TUGAS KELOMPOK INOVASI PENDIDIKAN “MAKALAH PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA BAIK SECARA MIKRO MAUPUN MAKRO”
TUGAS
KELOMPOK INOVASI PENDIDIKAN
“MAKALAH
PERMASALAHAN PENDIDIKAN DI INDONESIA BAIK SECARA MIKRO MAUPUN MAKRO”
Di
Susun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Inovasi Pendidikan
Dosen
Pengampu : Ibu Sri Hartini
Disusun
Oleh Kelompok 6 :
1.
Novi
Kanastiowati (A510120168/IV E)
2. Sri Wahyuni
(A510120172/IV
E)
3. Aryawati Tuti (A510120184/IV E)
4. Citra Armelia (A510120192/IV E)
5. Dedy Suryo (A510120193/IV E)
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR (PGSD)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
TAHUN 2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Kualitas
pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara
lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia
(Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian
pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa
indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di
dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998),
dan ke-109 (1999).
Menurut
survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di
Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia. Posisi Indonesia
berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum Swedia
(2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan
ke-37 dari 57 negara yang disurvei di dunia. Dan masih menurut survai dari
lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai
pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Memasuki
abad ke- 21 dunia pendidikan di Indonesia menjadi heboh. Kehebohan tersebut
bukan disebabkan oleh kehebatan mutu pendidikan nasional tetapi lebih banyak
disebabkan karena kesadaran akan bahaya keterbelakangan pendidikan di
Indonesia. Perasan ini disebabkan karena beberapa hal yang mendasar.
Salah
satunya adalah memasuki abad ke- 21 gelombang globalisasi dirasakan kuat dan
terbuka. Kemajaun teknologi dan perubahan yang terjadi memberikan kesadaran
baru bahwa Indonesia tidak lagi berdiri sendiri. Indonesia berada di
tengah-tengah dunia yang baru, dunia terbuka sehingga orang bebas membandingkan
kehidupan dengan negara lain.
Yang kita
rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Baik
pendidikan formal maupun informal. Dan hasil itu diperoleh setelah kita
membandingkannya dengan negara lain. Pendidikan memang telah menjadi penopang
dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia untuk pembangunan bangsa. Oleh
karena itu, kita seharusnya dapat meningkatkan sumber daya manusia Indonesia
yang tidak kalah bersaing dengan sumber daya manusia di negara-negara lain.
Setelah kita
amati, nampak jelas bahwa masalah yang serius dalam peningkatan mutu pendidikan
di Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan di berbagai jenjang pendidikan,
baik pendidikan formal maupun informal. Dan hal itulah yang menyebabkan
rendahnya mutu pendidikan yang menghambat penyediaan sumber daya menusia yang
mempunyai keahlian dan keterampilan untuk memenuhi pembangunan bangsa di
berbagai bidang.
Kualitas
pendidikan Indonesia yang rendah itu juga ditunjukkan data Balitbang (2003)
bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya delapan sekolah saja yang
mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program (PYP). Dari
20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya delapan sekolah yang mendapat
pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program (MYP) dan dari 8.036
SMA ternyata hanya tujuh sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam
kategori The Diploma Program (DP).
Penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas,
efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah
pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia
pendidikan yaitu:
1.
Rendahnya sarana fisik,
2.
Rendahnya kualitas guru,
3.
Rendahnya kesejahteraan guru,
4.
Rendahnya prestasi siswa,
5.
Rendahnya kesempatan pemerataan
pendidikan,
6.
Rendahnya relevansi pendidikan dengan
kebutuhan,
7.
Mahalnya biaya pendidikan.
Permasalahan-permasalahan
yang tersebut di atas akan menjadi bahan bahasan dalam makalah yang berjudul “Permasalahan
Pendidikan di Indonesia Baik Secara Mikro Maupun Makro” ini.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang
yang di sampaikan di atas dapat di tuliskan beberapa rumusan masalah seperti di
bawah ini:
1.
Bagaimana ciri-ciri pendidikan di
Indonesia?
2.
Bagaimana kualitas pendidikan di
Indonesia?
3.
Apa saja masalah-masalah pendidikan
di Indonesia?
4.
Bagaimana permasalahan aktual pendidikan di indonesia?
5. Faktor-faktor
yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan di Indonesian?
6.
Apa saja yang menjadi penyebab
rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia?
7.
Bagaimana solusi yang dapat
diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia?
C.
Tujuan
Penulisan
Dari latar
belakang dan rumusan masalah yang di sampaikan di atas dapat di tuliskan
beberapa tujuan penulisan seperti di bawah ini:
1.
Mendeskripsikan ciri-ciri pendidikan
di Indonesia.
2.
Mendeskripsikan kualitas pendidikan
di Indonesia saat ini.
3. Mengetahui
4 macam masalah pokok pendidikan dan penjelasannya.
4. Menjelaskan
(dengan memberikan contoh-contoh) permasalahan aktual pendidikan di Indonesia.
5. Menjelaskan faktor-faktor
yang mempengaruhi berkembangnya masalah pendidikan di Indonesia.
6.
Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi
penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
7.
Mendeskripsikan solusi yang dapat
diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.
D.
Manfaat
Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini antara lain:
1.
Bagi Pemerintah
Bisa
dijadikan sebagai sumbangsih dalam meningkatkan kualitas pendidikan di
Indonesia.
2.
Bagi Guru
Bisa
dijadikan sebagai acuan dalam mengajar agar para peserta didiknya dapat
berprestasi lebih baik dimasa yang akan datang.
3.
Bagi Mahasiswa
Bisa
dijadikan sebagai bahan kajian belajar dalam rangka meningkatkan prestasi diri
pada khususnya dan meningkatkan kualitas pendidikan pada umumnya.
4.
Bagi Pembaca
a. Dapat
dijadikan acuan bagi para pembaca untuk mengidentifikasi permasalahan-permasalahan
pendidikan yang terjadi di Indonesia.
b. Memberikan
rambu-rambu kepada pembaca untuk berpartisipasi aktif dalam upaya pemecahan
masalah-masalah pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ciri-ciri Pendidikan di Indonesia
Cara melaksanakan
pendidikan di Indonesia sudah tentu tidak terlepas dari tujuan pendidikan di
Indonesia, sebab pendidikan Indonesia yang dimaksud di sini ialah pendidikan
yang dilakukan di bumi Indonesia untuk kepentingan bangsa Indonesia.
Aspek
ketuhanan sudah dikembangkan dengan banyak cara seperti melalui
pendidikan-pendidikan agama di sekolah maupun di perguruan tinggi, melalui
ceramah-ceramah agama di masyarakat, melalui kehidupan beragama di
asrama-asrama, lewat mimbar-mimbar agama dan ketuhanan di televisi, melalui
radio, surat kabar dan sebagainya. Bahan-bahan yang diserap melalui media itu
akan berintegrasi dalam rohani para siswa/mahasiswa.
Pengembangan
pikiran sebagian besar dilakukan di sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan
tinggi melalui bidang studi-bidang studi yang mereka pelajari. Pikiran para
siswa/mahasiswa diasah melalui pemecahan soal-soal, pemecahan berbagai masalah,
menganalisis sesuatu serta menyimpulkannya.
B. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang
telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini
terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru
tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada
siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi
guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali
guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain
berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai
pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini
dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur
mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana
pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di
Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk
di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang
benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan
mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya,
antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan
ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal
Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden
memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka
meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
1.
Langkah pertama yang akan dilakukan
pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati
pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
2.
Langkah kedua, menghilangkan
ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan
kota, serta jender.
3.
Langkah ketiga, meningkatkan mutu
pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan
nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
4.
Langkah keempat, pemerintah akan
menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan.
Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
5.
Langkah kelima, pemerintah berencana
membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di
sekolah-sekolah.
6.
Langkah keenam, pemerintah juga
meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
7.
Langkah ketujuh, adalah penggunaan
teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
8.
Langkah terakhir, pembiayaan bagi
masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.
C. Masalah-masalah
Pendidikan di Indonesia
1.
Masalah Pemerataan Pendidikan
Dalam melakasanakan fungsinya sebagai wahana untuk
memajukan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan nasional diharapkan dapat
menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara Indonesia
untuk memperoleh pendidikan. Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan
bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya
kepada seluruh warga negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan
itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjang
pembangunan. Masalah pemerataan pendidikan timbul apabila masih banyak warga
negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat ditampung di dalam sistem
pendidikan atau lembaga pendidikan karena minimnya fasilitas yang tersedia. Ada
beberapa hal yang menyebabkan masalah pemerataan pendidikan, sebab-sebab
tersebut antara lain:
a. Keadaan
geografis yang heterogen sehingga sangat sulit untuk menjangkau daerah-daerah
tertentu.
2.
Masalah Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil
pendidikan belum mencapai taraf seperti yang diharapkan. Penetapan mutu hasil
pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil produsen tenaga terhadap
calon luaran, dengan sistem sertifikasi. Selanjutnya, jika output
tersebut ”terjun” ke lapangan kerja, penilaian dilakukan oleh lembaga pemakai
sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja. Umumnya, dilakukan
diklat (pendidikan dan latihan) atau pemagangan bagi calon untuk penyesuaian
dengan tuntutan persyaratan kerja di lapangan. Dengan kata lain mutu pendidikan
dilihat dari kualitas keluarannya.
Kuantitas yang baik belum tentu memiliki kualitas
yang baik, sebaliknya kualitas yang baik tentu memiliki kuantitas yang baik
pula. Kualitas sangat sulit untuk di ukur, tetapi dampak dari kualitas itu
sendiri dapat dirasakan.
Pendidikan yang bermutu akan menghasilkan manusia
yang bermutu pula. Hal ini tentu saja dapat tercapai jika setiap individu
memiliki kriteria-kriteria yang sesuai dengan tujuan pendidikan nasional
Indonesia seperti yang ada dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.
3.
Masalah Efisiensi Pendidikan
Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan
bagaimana suatu sistem pendidikan mendayagunakan sumber daya yang ada untuk
mencapai tujuan pendidikan. Jika penggunaannya hemat dan tepat sasaran
dikatakan efisiensinya tinggi. Jika terjadi sebaliknya, maka efisiensinya
dikatakan rendah. Beberapa masalah efisensi pendidikan yang penting ialah:
a. Bagaimana
tenaga kependidikan difungsikan.
b. Bagaimana
sarana dan prasarana pendidikan digunakan.
c. Bagaimana
pendidikan diselenggarakan.
d. Masalah
efisiensi dalam memfungsikan tenaga; pengangkatan, penempatan, dan pengembangan
tenaga.
Masalah pengangkatan terletak pada kesenjangan
antara stok tenaga yang tersedia dengan jatah pengangkatan yang sangat
terbatas. Dalam beberapa dekade terakhir ini jatah jatah pengangkatan sangat
terbatas, sedangkan persediaan tenaga yang siap diangkat lebih besar daripada
kebutuhan di lapangan.
Masalah penempatan guru, khususnya guru penempatan
bidang studi, sering mengalami ketimpangan, tidak disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan di lapangan. Suatu sekolah menerima guru baru dalam bidang
studi yang sudah cukup bahkan kelebihan, sedang guru bidang studi yang
dibutuhkan tidak diberikan karena terbatasnya jatah pengangkatan sehingga pada
sekolah-sekolah tertentu seorang guru bidang studi harus merangkap mengajarkan
bidang studi di luar kewenangannya, misalnya guru matematika mengajar komputer
dan lain sebagainya.
Masalah pengembangan tenaga kependidikan di
lapangan biasanya terlambat, khususnya pada saat menyongsong hadirnya kurikulum
baru. Setiap kurikulum menuntut adanya penyesuaian dari para pelaksana
dilapangan (yang berupa penyuluhan, latihan, loka karya, penyebaran buku
panduan) sangat lambat. Padahal proses pembekalan untuk dapat siap memanfaatkan
kurikulum baru memakan waktu. Akibatnya terjadi kesenjangan antara saat
dicanangkan berlakunya kurikulu, saat, mulai dilaksanakan.
4.
Masalah Relevansi Pendidikan
Tugas pendidikan adalah menyiapkan sember daya
manusia untuk pembangunan. Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana
sistem pendidikan dapat menghasilkan output yang sesuai dengan kebutuhan
pembangunan. Luaran pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor
pembangunan yang beraneka ragam. Jika sistem pendidikan menghasilkan luaran
yang dapat mengisi semua sektor pembangunan baik yang aktual (yang tersedia)
maupun yang potensial dengan memenuhi kriteria yang dipersyaratkan oleh
lapangan kerja, maka relevansi dianggap tinggi.
D. Permasalahan
Aktual Pendidikan di Indonesia
Masalah actual pendidikan ada yang mengenai konsep dan ada pula yang
mengenai pelaksanaannya. Misalnya munculnya kurikulum baru adalah
masalah konsep dan selanjutnya jika suatu kurikulum sudah cukup andal, dapat
dilaksanakan apa tidak. Jika tidak, timbullah masalah pelaksanaan atau masalah
oprasionalnya.
Untuk lebih lengkapnya permasalahan-permasalahan actual pendidikan di tanah
air Indonesia akan dibahas lebih lengkap dalam uraian dibawah ini :
1. Masalah
keutuhan Pencapaian Sasaran
Keberhasilan pendidikan ditentukan oleh 3 aspek;
kognitif, afektif, dan psikomotorik. Tetapi dalam implementasinya, ketiga aspek
tersebut belum dilakukan secara menyeluruh. Keberhasilan dalam suatu pendidikan
cenderung mengarah pada kemampuan kognitif saja. Dalam pelaksanakan ketiga
aspek tersebut sering mengalami kendala. Kendala tersebut disebabkan oleh:
a. Beban
kurikulum yang terlalu sarat.
b. Program
afektif sulit diprogramkan secara eksplisit, karena dianggap mejadi bagian dari
kurikulum yang tersembunyi yang keterlaksanakannya tergantung kepada kemahiran
dan pengalaman guru.
c. Pencapaian
hasil pendidikan afektif memakan waktu, sehingga memerlukan ketekunan dan
kesabaran pendidik.
d. Menilai
hasil afektif tidak mudah.
2. Masalah
Kurikulum
Kurikulum kita yang dalam jangka waktu singkat selalu berubah-ubah tanpa
ada hasil yang maksimal dan masih tetap saja. Gembar-gembor kurikulum baru, katanya lebih
baiklah, lebih tepat sasaran. Yang jelas, menteri pendidikan berusaha eksis
dalam mengujicobakan formula pendidikan baru dengan mengubah kurikulum.
Perubahan kurikulum yang terus-menerus, pada prateknya kita tidak tau apa
maksudnya dan yang beda hanya bukunya.
Pemerintah sendiri seakan tutup mata, bahwa dalam prakteknya Guru di
Indonesia yang layak mengajar hanya 60% dan sisanya masih perlu pembenahan. Hal
ini terjadi karena pemerintah menginkan hasil yang baik tapi lupa dengan
elemen-elemen dasar dalam pendidikan. Contohnya guru, banyak guru honorer yang
masih susah payah mencukupi kebutuhannya sendiri. Kegagalan dalam kurikulum
kita juga disebabkan oleh kurangnya pelatihan skill, kurangnya sosialisasi dan
pembinaan terhadap kurikulum baru. Elemen dasar ini lah yang menentukan
keberhasilan pendidikan yang kita tempuh. Menurut slogan jawa, guru itu digugu
dan ditiru, tapi fakta yang ada, banyak masyarakat yang memandang rendah
terhadap profesi guru, padahal tanpa guru kita tidak akan bisa menjadi seperti
sekarang ini.
Masalah kurikulum meliputi masalah konsep dan
masalah pelaksanaannya. Yang menjadi sumber masalah ini ialah bagaimana sistem
pendidikan dapat membekali peserta didik untuk memasuki dunia kerja (bagi yang
tidak melanjutkan sekolah) dan memberikan bekal dasar kuat untuk melanjutkan ke
perguruan tinggi (bagi mereka yang ingin melanjutkan ke perguruan tinggi).
Kedua macam bekal tersebut hendaknya sudah mulai diberikan sejak masa
prasekolah dan SD. Kurikulum yang sering berubah sering membuat guru tidak siap
sehingga mereka terkadang menemui kesulitan-kesulitan dalam menghadapi perubahan
kurikulum ini, misalnya guru mengalami kendala dalam menyusun RPP, RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran) yang menggunakan format pada kurikulum sebelumnya
sering membuat para guru bingung dalam melakukan penyusunan.
3. Masalah
Peranan Guru
Dahulu guru merupakan pusat belajar, ia
satu-satunya sebagai tempat bertanya dan dianggap serba bisa. Di era sekarang
ini tugas guru merupakan tugas yang berat, karena seiring dengan perkembangan
teknologi yang semakin pesat, guru dituntut untuk beradaptasi dengan perubahan-perubahan
yang ada. Yang menjadi permasalahannya adalah apakah guru siap dengan perubahan
itu dan bagaimana ia memposisikan dirinya dalam perubahan itu. Tentu ia harus
memiliki keahlian tertentu agar tidak menjadi guru yang memiliki pola pikir
tradisional.
4. Masalah
Pendidikan Dasar 9 Tahun
Masih ada 111 Kabupaten kota yang belum menuntaskan
Wajib Belajar 9 tahun. Tahun 2008 merupakan batas akhir program Wajib Belajar 9
tahun. Bagi Indonesia batas akhir tersebut lebih cepat delapan tahun bila
dibandingkan dengan kesepakatan Edication For All (EFA) di Senegal, yang
menargetkan tuntas pada tahun 2015. Angka Partisipasi Kasar (APK)
SMP/MTs/Setara sebagai salah satu indikator ketuntasan Wajar Dikdas hingga
tahun 2007 baru mencapai 92,52%, yang berarti masih kurang 2,48% untuk mencapai
target APK tuntas paripurna sebesar 95% (amanat Inpres No. 5 Tahun 2006).
92,52% diperoleh dari Jumlah peserta didik SMP/MTs/Setara:Jumlah anak
usia 13-15 tahun 100% (11.926.443: 12.890.334100%= 92,52%).
Disamping itu, saat ini masih ada sekitar 963.891 anak usia 13-15 tahun belum
mendapatkan pelayanan pendidikan (Balitbang, Depdiknas, 2007). Angka tersebut
diperoleh dari jumlah penduduk usia 12.890.334 orang pada tahun 2007 dikurangi
jumlah siswa SMP/MTs/Setara 11.926.443 pada tahun yang sama. Mengingat keadaan
geografis Indonesia yang tidak merata tentu mengalami kendala untuk mengejar
target tersebut terlebih lagi terhadap anak yang berada di pulau terluar di
Indonesia. Pertanyaannya adalah apakah masalah penuntasan Wajib Belajar 9 tahun
sudah mencapai target?. Secara statistik ia, tapi pada kenyataannya di
”lapangan” masih banyak anak-anak yang putus sekolah. Siapa yang salah;
pemerintahkah, orang tua atau terhadap individu anak itu sendiri yang tidak mau
bersekolah. Jawabnya adalah semua bisa salah dan semua bisa benar. Jika ada
kesadaran yang penuh dari kedua komponen tersebut (dalam hal ini pemerintah dan
rakyat) tentu saja target dapat tercapai. Untuk di Sumatera Selatan
Kabupaten/kota sasaran SP2WB tahun 2007 di targetkan pada Kabupaten/Kota Musi
Banyuasin, pada tahun 2006 APK yang dicapai sebesar 68,73% sedangkan di tahun
2007 APK yang dicapai 70,55% (Sumber: Direktorat Pembinaan SMP, Ditjen
Mandikdasmen, Depdiknas 2008).
5. Biaya Pendidikan
Akhir-akhir ini biaya pendidikan semakin mahal, seperti mengalami kenaikan
BBM. Banyak masyarakat yang memiliki persepsi pendidikan itu mahal dan lebih
parahnya banyak pula pejabat pendidikan yang ngomong, kalau pengen pendidikan
yang berkualitas konsekuensinya harus membayar mahal. Pendidikan sekarang ini
seperti diperjual-belikan bagi kalangan kapitalis pendidikan dan pemerintah
sendiri seolah membiarkan saja dan lepas tangan.
Sekarang ini memang digalakan program wajib belajar 9 tahun dengan bantuan
Bos. Tapi bagaimana dengan daerah-daerah yang terpencil nan jauh disana?? Apa
mereka sudah mengenyam pendidikan?? Padahal mereka sebagai WNI berhak
mendapatkan pendidikan yang layak.
Akhir-akhir ini pemerintah dalam system pendidikan yang baru akan membagi
pendidikan menjadi dua jalur besar, yaitu jalur formal standar dan jalur formal
mandiri. Pembagian jalur ini berdasarkan perbedaan kemampuan akademik dan
finansial siswa. Jalur formal mandiri diperuntukkan bagi siswa yang mapan
secara akademik maupun finansial. Sedangkan jalur formal standar diperuntukkan
bagi siswa yang secara finansial bisa dikatakan kurang bahkan tidak mampu. Hal
ini saya rasa sangat konyol, bukankah kebijakan ini sama saja dengan
mengotak-kotakan pendidikan kita, mau dikemanakan pendidikan kita bila kita
terus diam dan pasrah menerima keputusan Pemerintah?? Ironis sekali bila
kebijakan ini benar-benar terjadi.
6. Tujuan pendidikan
Katanya pendidikan itu mencerdaskan, tapi kenyataannya pendidikan itu
menyesatkan. Bagaiamana tidak? Lihat saja kualitas pendidikan kita hanya diukur
dari ijazah yang kita dapat. Padahal sekarang ini banyak ijazah yang dijual
dengan mudahnya dan banyak pula yang membelinya (baik dari masyarakat ataupun
pejabat-pejabat). Bukankah ini memalukan?? Berarti kalau kita punya uang
maka kita tidak usah sekolah tapi sama dengan yang sekolah karena memiliki
ijasah. Harusnya pendidikan itu menciptakan siswa yang memiliki daya nalar yang
tinggi, memiliki analisis tentang apa yang terjadi sehingga bila di terjunkan
dalam suatu permasalahan dapat mengambil suatu keputusan.
7. Kontoversi diselenggaraknnya UN
Perdebatan mengenai Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah terjadi saat
kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. UN atau pada
awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti kebijakan Evaluasi
Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Dari hasil kajian Koalisi Pendidikan
(Koran Tempo, 4 Februari 2005), setidaknya ada empat penyimpangan dengan
digulirkannya UN. Pertama, aspek pedagogis. Dalam ilmu
kependidikan, kemampuan peserta didik mencakup tiga aspek, yakni pengetahuan
(kognitif), keterampilan (psikomotorik), dan sikap (afektif). Tapi yang dinilai
dalam UN hanya satu aspek kemampuan, yaitu kognitif, sedangkan kedua aspek lain
tidak diujikan sebagai penentu kelulusan.
Kedua, aspek yuridis.
Beberapa pasal dalam UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 telah
dilanggar, misalnya pasal 35 ayat 1 yang menyatakan bahwa standar nasional
pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga
kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian
pendidikan, yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. UN hanya
mengukur kemampuan pengetahuan dan penentuan standar pendidikan yang ditentukan
secara sepihak oleh pemerintah. Pasal 58 ayat 1 menyatakan, evaluasi hasil
belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan,
dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.
Kenyataannya, selain merampas hak guru melakukan penilaian, UN mengabaikan
unsur penilaian yang berupa proses. Selain itu, pada pasal 59 ayat 1
dinyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap
pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Tapi dalam UN
pemerintah hanya melakukan evaluasi terhadap hasil belajar siswa yang
sebenarnya merupakan tugas pendidik.
Ketiga, aspek sosial dan
psikologis. Dalam mekanisme UN yang diselenggarakannya,
pemerintah telah mematok standar nilai kelulusan 3,01 pada tahun 2002/2003
menjadi 4,01 pada tahun 2003/2004 dan 4,25 pada tahun 2004/2005. Ini
menimbulkan kecemasan psikologis bagi peserta didik dan orang tua siswa. Siswa
dipaksa menghafalkan pelajaran-pelajaran yang akan di-UN-kan di sekolah ataupun
di rumah.
Keempat, aspek ekonomi. Secara ekonomis, pelaksanaan UN memboroskan biaya. Tahun 2005, dana yang
dikeluarkan dari APBN mencapai Rp 260 miliar, belum ditambah dana dari APBD dan
masyarakat. Pada 2005 memang disebutkan pendanaan UN berasal dari pemerintah,
tapi tidak jelas sumbernya, sehingga sangat memungkinkan masyarakat kembali
akan dibebani biaya. Selain itu, belum dibuat sistem yang jelas untuk menangkal
penyimpangan finansial dana UN. Sistem pengelolaan selama ini masih sangat
tertutup dan tidak jelas pertanggungjawabannya. Kondisi ini memungkinkan
terjadinya penyimpangan (korupsi) dana UN.
8. Kerusakan fasilitas sekolah
Nanang Fatah, pakar pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
mengatakan, sekitar 60 persen bangunan sekolah di Indonesia rusak berat.
Kerusakan bangunan sekolah tersebut berkaitan dengan usia bangunan yang sudah
tua. Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejak tahun 2000-2005 telah dilaksankan
proyek perbaikan infrastruktur sekolah oleh Bank Dunia, dengan mengucurkan dana
Bank Dunia pada Komite Sekolah. Kerusakan bangunan pendidikan jelas akan
mempengaruhi kualitas pendidikan karena secara psikologis seorang anak akan
merasa tidak nyaman belajar pada kondisi ruanagan yang hamper roboh.
9. Disahkannya RUU BHP menjadi Undang- Undang
DPR RI telah mensahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Badan Hukum Pendidikan
(BHP) menjadi Undang-Undang. Selama tiga tahun itupula, UU yang berisi 14 bab
dan 69 pasal banyak mengalami perubahan. Namun, disahkannya UU BHP ini banyak
menuai protes dari kalangan mahasiswa yang khawatir akan terjadinya
komersialisasi dan liberalisasi terhadap dunia pendidikan. Rabu, 17 Desember
2008, suara mahasiswa Universitas Indonesia yang memprotes pengesahan RUU Badan
Hukum Pendidikan (BHP) sudah semakin tipis. Namun, teriakan tetap mereka
lantangkan di lobi Gedung Nusantara II DPR, Rabu (17/12) sore.
Ketua BEM UI 2008 Edwin Nafsa Naufal mengatakan, mereka sudah mengawal
pembahasan RUU ini selama 3 tahun. Bahkan, sebuah konsep tandingan sudah
disiapkan. Segala aspirasi dan masukan, sudah disampaikan kepada Pansus RUU
BHP. Hal yang dikhawatirkan, undang-undang baru ini akan membuat biaya
pendidikan semakin mahal dan tidak terakses oleh seluruh lapisan
masyarakat. Anggapan mahasiswa ini, dikatakan Ketua Pansus RUU BHP Irwan
Prayitno, salah besar. Pendanaan. 20 persen operasional dibiayai pemerintah.
Untuk investasi dan bangunan seluruhnya dibiayai pemerintah. UU BHP juga
menetapkan perguruan tinggi negeri atau PTS wajib memberikan beasiswa sebesar
20 persen dari seluruh jumlah mahasiswa di lembaganya. Namun, jika ternyata
Perguruan Tinggi yang terkait tidak mempunyai dana yang mencukupi, untuk
memberikan beasiswa, akhirnya dana tersebut akan dibebankan kepada mahasiswa
lagi. UU BHP ini akan menjadi kerangka besar penataan organisasi pendidikan
dalam jangka panjang. UU BHP sendiri saat ini sedang dalam proses mencari
input. Jadi, untuk memperkuat status hukum PT BHMN, ia akan diatur dalam UU
BHP.
E. Faktor-faktor
yang Mempengaruhi Berkembangnya Masalah Pendidikan di Indonesia
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
berkembangnya masalah pendidikan, yaitu:
1. Perkembangan
Iptek dan seni
2. Laju
pertumbuhan penduduk
3. Aspirasi
Masyarakat
4. Keterbelakangan
budaya dan sarana kehidupan
Adapun penjelasan dari
keempat point di atas adalah sebagai berikut:
1. Perkembangan
iptek dan seni
Terdapat hubungan yang erat antara pendidikan
dengan iptek. Ilmu pengetahuan merupakan hasil eksplorasi secara sistem dan
terorganisasi mengenai alam semesta, dan teknologi adalah penerapan yang
direncanakan dari ilmu pengetahuan untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Sebagai contoh betapa eratnya hubungan antara pendidikan dengan iptek itu,
misalnya sering suatu teknologi baru yang digunakan dalam suatu proses produksi
menimbulkan kondisi ekonomi sosial baru lantaran perubahan pernyataan kerja,
dan mungkin juga penguraian jumlah tenaga kerja atau kerja, kebutuhan
bahan-bahan baru, sistem pelayanan baru, sampai kepada berkembangnya gaya hidup
baru, kondisi tersebut minimal dapat mempengaruhi perubahan isi pendidikan dan
metodenya, bahkan mungkin rumusan baru tunjangan pendidikan seperti sarana
laboratorium dan ketenangan. Begitu juga dengan perkembangan seni, Perkembangan
kualitas seni secara terprogram menuntut tersedianya sarana pendidikan
tersendiri di samping program-program lain dalam sistem pendidikan, disinilah
timbul masalah pendidikan kesenian yang mempunyai fungsi begitu penting tetapi
disekolah-sekolah saat ini menduduki kelas dua. Pendidikan kesenian baru
terlayani setelah program studi yang lain terpenuhi pelayanannya.
2. Laju
pertumbuhan penduduk
Dengan bertambahnya jumlahnya, maka penyediaan
prasarana dan sarana pendidikan beserta komponen penunjang terselenggaranya
pendidikan harus ditambah. Dan ini berarti beban pembangunan nasional menjadi
bertambah. Pertambahan penduduk yang diiringi dengan meningkatnya usia rata
dengan meningkatnya usia rata-rata dan penurunan angka kematian, mengakibatkan
berubahnya struktur kependudukan, yaitu proporsi usia sekolah dasar menurun,
sedangkan proporsi usia sekolah lanjutan, angkatan kerja, dan penduduk usia tua
meningkat berkat kemajuan bidang gizi dan kesehatan. Dengan demikian terjadi
pergeseran pemintaan akan fasilitas pendidikan, yaitu untuk sekolah lanjutan
cenderung lebih meningkat dibanding dengan permintaan akan fasilitas sekolah
dasar.
3. Aspirasi
Masyarakat
Aspirasi masyarakat dalam banyak hal meningkat,
khususnya aspirasi terhadap pendidikan, hidup yang sehat, aspirasi terhdap
pekerjaan. Kesemua ini mempengaruhi peningkatan aspirasi terhadap pendidikan.
Sebagai akibat dari meningkatnya aspirasi masyarakat terhadap pendidikan maka
orang tua mendorong anaknya untuk bersekolah, agar nantinya anak-anaknya
memperoleh pekerjaan yang lebih baik dari orang tuanya sendiri. Akibatnya, pada
sisi lain dalam hal aspirasi membanjirnya pelamar-pelamar pada sekolahan. Arus
pelajar meningkat. Dikota-kota pendidikan non formal semakin menjamur.
Konsekuensinya adalah terjadinya seleksi penerimaan siswa pada berbagai jenis
dan jenjang pendidikan. Seleksi kurang efektif, jumlah murid melebihi kapasitas
semestinya, diadakannya sekolah bergilir pagi dan sore, kekurangan guru,
kekurangan sarana dan lain sebagainya. Dampak langsung dan tidak langsung dari
kondisi sebagai sebagai yang digambarkan tersebut terjadi penurunan
efektifitas. Namun demikian tidaklah berarti aspirasi terhadap pendidikan harus
diredam, justru sebaliknya harus ditingkatkan, utamanya pada masyarakat yang
belum maju dan masyarakat di daerah terpencil, sebab aspirasi menjadi motor
penggerak pembangunan.
4. Keterbelakangan
budaya dan saran kehidupan
Keterbelakangan budaya merupakan satu isstilah yang
diberikan oleh sekelompok masyarakat yang menganggap dirinya sudah maju kepada
masyarakat lain yang dianggap belum maju. Keterbelakangan itu dapat diartikan
masyaakat terpencil, masyarakat yang tidak mampu secara ekonomis, dan
masyarakat kurang terdidik. Yang menjadi permasalahannya adalah bahwa kelmpok
masyarakat yang keterbelakangan kebudayaannya tidak ikut berpartisipasi dalam
pembangunan. Sebab mereka kurang memiliki dorongan untuk maju. Jadi inti
permasalahannya ialah memberikan pemahaman kepada mereka tentang hakikat
pendidikan itu sendiri, menyadarkan mereka akan ketertinggalannya, bagaimana
cara menyediakan sarana kehidupan, dan bagaimana sistem pendidikan dapat
melibatkan mereka.
F. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini
akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia
secara umum, yaitu:
1.
Efektifitas
Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta
didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan
sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru,
instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan
pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi
pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya
adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran
dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal”
apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam
proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita
menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai
jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai
hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia.
Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting
adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap
hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan
efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai
kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan
sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai
kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan
menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta
didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya.
Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah
gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas
pendidikan di Indonesia.
2.
Efisiensi
Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan
proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika
kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses
yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di
Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih
standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya
pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan
banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di
Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia
Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum
bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika
kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost
education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup
mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia
cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara
tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau
informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti
pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh
untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar
negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun
peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks
pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey,
hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi,
ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan
bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya
adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa
pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara
lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang
jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul
16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi,
peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak
waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal
lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa
proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik
akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang
dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah
mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik
kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan
tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang
mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar
pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya
bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi
pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat
mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan
menbuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan
efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan
kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan
kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah
proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru
lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan
pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga
menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu
sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya
dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat
dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika
masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep
efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis.
Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara
fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi
ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan
terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan
bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan
pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia
pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai
dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah
ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang
mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan
sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami
hambatan.
3.
Standardisasi
Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga
berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah
melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat
terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia
modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh
seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam
pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar
dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam
berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk
melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi
Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu
pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang
tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar
kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai
standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif
dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau
lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai
di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti
kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas
salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar
pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir
selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti
UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan
seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan,
hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik
yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya
berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja
tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan
sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya,
yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya
sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu
pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali
lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar
permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga
jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini
akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya
kualitas pendidikan di Indonesia. Adapun penyebab rendahnya kualitas pendidikan
di Indonesia adalah seperti di bawah ini:
1.
Rendahnya
Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi
kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah,
buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar,
pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak
sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak
memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat
146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang
kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12%
berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak
201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan
angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada
umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan
persentase yang tidak sama.
2.
Rendahnya
Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum
memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana
disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,
melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak
mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di
berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07%
(negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta),
untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak
mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu
sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru
SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain
itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma
D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru
57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari
181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan
S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan
pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan
kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat
besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru
dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat
kesejahteraan guru.
3.
Rendahnya
Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya
kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru
Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru
menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata
guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru
honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan
seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan.
Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi
tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan
sebagainya (Republika, 13 Juli, 2005).
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen
(PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup.
Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang
pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat
pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain
yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah
khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain
yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit
mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70
persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan
kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9
Januari 2006).
4.
Rendahnya
Prestasi Siswa
Dengan keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru,
dan kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak memuaskan.
Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia di
dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and Science
Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35 dari
44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44 negara dalam
hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Dalam hal prestasi, 15 September 2004 lalu United Nations for Development
Programme (UNDP) juga telah mengumumkan hasil studi tentang kualitas manusia
secara serentak di seluruh dunia melalui laporannya yang berjudul Human
Development Report 2004. Di dalam laporan tahunan ini Indonesia hanya menduduki
posisi ke-111 dari 177 negara. Apabila dibanding dengan negara-negara tetangga
saja, posisi Indonesia berada jauh di bawahnya.
Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia (Greaney,1992), studi
IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement)
di Asia Timur menunjukan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada
pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5
(Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7
(Indonesia).
Anak-anak Indonesia ternyata hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan
dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang
memerlukan penalaran. Hal ini mungkin karena mereka sangat terbiasa menghafal
dan mengerjakan soal pilihan ganda.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science
Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38 negara
peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk
IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia
Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4 universitas
terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan
ke-75.
5.
Kurangnya
Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar.
Data Balitbang Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga
Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak
usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk
kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu
54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini masih
sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu
diperlukan kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk
mengatasi masalah ketidakmerataan tersebut.
6.
Rendahnya
Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data
BAPPENAS (1996) yang dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran
terbuka yang dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5%
dan PT sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan
kerja cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%,
dan 15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3
juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya
kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik
memasuki dunia kerja.
7.
Mahalnya
Biaya Pendidikan
Pendidikan bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk
menjustifikasi mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam
bangku pendidikan. Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga
Perguruan Tinggi (PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain
kecuali tidak bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Untuk masuk TK dan SDN saja saat ini dibutuhkan biaya Rp 500.000, sampai Rp
1.000.000. Bahkan ada yang memungut di atas Rp 1 juta. Masuk SLTP/SLTA bisa
mencapai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta.
Makin mahalnya biaya pendidikan sekarang ini tidak lepas dari kebijakan
pemerintah yang menerapkan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah). MBS di Indonesia
pada realitanya lebih dimaknai sebagai upaya untuk melakukan mobilisasi dana.
Karena itu, Komite Sekolah/Dewan Pendidikan yang merupakan organ MBS selalu
disyaratkan adanya unsur pengusaha.
Asumsinya, pengusaha memiliki akses atas modal yang lebih luas. Hasilnya,
setelah Komite Sekolah terbentuk, segala pungutan uang selalu berkedok, “sesuai
keputusan Komite Sekolah”. Namun, pada tingkat implementasinya, ia tidak
transparan, karena yang dipilih menjadi pengurus dan anggota Komite Sekolah
adalah orang-orang dekat dengan Kepala Sekolah. Akibatnya, Komite Sekolah hanya
menjadi legitimator kebijakan Kepala Sekolah, dan MBS pun hanya menjadi
legitimasi dari pelepasan tanggung jawab negara terhadap permasalahan
pendidikan rakyatnya.
Kondisi ini akan lebih buruk dengan adanya RUU tentang Badan Hukum
Pendidikan (RUU BHP). Berubahnya status pendidikan dari milik publik ke bentuk
Badan Hukum jelas memiliki konsekuensi ekonomis dan politis amat besar. Dengan
perubahan status itu Pemerintah secara mudah dapat melemparkan tanggung
jawabnya atas pendidikan warganya kepada pemilik badan hukum yang sosoknya
tidak jelas. Perguruan Tinggi Negeri pun berubah menjadi Badan Hukum Milik
Negara (BHMN). Munculnya BHMN dan MBS adalah beberapa contoh kebijakan
pendidikan yang kontroversial. BHMN sendiri berdampak pada melambungnya biaya
pendidikan di beberapa Perguruan Tinggi favorit.
Privatisasi atau semakin melemahnya peran negara dalam sektor pelayanan
publik tak lepas dari tekanan utang dan kebijakan untuk memastikan pembayaran
utang. Utang luar negeri Indonesia sebesar 35-40 persen dari APBN setiap
tahunnya merupakan faktor pendorong privatisasi pendidikan. Akibatnya, sektor
yang menyerap pendanaan besar seperti pendidikan menjadi korban. Dana
pendidikan terpotong hingga tinggal 8 persen (Kompas, 10/5/2005).
Dari APBN 2005 hanya 5,82% yang dialokasikan untuk pendidikan. Bandingkan
dengan dana untuk membayar hutang yang menguras 25% belanja dalam APBN
(www.kau.or.id). Rencana Pemerintah memprivatisasi pendidikan dilegitimasi
melalui sejumlah peraturan, seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,
RUU Badan Hukum Pendidikan, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang
Pendidikan Dasar dan Menengah, dan RPP tentang Wajib Belajar. Penguatan pada
privatisasi pendidikan itu, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan,
penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah
atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan.
Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk
diinvestasikan dalam operasional pendidikan. Koordinator LSM Education Network
for Justice (ENJ), Yanti Mukhtar (Republika, 10/5/2005) menilai bahwa dengan
privatisasi pendidikan berarti Pemerintah telah melegitimasi komersialisasi
pendidikan dengan menyerahkan tanggung jawab penyelenggaraan pendidikan ke
pasar. Dengan begitu, nantinya sekolah memiliki otonomi untuk menentukan
sendiri biaya penyelenggaraan pendidikan. Sekolah tentu saja akan mematok biaya
setinggi-tingginya untuk meningkatkan dan mempertahankan mutu. Akibatnya, akses
rakyat yang kurang mampu untuk menikmati pendidikan berkualitas akan terbatasi
dan masyarakat semakin terkotak-kotak berdasarkan status sosial, antara yang
kaya dan miskin.
Hal senada dituturkan pengamat ekonomi Revrisond Bawsir. Menurut dia,
privatisasi pendidikan merupakan agenda Kapitalisme global yang telah dirancang
sejak lama oleh negara-negara donor lewat Bank Dunia. Melalui Rancangan
Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (RUU BHP), Pemerintah berencana memprivatisasi
pendidikan. Semua satuan pendidikan kelak akan menjadi badan hukum pendidikan
(BHP) yang wajib mencari sumber dananya sendiri. Hal ini berlaku untuk seluruh
sekolah negeri, dari SD hingga perguruan tinggi.
Bagi masyarakat tertentu, beberapa PTN yang sekarang berubah status menjadi
Badan Hukum Milik Negara (BHMN) itu menjadi momok. Jika alasannya bahwa
pendidikan bermutu itu harus mahal, maka argumen ini hanya berlaku di
Indonesia. Di Jerman, Prancis, Belanda, dan di beberapa negara berkembang
lainnya, banyak perguruan tinggi yang bermutu namun biaya pendidikannya rendah.
Bahkan beberapa negara ada yang menggratiskan biaya pendidikan.
Pendidikan berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak
harus murah atau gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?
Pemerintahlah sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya
memperoleh pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan
pendidikan bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah
dari tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan
bagi Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
G. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk
mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat
diberikan yaitu:
Pertama,
solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang
berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat
berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia
sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab
neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung
jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi
untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan
–seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya
pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan
sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer
sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib
dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa
pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua,
solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait
langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah
kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi
untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk
meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di
samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan
membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan
memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya
prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan
kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana
pendidikan, dan sebagainya.
Beberapa upaya lain yang
perlu dilakukan untuk menanggulangi masalah-masalah pendidikan
diantaranya sebagai berikut:
a.
Pendidikan tenaga
kependidikan (prajabatan dan dalam jabatan) perlu diberikan pelatihan khusus
untuk menghasilkan guru-guru yang kompeten di bidangnya, oleh karena tenaga
kependidikan khususnya guru menjadi penyebab utama lahirnya sumber daya manusia
yang berkualitas. Misalnya melalui : PKG (Pusat Kegiatan Guru), MGBS
(Musyawarah Guru Bidang Study), dan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) perlu
ditumbuhkembangkan terus sebagai model pengembangan kemampuan guru.
b.
Penyelesaian masalah
pendidikan tidak semestinya dilakukan secara terpisah-pisah, tetapi harus
ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya menyeluruh. Artinya, kita tidak
hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran saja. Sebab percuma saja, jika
kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan di Indonesia masih rendah.
Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun sejatinya masih menjadi PR
besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat bahwa banyak di daerah-daerah
pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan yang memadai. Dengan
terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun mengakibatkan anak-anak
Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum mereka menyelesaikan wajib
belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut, bila tidak ada perubahan
kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini keluar dari masalah-masalah
pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi di era global.
Maka dengan adanya solusi-solusi tersebut diharapkan pendidikan di Indonesia dapat bangkit dari
keterpurukannya, sehingga dapat menciptakan generasi-generasi baru yang berSDM
tinggi, berkepribadian pancasila dan bermartabat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Misi pendidikan ialah menyiapkan sumber daya manusia untuk pembangunan,
karena itu pendidikan selalu menghadapi masalah. Mengenai masalah pedidikan,
perhatian pemerintah kita masih terasa sangat minim. Gambaran ini tercermin
dari beragamnya masalah pendidikan yang makin rumit. Kualitas siswa masih
rendah, pengajar kurang profesional, biaya pendidikan yang mahal, bahkan aturan
UU Pendidikan kacau. Dampak dari pendidikan yang buruk itu, negeri kita
kedepannya makin terpuruk. Keterpurukan ini dapat juga akibat dari kecilnya
rata-rata alokasi anggaran pendidikan baik di tingkat nasional, propinsi,
maupun kota dan kabupaten.
Namun penyelesaian masalah pendidikan tidak semestinya dilakukan secara
terpisah-pisah, tetapi harus ditempuh langkah atau tindakan yang sifatnya
menyeluruh. Artinya, kita tidak hanya memperhatikan kepada kenaikkan anggaran
saja. Sebab percuma saja, jika kualitas Sumber Daya Manusia dan mutu pendidikan
di Indonesia masih rendah. Masalah penyelenggaraan Wajib Belajar Sembilan tahun
sejatinya masih menjadi PR besar bagi kita. Kenyataan yang dapat kita lihat
bahwa banyak di daerah-daerah pinggiran yang tidak memiliki sarana pendidikan
yang memadai. Dengan terbengkalainya program wajib belajar sembilan tahun
mengakibatkan anak-anak Indonesia masih banyak yang putus sekolah sebelum
mereka menyelesaikan wajib belajar sembilan tahun. Dengan kondisi tersebut,
bila tidak ada perubahan kebijakan yang signifikan, sulit bagi bangsa ini
keluar dari masalah-masalah pendidikan yang ada, apalagi bertahan pada kompetisi
di era global.
B. Saran
Perkembangan
dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem
pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam
segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar
tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan
kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan
meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan
semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat
dalam segala bidang di dunia internasional.
Dewasa ini permasalahan pendidikan di Indonesia ini terlihat semakin
kompleks, untuk itu sangat diharapkan pemerintah terus meningkatkan upaya
pengentasan yang lebih efektif agar mutu pendidikan di Indonesia ini dapat
semakin baik sesuai dengan yang diharapkan.
Dengan dikemukakan masalah-masalah pokok
pendidikan, disarankan para pembaca turut mengupayakan alternatif untuk mencari
solusi terhadap masalah-masalah pendidikan tersebut.
Mungkin, karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang di miliki,
penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca, guna kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan
pikiran bagi para pembaca. amin
DAFTAR
PUSTAKA
Anonymous, 2000. The World Economic Forum Swedia. (Diakses dari Http://forum.detik.com. Pada hari
Minggu tanggal 25 Mei 2014 pada pukul
21.55 WIB)
Anonymous, 2000. Efektivitas dan efisiensi anggaran. (Diakses
dari Http://tyaeducationjournals.blogspot.com. Pada hari Minggu tanggal 25 Mei 2014 pada pukul 21.58 WIB)
Anonymous,2009. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia. Diakses dari Http://www.detiknews.com. Pada hari Minggu tanggal 25 Mei 2014 pada pukul 21.59 WIB)
Anonymous,2009. Sistem pendidikan . Diakses dari Http://www.sib-bangkok.org. Pada hari Minggu tanggal 25 Mei 2014 pada pukul 21.59 WIB)
Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Anonymous, 2009. Masalah pendidikan di Indonesia. Diakses dari Http://www.sayapbarat.wordpress.com/2007 Pada hari Minggu tanggal 25 Mei 2014 pada pukul 22.00 WIB)
Depdiknas.
2008. Pelangi Pendidikan; Deklarasi Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan
Dasar Sembilan Tahun Pada Akhir Tahun 2008. Jakarta: Depdiknas.
Depdiknas.
2008. Pelangi Pendidikan; Forum Tenaga Kependidikan Edisi
6/ Volume 3. Jakarta: Depdiknas.
Dimyati dan Mudjiono. 2005. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Rineka Cipta.
Http://pelangi.dit-plp.go.id (Diakses pada hari Minggu tanggal 25 Mei papa pukul 23.14 WIB)
Tirtarahardja,
Umar dan S. L La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar