendidikan aplikatif (terapan)
khususnya mengenai pengajaran termasuk pengembangan specific content pedagogy.
Dari pandangan
makro dalam pembelajaran di sekolah membedakan antara objek formal dari aspek
pedagogic terhadap ilmu pendidikan lainny. Karena pedagogic tidak
langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan informal dalam keluarga dan
dalam kelompok kecil lainnya. Pendidikan formal dan non formal menjadi tugas
dari andragogi dan cabang-cabang lain yang relevan dari ilmu pendidikan.
Itu sebabnya dalam pedagogic terdapat pengkajian tentang factor
pendidikan yang meliputi :
a)
Tujuan hidup,
b)
Landasan falsafah dan yuridis pendidikan,
c)
Pengelolaan pendidikan,
d)
Teori dan pengembangan kurikulum,
e)
Pengajaran dalam arti pembelajaran
(instruction) yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti luas di lembaga formal dan
non formal terkait.
2.
Telaah Ilmiah
dan Kontribusi Ilmu Bantu
Bidang
yang ditelaah oleh teori pendidikan sebagai ilmu yaitu bahwa
disekitar manusia dan sesamanya yang memiliki kesamaan dan keragaman di dalam
fenomena pendidikan. Yang menjadi inti ilmu pendidikan teoritis ialah Pedagogik
sebagai ilmu mendidik yaitu mengenai tealaah (atau studi) pendidikan anak oleh
orang dewasa. Pedagogik teoritis selalu bersifat sistematis karena harus
lengkap problematic dan pembahasannya. Tetapi pendidikan (atau pedagogki)
diperlukan juga oleh semua orang termasuk orang dewasa dan lanjut usia. Karena
itu selain cabang pedagogic, terdapat cabang-cabang pedagogic praktis,
diantaranya pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal dalam keluarga,
andragogi (pendidikan orang dewasa) dan gerogogi (pendidikan orang lansia),
serta pendidikan non-formal sebagai pelengkap pendidikan jenjang sekolah dan
pendidikan orang dewasa.
Di dalam
menelaah manusia yang berinteraksi di dalam fenomena pendidikan, ilmu
pendidikan khususnya pedagogic merupakan satu-satunya bidang ilmu yang menelaah
interaksi secara utuh yang bersifat antar dan inter-pribadi. Untunglah
ada ilmu lain yang melakukan telaah atas perilaku manusia sebagai individu.
Begitu juga halnya atas telaah interaksi sosial, telaah perilaku kelompok dalam
masyarakat, telaah nilai dan norma sebagai isi kebudayaaan, dan seterusnya.
Ilmu-ilmu yang melakukan telaah tersebut berfungsi sebagai ilmu bantu bagi
ilmu pendidikan. Diantara ilmu bantu yang penting bagi pedagogic dan androgogi
ialah : biologi, psikologi, sosiologi, antropologi budaya, sejarah dan
fenomenologi
(filsafah).
Pedagogik tidak
menggunakan metode deduktif spekulatif dalam investigasinya berdasarkan
penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu pendidikan
yang bersifat teoritis dan bukan pedagogic yang filosofis. Pedagogik melakukan
telaah fenomenologis atas fenomen yang bersifat empiris sekalipun bernuansa normative.
Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode
penelitiannya :
Pedagogik
bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu sisi dan di pihak
lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama. Hubungan-hubungan
dan gejala yang menunjukkan ciri-ciri pokok dari objeknya ada yang memaksa
menunjuk ke konsekuensi yang filosofis, adapula yang memaksakan konsekuensi
yang empiris karena data yang factual. Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang
didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang
data normative pedagogic didahului dan diikuti oleh oleh pengalaman dan
penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan. Itulah fenomena atau gejala
pendidikan secara mikro yang mengandung keenam komponen yang menjadi inti
dari batang tubuh pedagogic.
3.
Kontribusi Ilmu-ilmu
Bantu terhadap
Pedagogic
Ilmu pendidikan
khususnya pedagogic dan androgogi tidak menggunakan metoda
deskriptif-eksperimental karena manfaatnya terbatas pada pemahaman atas
perubahan perilaku siswa.
Kurang
bermanfaat apabila ilmu pendidikan menggunakan metode deskriptif-eksperimental
terhadap perubahan-perubahan didalam pendidikan secara kuantitatif. Sebaliknya
pedagogic dan androgogi dapat menjadi ilmu otonom yang menerapkan metode
fenomenologi secara kualitatif. Maksudnya ialah agar dapat memperoleh data yang
tidak normative (data factual) dalam jumlah seperlunya dari ilmu biologi,
psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Tetapi ilmu pendidikan harus sedapat mungkin
melakukan pengumpulan datanya sendiri langsung dari fenomena pendidikan, baik
oleh partisipan-pengamat (ilmuwan) ataupun oleh pendidik sendiri yang juga
biasa melakukan analisis apabila situasi itu memaksanya harus bertindak
kreatif. Tentu saja untuk itu diperlukan prasyarat penguasaan atas
sekurang-kurangnya satu ilmu bantu atau filsafat umum.
C.
Dasar-dasar
Filsafat Ilmu Pendidikan
Dasar-dasaar
filsafah keilmuan terkait dalam arti dasar ontologis, dasar epistemologis, dan
aksiologis, dan dasar antropolgis ilmu pendidikan.
1.
Dasar Ontologis
Ilmu Pendidikan
Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan
dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau
teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman panca indra yaitu dunia pengalaman
manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya,
manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak
mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai
makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang
baik
Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari
keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia
seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situasi sosial manusia
itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku
individual atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu dapat
diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar
mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai
tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam
hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak bagi
terlaksananya mendidik dan mengajar. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang
berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara
terhormat sebagai pribadi pula, terelpas dari factor umum, jenis kelamin
ataupun pembawaanya.
Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh akan
terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas faktor hubungan serta
didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan begitu pendidikan hanya akan
terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil Tes Hasil
Belajar summatif, NEM (Nilai Ebtanas Murni) atau pemerataan pendidikan yang
kurang mengajarkan demokrasi, juga menjadi kurang berdemokrasi. Sedangkan
kualitas manusianya belum tentu utuh.
2.
Dasar Epistemologis
Ilmu
Pendidikan
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan
atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan
bertanggung jawab. Sekaaipun pengumpulan data di lapangan sebagian dapat
dilakukan oleh tenaga pemula namun telaah atas objek formil ilmu pendidikan
memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin studi empirik
dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat
kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen
pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan
data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu
dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian
melainkan untuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom). Pada fenomena
pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalam berbagai bentuk
penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian
tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar
epistemologis ini, bahwa dalam menjelaskan objek formalnya, telaah ilmu
pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada
telaah teori dan ilmu pendidikan sebagai ilmu otonom yang mempunyai objek
formil sendiri atau problematika sendiri. Dengan demikian uji kebenaran
pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan
sekaligus secara praktis dan atau pragmatis.
3.
Dasar Aksiologis
Ilmu Pendidikan
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu
sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang
sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara
beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic
sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu
untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek melalui kontrol
terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam
pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai, mengingat hanya
terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas
pendidik sebagi pendamping dalam pembelajaran. Pendidikan sebagai bidang
yang sarat nilai, itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi
pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Diakui pula bahwa ilmu pendidikan belum
jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku.
Implikasinya ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu prilaku kepada
ilmu-ilmu social.
4.
Dasar Antropologis
Ilmu Pendidikan
Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar
ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek
pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalam
upayanya belajar mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh
dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini
maka 3 dasar antropologis berlaku universal yaitu:
a.
Sosialitas
b.
Individualitas
c.
Moralitas
Untuk di Indonesia apabila dunia pendidikan
nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem
pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis
pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaitu pendidik dalam situasi pendidikan
sekurang-kurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai
bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.
D.
Perangkat
Asumsi Filosofis Pendidikan Guru
Program
Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi (PGBK) dikembangakan bertolak dari
perangkat kompetensi yang diperkirakan dipersyaratkan bagi pelaksanaan
tugas-tugas keguruan dan kependidikan yang telah ditetapkan dan bermuara pada
pendemonstrasian perangkat kompetensi tersebut oleh calon guru setelah
mengikuti sejumlah pengalaman belajar.
Perangkat
kompetensi yang dimaksud, termasuk proses pencapaiannya, dilandasi oleh
asumsi-asumsi filosofis, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang dianggap benar, baik
atas dasar bukti-bukti empirik, dugaan-dugaan maupun nilai-nilai masyarakat.
Asumsi-asumsi
tersebut merupakan batu ujian di dalam menilai perancangan dan implementasi
program dari penyimpangan-penyimpangan pragmatis ataupun dari serangan-serangan
konseptual. Asumsi-asumsi yang dimaksud mencakup 7 bidang yaitu yang berkenaan
dengan hakekat-hakekat manusia, masyarakat, pendidikan, subjek didik,
guru, belajar-mengajar dan kelembagaan. Tentu saja hasil kerja tersebut diatas
perlu dimantapkan dan diverifikasi lebih jauh melalui forum-forum yang sesuai
seperti Komisi Kurikulum, Konsorsium Ilmu Kependidikan, LPTK bahkan kalangan
yang lebih luas lagi. Hasil rumusan tim pembaharuan pendidikan (1984) dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1)
Hakekat Manusia
a)
Manusia sebagai makhluk Tuhan mempunyai
kebutuhan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b)
Manusia membutuhkan lingkungan hidup
berkelompok untuk mengembangkan dirinya.
c)
Manusia mempunyai potensi-potensi yang dapat
dikembangkan dan kebutuhan-kebutuhan materi serta spiritual yangharus dipenuhi.
d). Manusia itu pada dasarnya dapat dan harus dididik serta
dapat mendidik diri sendiri.
2)
Hakekat Masyarakat
a)
Kehidupan masyarakat berlandaskan sistem
nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya yang dianut warga
masyarakat ; sebagian daripada nilai-nilai tersebut bersifat lestari dan
sebagian lagi terus berubah sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
b)
Masyarakat merupakan sumber nilai-nilai yang
memberikan arah normative kepada pendidikan.
c)
Kehidupan bermasyarakat ditingkatkan
kualitasnya oleh insan-insan yang berhasil mengembangkan dirinya melalui
pendidikan.
3)
Hakekat Pendidikan
a)
Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi
yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek peserta didik dengan
kewibawaan pendidik.
b)
Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek
peserta didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin
pesat.
c)
Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan
pribadi dan masyarakat.
d)
Pendidikan berlangsung seumur hidup.
e)
Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan
prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia
seutuhnya.
4)
Hakekat Subjek Didik
a)
Subjek didik betanggungjawab atas pendidikannya
sendiri sesuai dengan wawasan pendidikan seumur hidup.
b)
Subjek didik memiliki potensi, baik fisik
maupun psikologis yang berbeda-beda sehingga masing-masing subjek didik
merupakan insane yang unik.
c)
Subjek didik merupakan pembinaan individual
serta perlakuan yang manusiawi.
d)
Subjek didik pada dasarnya merupakan insane
yang aktif menghadapi lingkungan hidupnya.
5)
Hakekat Guru dan Tenaga Kependidikan
a)
Guru dan tenaga kependidikan merupakan agen
pembaharuan.
b)
Guru dan tenaga kependidikan berperan sebagai
pemimpin dan pendukung nilai-nilai masyarakat.
c)
Guru dan tenaga kependidikan sebagai
fasilitator memungkinkan terciptanya kondisi yang baik bagi subjek peserta
didik untuk belajar.
d)
Guru dan tenaga kependidikan bertanggungjawab
atas tercapainya hasil belajar subjek peserta didik.
e)
Guru dan tenaga kependidikan dituntut untuk
menjadi conoh dalam pengelolaan proses belajar-mengajar bagi calon guru yang
menjadi subjek peserta didiknya.
f)
Guru dan tenaga kependidikan bertanggungjawab
secara professional untuk terus-menerus meningkatkatkan kemampuannya.
g)
Guru dan tenaga kependidikan menjunjung tinggi
kode etik profesional.
6)
Hakekat Belajar Mengajar
a)
Peristiwa belajar mengajar terjadi apabila
subjek peserta didik secara aktif berinteraksi dengan lingkungan
belajar yang diatur oleh guru.
b)
Proses belajar mengajar yang efektif memerlukan
strategi dan media/teknologi pendidikan yang tepat.
c)
Program belajar mengajar dirancang dan
diimplikasikan sebagai suatu sistem.
d)
Proses dan produk belajar perlu memperoleh
perhatian seimbang didalam pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar.
e)
Pembentukan kompetensi profesional memerlukan
pengintegrasian fungsional antara teori dan praktek serta materi dan metodologi
penyampaian pembelajaran.
f)
Pembentukan kompetensi professional memerlukan
pengalaman lapangan yang bertahap, mulai dari pengenalan medan, latihan
keterampilan terbatas sampai dengan pelaksanaan penghayatan tugas-tugas
kependidikan secara lengkap aktual.
g)
Kriteria keberhasilan yang utama dalam
pendidikan profesional adalah pendemonstrasian penguasaan kompetensi.
h)
Materi pengajaran dan sistem penyampaiannya
selalu berkembang.
7)
Hakekat Kelembagaan
a)
LPTK (Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan)
merupakan lembaga pendidikan profesional yang melaksanakan
pendidikan tenaga kependidikan dan pengembangan ilmu teknologi kependidikan
bagi peningkatan kualitas kehidupan.
b)
LPTK menyelenggarakan program-program yang
relevan dengan kebutuhan masyarakat baik kualitatif maupun kuantitatif.
c)
LPTK dikelola dalam suatu sistem pembinaan yang
terpadu dalam rangka pengadaan tenaga kependidikan.
d)
LPTK memiliki mekanisme balikan yang efektif
untuk meningkatkan kualitas layanannya kepada masyarakat secara terus-menerus.
e)
Pendidikan pra-jabatan guru merupakan
tanggungjawab bersamaantara LPTK dan sekolah-sekolah pemakai (calon) lulusan.
E.
Implikasi
Landasan Filsafat Pendidikan
1)
Implikasi Bagi
Guru
Apabila
kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat
pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja
professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus
dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin
kompetensi seorang tukang.
Disamping
penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus
menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan
cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Seorang guru didalam
menunaikan tugasnya, dalam proses kegiatan belajar mengajarnya harus
dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik
tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak.
Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta
non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga
kependidikan harus selalu dapat dipertanggungjawabkan secara pendidikan.
Dimuka
juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan subjek peserta didik melakukan
pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang
dinamakan pendidikan atau pelatihan. Pendidikan atau pelatihan hanyalah tahap
proses pemanusiaan yang berbeda diantara keduanya, yaitu pendidik dan
subjek peserta didik.
Kelebihan
yang dimiliki seorang pendidik seperti pengalaman, keterampilan dan wawasan
yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki.
Oleh karena itu maka kedua belah pihak diberikan kesempatan belajar baik untuk
tenaga pendidik maupun tenaga kependidikan. Khusus untuk guru dan tenaga
kependidikan, mendapat kepercayaan dan juga tanggungjawab tambahan menyediakan
serta mengatur kondisi untuk membelajarkan subjek peserta didik, mengoptimalkan
kesempatan bagi subjek peserta didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk
menjadi dirinya sendiri. Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu
membentuk masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi
perubahan-perubahan yang semakin lama semakin maju tanpa kehilangan dirinya.
Apabila
demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal hanya
akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak hidupnya didalam
masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu
sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan
lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja,
melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah
otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah
pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan
seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan
karya yang dikembangkan dan dibina.
Segala
ketentuan prasarana dan sarana di sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang
diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek peserta didik.
Sarana dan prasarana yang dibangun di sekolah merupakan pendukung untuk
membentuk budaya pendidikan yang sehat dan dinamis. Walaupun sarana dan
prasarana telah memadai namun tidak diimbangi dengan proses penanaman budaya
pendidikan yang seimbang maka perkembangan dan pembudayaan dalam peserta didik
tidak akan tercapai dengan baik.
Seperti
telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan
subjek didik akan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan
kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua
orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.
2)
Implikasi bagi
Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan
Tidaklah
berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori
tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan
karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan
salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan
pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau
kita terlibat dalam berbagai kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka
yang diperbaharui adalah peralatan luarnya bukan bangunan dasarnya.
Hal
diatas itu dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada
diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru itu.
Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis
tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh.
Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat,
menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang
diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini) ; ada yang menyarankan
perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada
yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula
yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga
bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua
saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara
partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum
tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang
efektif.
Sebaiknya
teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang
memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta mengimplementasikan
program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang lulusannya mampu
melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas
professional, kemanusiaan dan civitas akademik). Rambu-rambu yang dimaksud
disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu:
pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis
tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang
dimaksud yang mencerminkan hasil kajian interpretif, normative dan kritis itu,
seperti telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam
perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi
perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat
rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan
implementasi program, maupun didalam mempertahankan dan meningkatkan program.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
1.
Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif
filosofis yang seyogyanya merupakan acuan yang dikenakan dalam memandang
menyikapi serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu landasan filsafat
pendidikan dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori
pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan
tetapi dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta
pendekatan-pendekatannya kepada kerangka konseptual kependidikan. Hal ini untuk
mencapai tujuan pendidikan itu sendiri yang seimbang, baik dari aspek kognitif,
psikomotorik, dan afektif.
- Landasan filsafat pendidikan tercermin didalam semua keputusan serta perbuatan pelaksanaan tugas- tugas keguruan, baik instruksional maupun non-instruksional, atau dengan pendekatan lain, semua keputusan serta perbuatan guru yang dimaksud bersifat pendidikan.
- Sebagai pekerja professional guru dan tenaga kependidikan memperoleh persiapan pra-jabatan guru dan tenaga kependidikan harus dilandasi oleh seperangkat asumsi filosofis yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu pendidikan.
B.
Saran
- Perlu kajian yang mendalam untuk membuktikan adanya pengaruh filsafat ilmu dalam upaya pengembangan dan peningkatan program pendididikan, baik untuk tenaga pendidik dan tenaga kependidikan khususnya di Indonesia.
DAFTAR REFERENSI
Hidayat
Syarief (1997) Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka.
Nasional
Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997.
Kemeny,JG,
(l959), A Philosopher Looks at Science, New Hersey, NJ: Yale Univ.Press
Ki
Hajar Dewantara, (l950), Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, DIY:Majelis Luhur.
Ki
Suratman, (l982), Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral
Pancasila, Jakarta:Depdikbud.
RakaJoniT.(l977),PermbaharauanProfesional
TenagaKependidikan:Permasalahan dan Kemungkinan Pendekatan, Jakarta,
Depdikbud
https://fajarsubijakto.wordpress.com/2013/02/12/implikasi-landasan-filsafat-pendidikan-di-indonesia/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar